JELAS duduk soalnya kini -- setelah perkara sampai di meja
Pengadilan Tinggi di Surbaya. Suparlan, buruh bangunan yang
terbukti memperkosa gadis cilik dan kemudian mencekiknya sampai
mati, dihukum mati karena dianggap melakukan pembunuhan
berencana. Hakim Suradi, yang mengadili Suparlan tapi kemudian
katanya lupa pasal mana yang diterapkannya, belakangan menurut
sumber TEMPO menyebut pasal 340 dalam laporannya beberapa hari
setelah menjatuhkan vonis.
Nasib Suparlan masih harus ditentukan oleh Pengadilan Tinggi.
Tapi bagi Hakim Suradi, hakim anggota pada Pengadilan Negeri
Surabaya ini, Menteri Kehakiman sudah memutuskan suatu
"hukuman": ia dilarang memegang sesuatu perkara -- juga mencabut
yang sudah terlanjur diurusnya. Di samping itu ia juga hanya
akan disuruh mengurus tugas rutin lain yang tidak ada
sangkut-pautnya dengan sidang-sidang pengadilan.
Tindakan keras tersebut, menurut Menteri Kehakiman Moedjono,
disampaikan melalui surat kepada Ketua Pengadilan Negeri
Surabaya. Yaitu, setelah menteri berbicara langsung dengan
Suradi melalui telepon, ketika pejabat ini tengah sibuknya
berbicara soal RUU Hukum Acara Pidanadi DPR awal Desember lalu.
Kesalahan Suradi, menurut menteri, menyangkut beberapa hal yang
dapat berakibat "mengurangi kepastian hukum". Misalnya, tidak
jelasnya pasal mana yang diterapkannya -- setidaknya bukan yang
dibawa oleh jaksa untuk menuduh Suparlan -- jaksa menuduhnya
melalui pasal pemerkosaan yang mengakibatkan korban mati dan
pembunuhan biasa yang diancam hukuman paling berat 15 tahun.
Dilarang Praktek
Juga tatacara bersidang Suradi dinilai menteri tidak pas. Untuk
perkara yang, jika benar, diancam hukuman mati ternyata
diurusnya sebagai perkara sederhana (sumir). Diadilinya seorang
sendiri, hakim tunggal, tanpa pembela--pengadilan juga tidak
beritikad menyediakannya -- dan selesai, 29 November lalu itu,
hanya dalam tempo tidak lebih dari sejam (TEMPO, 15 Desember
1979).
Moedjono sendiri bisa mengerti perasaan apa yang ada di dalam
hati Ilakim Suradi menghadapi kekejaman yang bukan main seperti
dilakukan terdakwa yang dihadapinya waktu itu. Tapi katanya,
"bagaimana bisa seorang dijatuhi hukuman mati sedangkan ia tidak
dituduh dengan ancaman hukuman yang demikian?" Menurut
penilaiannya, Hakim Suradi telah bertindak lebih dari
wewenangnya: mengubah tuduhan jaksa.
Tapi untuk menindak hakim, bukankah itu wewenang Mahkamah Agung?
Memang benar, "tapi" ujar Moedjono, "orang tahunya 'kan Menteri
Kehakiman?" Selain itu, lanjutnya, cara-cara Suradi menghukum
Suparlan "telah menyinggung perasaan keadilan."
Ketua Mahkamah Agung, Oemar Seno Adji, tidak begitu menyetujui
cara Menteri Kehakiman menindak hakim bawahannya. "Bagaimana
mungkin seorang hakim tidak diberi perkara -- 'kan sama dengan
dokter dilarang praktek," kata Seno Adji. Betul, sambung Seno,
Suradi ada melakukan kesalahan. Misalnya, putusan terhadap
Suparlan, "terlalu cepat dijatuhkannya." Tapi, lanjutnya, toh
kesalahannya masih dapat diperbaiki oleh pengadilan tinggi
maupun Mahkamah Agung. Tidak dijelaskan oleh Seno Adji,
bagaimana nasib Suparlan yang tidak mengetahui upaya hukum untuk
menghindarkan diri dari hukuman mati, bila tidak justru karena
saran dan permintaan banding pihak jaksa. Dalam memori
bandingnya Jaksa Penuntut Umum, Titiek Waluyo, tidak
mempersoalkan berat-ringan hukuman Suradi. Ia hanya
mempersoalkan sikap hakim yang mengenyampingkan pasal-pasal
tuduhannya. Dan Mahkamah Agung memang sudah menegur Suradi.
Belakangan tidak mudah mencari Suradi baik di pengadilan maupun
di rumahnya. Setelah cuti, menurut keluarganya, hakim tersebut
pergi ke luar kota. Tapi Ketua Pengadilan Negeri Surabaya,
Soedijono, membenarkan bahwa bawahannya, Suradi (52 tahun) yang
telah berpengalaman menjadi hakim selama 25 tahun, kini tidak
diperkenankan memegang sesuatu perkara. Ia membantah hukuman
mati yang dijatuhkan Suradi terhadap Suparlan atas perintahnya.
Yang dilakukan anggotanya adalah "konsultasi," katanya, "saya
hanya memberi pertimbangan -- hakim 'kan mandiri." Siapa
menyangka, katanya, belakangan urusan menjadi heboh?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini