Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Suradi, Hakim Tanpa Perkara

Hakim suradi yang menjatuhkan vonis mati bagi tertuduh suparlan (di surabaya), oleh menteri kehakiman dihukum dengan dilarang memegang sesuatu perkara. ketua m.a. oemar seno adji tidak setuju.

19 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JELAS duduk soalnya kini -- setelah perkara sampai di meja Pengadilan Tinggi di Surbaya. Suparlan, buruh bangunan yang terbukti memperkosa gadis cilik dan kemudian mencekiknya sampai mati, dihukum mati karena dianggap melakukan pembunuhan berencana. Hakim Suradi, yang mengadili Suparlan tapi kemudian katanya lupa pasal mana yang diterapkannya, belakangan menurut sumber TEMPO menyebut pasal 340 dalam laporannya beberapa hari setelah menjatuhkan vonis. Nasib Suparlan masih harus ditentukan oleh Pengadilan Tinggi. Tapi bagi Hakim Suradi, hakim anggota pada Pengadilan Negeri Surabaya ini, Menteri Kehakiman sudah memutuskan suatu "hukuman": ia dilarang memegang sesuatu perkara -- juga mencabut yang sudah terlanjur diurusnya. Di samping itu ia juga hanya akan disuruh mengurus tugas rutin lain yang tidak ada sangkut-pautnya dengan sidang-sidang pengadilan. Tindakan keras tersebut, menurut Menteri Kehakiman Moedjono, disampaikan melalui surat kepada Ketua Pengadilan Negeri Surabaya. Yaitu, setelah menteri berbicara langsung dengan Suradi melalui telepon, ketika pejabat ini tengah sibuknya berbicara soal RUU Hukum Acara Pidanadi DPR awal Desember lalu. Kesalahan Suradi, menurut menteri, menyangkut beberapa hal yang dapat berakibat "mengurangi kepastian hukum". Misalnya, tidak jelasnya pasal mana yang diterapkannya -- setidaknya bukan yang dibawa oleh jaksa untuk menuduh Suparlan -- jaksa menuduhnya melalui pasal pemerkosaan yang mengakibatkan korban mati dan pembunuhan biasa yang diancam hukuman paling berat 15 tahun. Dilarang Praktek Juga tatacara bersidang Suradi dinilai menteri tidak pas. Untuk perkara yang, jika benar, diancam hukuman mati ternyata diurusnya sebagai perkara sederhana (sumir). Diadilinya seorang sendiri, hakim tunggal, tanpa pembela--pengadilan juga tidak beritikad menyediakannya -- dan selesai, 29 November lalu itu, hanya dalam tempo tidak lebih dari sejam (TEMPO, 15 Desember 1979). Moedjono sendiri bisa mengerti perasaan apa yang ada di dalam hati Ilakim Suradi menghadapi kekejaman yang bukan main seperti dilakukan terdakwa yang dihadapinya waktu itu. Tapi katanya, "bagaimana bisa seorang dijatuhi hukuman mati sedangkan ia tidak dituduh dengan ancaman hukuman yang demikian?" Menurut penilaiannya, Hakim Suradi telah bertindak lebih dari wewenangnya: mengubah tuduhan jaksa. Tapi untuk menindak hakim, bukankah itu wewenang Mahkamah Agung? Memang benar, "tapi" ujar Moedjono, "orang tahunya 'kan Menteri Kehakiman?" Selain itu, lanjutnya, cara-cara Suradi menghukum Suparlan "telah menyinggung perasaan keadilan." Ketua Mahkamah Agung, Oemar Seno Adji, tidak begitu menyetujui cara Menteri Kehakiman menindak hakim bawahannya. "Bagaimana mungkin seorang hakim tidak diberi perkara -- 'kan sama dengan dokter dilarang praktek," kata Seno Adji. Betul, sambung Seno, Suradi ada melakukan kesalahan. Misalnya, putusan terhadap Suparlan, "terlalu cepat dijatuhkannya." Tapi, lanjutnya, toh kesalahannya masih dapat diperbaiki oleh pengadilan tinggi maupun Mahkamah Agung. Tidak dijelaskan oleh Seno Adji, bagaimana nasib Suparlan yang tidak mengetahui upaya hukum untuk menghindarkan diri dari hukuman mati, bila tidak justru karena saran dan permintaan banding pihak jaksa. Dalam memori bandingnya Jaksa Penuntut Umum, Titiek Waluyo, tidak mempersoalkan berat-ringan hukuman Suradi. Ia hanya mempersoalkan sikap hakim yang mengenyampingkan pasal-pasal tuduhannya. Dan Mahkamah Agung memang sudah menegur Suradi. Belakangan tidak mudah mencari Suradi baik di pengadilan maupun di rumahnya. Setelah cuti, menurut keluarganya, hakim tersebut pergi ke luar kota. Tapi Ketua Pengadilan Negeri Surabaya, Soedijono, membenarkan bahwa bawahannya, Suradi (52 tahun) yang telah berpengalaman menjadi hakim selama 25 tahun, kini tidak diperkenankan memegang sesuatu perkara. Ia membantah hukuman mati yang dijatuhkan Suradi terhadap Suparlan atas perintahnya. Yang dilakukan anggotanya adalah "konsultasi," katanya, "saya hanya memberi pertimbangan -- hakim 'kan mandiri." Siapa menyangka, katanya, belakangan urusan menjadi heboh?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus