PESERTA ujian masuk Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK)
tahun ini kabarnya banyak yang mengeluh. Lebih sulit dari tahun
sebelumnya, begitu bunyi keluhan itu.
Memang, setelah bidang akademi perguruan tinggi yang terletak
di Jalan Tirtayasa Kebayoran Baru itu diserahkan kepada
Departemen P&K, tahun lalu, banyak perubahan terjadi. Dekan
baru, Prof. Dr. Harsja Bachtiar, dari kalangan sipil tentu saja,
berpendapat bahwa ilmu kepolisian ternyata semakin cenderung
pada ilmu kemasyarakatan. (Dan itulah sebabnya Doktor Sosiologi
dari Universitas Harvard ini bersedia menerima jabatan Dekan
PTIK, sejak Agustus 1980).
Maka tes masuk PTIK yang pertama yang dilaksanakan di
masing-masing daerah, Januari yang lalu, kecuali tes pengetahuan
yang langsung berhubungan dengan dunia kepolisian juga ada tes
ilmu pengetahuan umum dan menulis karangan. "Tes pengetahuan
umum untuk mengetahui apakah calon mahasiswa punya minat yang
luas atau tidak," kata Harsja di PTIK pekan lalu. "Sebab, dengan
minat yang terbatas kemungkinan berhasil di PTIK kecil sekali
kini."
Adapun soal menulis karangan, "bukan isi pengetahuan terutama
yang dinilai, tapi cara berpikirnya. Apakah uraiannya teratur,
apakah bahasanya jelas."
Untuk tes menulis karangan ini diberikan beberapa topik, antara
lain kepolisian dan perkembangan masyarakat Indonesia,
kepolisian dan teknologi, kepolisian dan kenakalan remaja.
Menghadapi Musuh
Itulah, dari 600-an peserta, yang kenudian lulus dan dipanggil
untuk tes terakhir di Jakarta, 2-7 Maret yang lalu. hanya 154
peserta. Dan dari jumlah itu yang diterima kemudian hanya 149
orang. Dari segi jumlah dibanding penerimaan mahasiswa
tahun-tahun sebelumnya di perguruan tinggi ini, memang tak jauh
berbeda. Soalnya daya tampung PTIK memang 150-an mahasiswa. Yang
berbeda, mungkin kualitasnya. "Dulu untuk lulus tes bisa
'dibantu'. Tapi kini itu tak mungkin lagi, karena hasil tes
diperiksa komputer," tutur Harsja.
Sementara itu kurikulum pun berubah. Bahasa Inggris misalnya,
kini jadi mata kuliah pokok. "Bukan terutama agar mahasiswa
bisa ngomong Inggris, tapi agar mereka sanggup membaca buku,
menambah ilmu," tutur Harsja, yang pernah menjadi dosen di
Sekolah Staf Komando Angkatan Darat dan Angkatan Laut itu.
Kemudian ada pula mata kuliah baru yang sebelumnya memang belum
masuk dalam kurikulum, ialah agama. "Polisi Indonesia perlu
memiliki kesadaran agama yang besar, terutama berkenaan dengan
masalah perbedaan agama yang dihadapi bangsa Indonesia," katanya
pula.
Metoda pengajaran agama menurut Harsja, 47 tahun, dengan
mengundang para pemikir dari berbagai agama. Misalnya untuk
agama Islam diundang Hamka, Harun Nasution, Mohammad Natsir.
Untuk agama Protestan TB Simatupang. "Itu semua diharapkan
mempengaruhi kesadaran agama dan pemikiran susila para
mahasiswa. Yang nantinya akan sangat bermanfaat sebagai bekal
polisi dalam menjalankan tugasnya."
Itu semua merupakan upaya mengubah konsep tentang siapa polisi
itu. Selama ini karena kepolisian diintegrasikan dengan ABRI,
konsep pendidikannya pun lebih kurang sama. "Untuk kadet calon
polisi kualifikasinya selama ini sama dengan kadet angkatan
darat atau laut atau udara," ujar Harsja sambil membetulkan
kacamatanya "Padahal ada perbedaan dasar keduanya. Polisi lebih
bertugas dalam masyarakat untuk menolong masyarakat, sedang
angkatan yang lain itu lebih dipersiapkan menghadapi perang,
menghadapi musuh."
Dan lanjut Harsja "Polisi Indonesia adalah polisi yang cocok
untuk masyarakat Indonesia. Tak ada model dari luar ngeri yang
bisa ditiru," katanya. Menurut Harsja yang pernah menjadi Dekan
Fakultas Sastra UI ini, masyarakat Indonesia adalah masyarakat
jamak. Baik ke kebudayaannya, bahasanya, agamanya.
Juga keadaan teknologi di Indonesia beragam: dari yang mutakhir
sampai yang masih primitif, misalnya panah dan lembing di Irian
Jaya. Maka "polisi Indonesia harus bisa mengikuti macam-macam
variasi masyarakat itu."
Konsep pendidikan polisi yang baru ini, meski baru dimulai
Agustus tahun lalu, telah dirasakan para mahasiswa PTIK. "Dulu
mahasiswa yang terpaksa dikeluarkan biasanya karena melanggar
disiplin," tutur seorang mahasiswa yang tak bersedia disebut
namanya. "Kini kalau ada yang dikeluarkan tentulah terutama
karena soal akademis." Padahal PTIK yang merupakan jenjang
pendidikan kedua setelah Akabri bagian Kepolisian, praktis
mahasiswanya telah berkeluarga. Artinya untuk hanya
berkonsentrasi kepada kuliahnya, bagi mahasiswa PTIK sepertinya
memang berat. "Belum lagi yang dari daerah yang kemudian harus
tinggal di Jakarta yang begini sulit dan mahal ini," kata
mahasiswa itu.
Tercatat, sejak PTIK angkatan pertama, 1946, ada 1.362 alumni.
Kini di perguruan tinggi Kepolisian yang hanya satu-satunya di
Indonesia ini berkuliah angkatan ke-16, 156 orang, yang sedang
menyelesaikan skripsi. Dan angkatan ke-17, mahasiswa tingkat
doktoral I, 135 orang. Termasuk angkatan pertama adalah bekas
Kapolri Drs. Hoegeng Iman Santoso.
Masyarakat Kompleks
PTIK terbentuk dari Sekolah Kursus Inspektur Polisi di Yogya,
1946. Kemudian sekolah itu menjadi Akademi Polisi, dan sejak 1
September 1950 menjadi PTIK -- sampai kini. Kemudian sejak 1959
PTIK merupakan pendidikan jenjang kedua setelah Sekolah Angkatan
Kepolisian di Sukabumi.
Ketika dilaksanakan integrasi pendidikan keempat angkatan
bersenjata menjadi AKABRI (1965), sekolah polisi di Sukabumi itu
menjadi AKABRI bagian Kepolisian. Sejak itulah PTIK hanya
menerima lulusan AKABRI bagian Kepolisian saja. Dengan demikian
pendidikan tingkat sarjana muda dan sarjana penuh yang ada di
PTIK, kemudian hanya tingkat sarjana penuh saja yang ada. Untuk
tingkat sarjana muda diserahkan kepada AKABRI-nya.
Dengan perubahan tanggung jawab bidang akademisnya, kini
dimungkinkan penerimaan sarjana muda dari bidang ilmu yang lain.
"Masyarakat akan semakin kompleks, hingga diperlukan berbagai
ragam keahlian kepolisian," kata Harsja pula.
Jelas sudah, kabar tiga tahun lalu bahwa PTIK akan dihapus --
dianggap bisa disatukan dengan Akabri, atau Sekolah Staf dan
Komando Gabungan, atau Sekolah Staf Komando -- kini terjawab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini