Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Polisi, tetap sekolah dan berubah

Ptik tak jadi dihapus. bidang akademisnya diserahkan kepada dep. p & k. berbagai perubahan terjadi, termasuk ujian masuk dan kurikulum. (pdk)

21 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PESERTA ujian masuk Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) tahun ini kabarnya banyak yang mengeluh. Lebih sulit dari tahun sebelumnya, begitu bunyi keluhan itu. Memang, setelah bidang akademi perguruan tinggi yang terletak di Jalan Tirtayasa Kebayoran Baru itu diserahkan kepada Departemen P&K, tahun lalu, banyak perubahan terjadi. Dekan baru, Prof. Dr. Harsja Bachtiar, dari kalangan sipil tentu saja, berpendapat bahwa ilmu kepolisian ternyata semakin cenderung pada ilmu kemasyarakatan. (Dan itulah sebabnya Doktor Sosiologi dari Universitas Harvard ini bersedia menerima jabatan Dekan PTIK, sejak Agustus 1980). Maka tes masuk PTIK yang pertama yang dilaksanakan di masing-masing daerah, Januari yang lalu, kecuali tes pengetahuan yang langsung berhubungan dengan dunia kepolisian juga ada tes ilmu pengetahuan umum dan menulis karangan. "Tes pengetahuan umum untuk mengetahui apakah calon mahasiswa punya minat yang luas atau tidak," kata Harsja di PTIK pekan lalu. "Sebab, dengan minat yang terbatas kemungkinan berhasil di PTIK kecil sekali kini." Adapun soal menulis karangan, "bukan isi pengetahuan terutama yang dinilai, tapi cara berpikirnya. Apakah uraiannya teratur, apakah bahasanya jelas." Untuk tes menulis karangan ini diberikan beberapa topik, antara lain kepolisian dan perkembangan masyarakat Indonesia, kepolisian dan teknologi, kepolisian dan kenakalan remaja. Menghadapi Musuh Itulah, dari 600-an peserta, yang kenudian lulus dan dipanggil untuk tes terakhir di Jakarta, 2-7 Maret yang lalu. hanya 154 peserta. Dan dari jumlah itu yang diterima kemudian hanya 149 orang. Dari segi jumlah dibanding penerimaan mahasiswa tahun-tahun sebelumnya di perguruan tinggi ini, memang tak jauh berbeda. Soalnya daya tampung PTIK memang 150-an mahasiswa. Yang berbeda, mungkin kualitasnya. "Dulu untuk lulus tes bisa 'dibantu'. Tapi kini itu tak mungkin lagi, karena hasil tes diperiksa komputer," tutur Harsja. Sementara itu kurikulum pun berubah. Bahasa Inggris misalnya, kini jadi mata kuliah pokok. "Bukan terutama agar mahasiswa bisa ngomong Inggris, tapi agar mereka sanggup membaca buku, menambah ilmu," tutur Harsja, yang pernah menjadi dosen di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat dan Angkatan Laut itu. Kemudian ada pula mata kuliah baru yang sebelumnya memang belum masuk dalam kurikulum, ialah agama. "Polisi Indonesia perlu memiliki kesadaran agama yang besar, terutama berkenaan dengan masalah perbedaan agama yang dihadapi bangsa Indonesia," katanya pula. Metoda pengajaran agama menurut Harsja, 47 tahun, dengan mengundang para pemikir dari berbagai agama. Misalnya untuk agama Islam diundang Hamka, Harun Nasution, Mohammad Natsir. Untuk agama Protestan TB Simatupang. "Itu semua diharapkan mempengaruhi kesadaran agama dan pemikiran susila para mahasiswa. Yang nantinya akan sangat bermanfaat sebagai bekal polisi dalam menjalankan tugasnya." Itu semua merupakan upaya mengubah konsep tentang siapa polisi itu. Selama ini karena kepolisian diintegrasikan dengan ABRI, konsep pendidikannya pun lebih kurang sama. "Untuk kadet calon polisi kualifikasinya selama ini sama dengan kadet angkatan darat atau laut atau udara," ujar Harsja sambil membetulkan kacamatanya "Padahal ada perbedaan dasar keduanya. Polisi lebih bertugas dalam masyarakat untuk menolong masyarakat, sedang angkatan yang lain itu lebih dipersiapkan menghadapi perang, menghadapi musuh." Dan lanjut Harsja "Polisi Indonesia adalah polisi yang cocok untuk masyarakat Indonesia. Tak ada model dari luar ngeri yang bisa ditiru," katanya. Menurut Harsja yang pernah menjadi Dekan Fakultas Sastra UI ini, masyarakat Indonesia adalah masyarakat jamak. Baik ke kebudayaannya, bahasanya, agamanya. Juga keadaan teknologi di Indonesia beragam: dari yang mutakhir sampai yang masih primitif, misalnya panah dan lembing di Irian Jaya. Maka "polisi Indonesia harus bisa mengikuti macam-macam variasi masyarakat itu." Konsep pendidikan polisi yang baru ini, meski baru dimulai Agustus tahun lalu, telah dirasakan para mahasiswa PTIK. "Dulu mahasiswa yang terpaksa dikeluarkan biasanya karena melanggar disiplin," tutur seorang mahasiswa yang tak bersedia disebut namanya. "Kini kalau ada yang dikeluarkan tentulah terutama karena soal akademis." Padahal PTIK yang merupakan jenjang pendidikan kedua setelah Akabri bagian Kepolisian, praktis mahasiswanya telah berkeluarga. Artinya untuk hanya berkonsentrasi kepada kuliahnya, bagi mahasiswa PTIK sepertinya memang berat. "Belum lagi yang dari daerah yang kemudian harus tinggal di Jakarta yang begini sulit dan mahal ini," kata mahasiswa itu. Tercatat, sejak PTIK angkatan pertama, 1946, ada 1.362 alumni. Kini di perguruan tinggi Kepolisian yang hanya satu-satunya di Indonesia ini berkuliah angkatan ke-16, 156 orang, yang sedang menyelesaikan skripsi. Dan angkatan ke-17, mahasiswa tingkat doktoral I, 135 orang. Termasuk angkatan pertama adalah bekas Kapolri Drs. Hoegeng Iman Santoso. Masyarakat Kompleks PTIK terbentuk dari Sekolah Kursus Inspektur Polisi di Yogya, 1946. Kemudian sekolah itu menjadi Akademi Polisi, dan sejak 1 September 1950 menjadi PTIK -- sampai kini. Kemudian sejak 1959 PTIK merupakan pendidikan jenjang kedua setelah Sekolah Angkatan Kepolisian di Sukabumi. Ketika dilaksanakan integrasi pendidikan keempat angkatan bersenjata menjadi AKABRI (1965), sekolah polisi di Sukabumi itu menjadi AKABRI bagian Kepolisian. Sejak itulah PTIK hanya menerima lulusan AKABRI bagian Kepolisian saja. Dengan demikian pendidikan tingkat sarjana muda dan sarjana penuh yang ada di PTIK, kemudian hanya tingkat sarjana penuh saja yang ada. Untuk tingkat sarjana muda diserahkan kepada AKABRI-nya. Dengan perubahan tanggung jawab bidang akademisnya, kini dimungkinkan penerimaan sarjana muda dari bidang ilmu yang lain. "Masyarakat akan semakin kompleks, hingga diperlukan berbagai ragam keahlian kepolisian," kata Harsja pula. Jelas sudah, kabar tiga tahun lalu bahwa PTIK akan dihapus -- dianggap bisa disatukan dengan Akabri, atau Sekolah Staf dan Komando Gabungan, atau Sekolah Staf Komando -- kini terjawab.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus