BERZIARH, berdoa dan zikir di makam Syech Burhanuddin di
Ulakan, pada suatu hari tertentu di bulan Safar (Desember -
Januari ini), dan dilaksanakan sampai 7 kali, pahalanya sama
dengan ibadat haji.
Itu adalah kepercayaan pengikut Tarekat Syathariyah di Sumatera
Barat. Jumlah mereka lumayan besar. Di Kabupaten Padang Pariaman
saja diperkirakan lebih dari 100 ribu orang. Di
kabupaten-kabupaten lain hampir sebanyak itu pula.
Desa Ulakan, di Kecamatan Nan Sebaris Padang Pariaman, memang
pusat aliran Syathariah yang sudah masuk Minangkabau sejak 1670.
Pelopornya Syech Burhanuddin itulah, yang membawa aliran itu
setelah belajar dengan Syech Abdurrauf Syiah Kuala -- yang
namanya dipakai untuk universitas negeri di Banda Aceh.
Di sekitar bulan Safar, Ulakan seperti sehuah kota kecil. Desa
pantai terletak 57 km dari Padang itu diserbu para pengikut
bahkan dari Riau, Jambi, Aceh dan Sumatera Utara.
Di atas ketiga makam (dari Syech Burhanuddin dan dua
sahabatnya), ada atap tirai yang tiap bulan Safar diganti.
Penukaran tirai selalu dibarengi perebutan oleh para pengikut
bekas tirai dibawa pulang, sebagai azimat atau pun obat.
Selama masa ziarah (sekitar 2 minggu), jumlah penduduk Ulakan
yang resminya kira-kira 12.500 orang itu membengkak menjadi
lebih dari 100 ribu. Ini pada siang hari -- malamnya kurang,
sebab banyak yang pulang. Tapi khusus di malam puncak doa dan
zikir, sekitar kompleks akan dihuni lebih dari 60 ribu orang
seperti yang terjadi kemarin ini.
Tidak ada catatan resmi sejak kapan tradisi ziarah ke makam
Syech Burhanuddin dimulai. Tapi pengurus Yayasan Syech
Burhanuddin yang mengelola kompleks mempercayai bahwa syech
mereka itu meninggal hari Rabu 10 Syafar 1111 H. Karena itu
pula acara puncak ziarah dilaksanakan tiap Rabu yang jatuh
sesudah 10 Safar. Karena acara dilaksanakan tiap Safar,
lama-lama disebut upacara 'Basafar'. Dalam bahasa sehari-hari
'Basapa'.
Upacara dimulai setelah sembahyang isya, resminya berlangsung
sampai jam 24.00. Tapi pengikut yang terlalu fanatik (atau punya
"tujuan-tujuan tertentu") bertahan sampai subuh. Di situ
dilakukan bermacam cara berdoa dan zikir. Dan orang-orang pun
menyentuh makam. Ada yang bersujud ke situ. Ada yang mengambil
pasir dan tanah makam untuk dibawa pulang. Ada yang menaruh
limau untuk beberapa saat, kemudian dibungkus dibawa pulang.
Tanah dan pasir digunakan untuk ramuan pupuk padi, agar "tumbuh
subur dan lebat". Macam-macamlah tingkah yang oleh kebanyakan
ulama akan dituding sebagai syirik, tahyul atau penyembahan
benda. Sementara itu, Yayasan Syech Burhanuddin yang didirikan
sejak 1969 menaruh sebuah peti besi derma. Ketika dibuka tahun
lalu, isinya mendekati Rp 1 juta.
Sudah tentu Syathariah bukan hanya berarti kuburan. Bahkan
upacara pemuaan makam, yang ada di mana-mana, bukan sebuah ciri
mengapa sebuah tarekat bernama tarekat. Yang datang ke upacara
di Ulakan pun mungkin sebagian, atau sebagian besar, orang-orang
yang sekedar mengambil berkah untuk suatu "keperluan" -- atau
paling jauh tidak dengan sendirinya mereka pemeluk aktif.
Aliran Syathariah yang di Jawa Timur misalnya cukup terkenal.
Mereka mengelola pondok Pesantren Sabilul Muttaqin (PSM) yang
punya beratus cabang dan diketuai KHM Tarmudji (salah seorang
ketua DPP Golkar, dan orang yang di malam resepsi menyambut abad
XV di Istana tempo hari tampil membaca doa penutup, sesudah
ceramah Hamka). Adalah PSM yang kalau tidak salah sudah dua kali
melakukan transmigrasi bedol pesantren: ratusan orang, lengkap
dengan santri dan kiai-kiainya plus keluarga. Toh menurut drs
Bisri Affandi MA tokoh aliran itu yang sekarang menjadi Dekan
Fakultas Tarbiah IAIN Sunan Ampel Surabaya, pengikut Syathariah
sebenarnya hanya sekitar 150 - 200 orang -- "yang benar-benar
masih terus aktif." Kok, sedikit amat?
Rahasia Perusahaan
"Sebab Syathariah tidak ekspansionis," katanya. Dan itulah
memang ciri penting umumnya tarekat, yang membedakan mereka
misalnya dari kumpulan semacam Islam Jama'ah. Karena kelompok
tarekat -- seperti juga kebatinan, yang dalam hal ini hanya
berbeda istilah -- terbentuk "dengan sendirinya" oleh persamaan
kebutuhan untuk sesuatu kebahagiaan ketuhanan, arahnya lebih
bersifat 'ke dalam'. Bahkan seperti juga dalam cerita tentang
perguruan pencak silat, mereka yang mau masuk justru
"dipersulit" dengan ujian tertentu.
Memang, dengan demikian kelompok itu tertutup. Tetapi sepanjang
ia sebuah tarekat yang normal, ketertutupan itu lebih bersifat
menjaga "rahasia perusahaan" daripada sebuah sikap congkak yang
mengklaim keselamatan akhirat setidak-tidaknya begitulah cara
mereka berhadapan dengan kelompok-kelompok tarekat lain.
Perbedaan menonjol antara tarekat dan kebatinan yang pertama itu
mengenal wasithah, yakni guru atau perantara -- bukan antara
manusia dan Tuhan, melainkan antara pengikut kini dengan sumber
pertama, yang selalu diakui sebagai Nabi Muharnmad sendiri.
Bisri Affandi misalnya, mengaku punya daftar nama para wasithah
mulai dari Nabi Muhammad, lewat Ali bin Abi Thalib sampai ke
Indonesia. "Tapi sebenarnya sulit dibuktikan secara ilmiah siapa
orang orang itu," katanya.
Yang jelas, wasithah terakhir Syathariah di sini meninggal April
tahun lalu. Itulah Kiai M. Kusnun dari Tanjung Anom, Nganjuk --
yang menerima mandat wasithah dari pendahulunya, Kiai Imam
Mursyid Muttaqin pendiri pondok PSM di Takeran, Magetan -- yang
hilang dalam peristiwa pemberontakan PKI di Madiun 1948 bersama
12 ulama PSM lainnya. Yang tak jelas ialah siapa nama wasithah
pengganti (yang barangkali hanya tidak diumumkan), juga
bagaimana hubungan Syathariah yang di Ja-Tim dengan yang di
Sum-Bar atau tempat lain. Tampaknya mereka memang mempunyai
pusat sendiri-sendiri, meskipun jelas bahwa pada akhirnya
tarekat memang lebih bersifat lokal.
Tetapi seorang wasithah memang bukan orang sembarangan. Ia
dianggap sudah mencapai empat martabat: mursyid (penunjuk,
murbiy (pengasuh), nashih (pemberi petuah) dan kamil alias orang
sempurna (ingat drama Insan Kamil karangan almarhum Abu
Hanifah?). Martabat keempat itulah tentunya yang paling top:
memungkinkannya untuk mclakukan ma'rifat kapan saja
dikehendakinya -- yakni "memperoleh kenikmatan pengetahuan
tertinggi mengenai Dzat," sesuatu yang dekat dengan "ke satuan".
"Orang ma'rifat itu tidak ingat dunia lagi. Jasadnya mati" --
begitu menurut Bisri Affandi.
Pengambilan bai'at, prasetya, juga merupakan wewenang wasithah.
"Jangan diartikan seperti bai'at Islam Jama'ah," kata Bisri
lagi. Bai'at model Syathariah menurutnya semata-mata pemberian
kunci bagi ma'rifat, sedang dalam ma'rifat sendiri wasithah
dikatakan berfungsi sebagai penunjuk jalan.
Menurut pengamatan TEMPO, bai'at Syathariah itu hanya dilakukan
setelah sang calon (yang telah cukup mempelajari dasar-dasar
perguruan) berpuasa sehari semalam tanpa tidur. Setelah itu
mereka melakukan bentuk zikir tertentu (yang berbeda antara satu
tarekat dengan tarekat lain). Setelah dicapai tingkat suasana
khidmat yang dikehendaki, wasithah lantas membisikkan sesuatu ke
telinga sang calon yang mengikuti tiap katanya. Pada tarekat
lain, seperti Naqsyabandiyah di Sumatera Barat, bai'at misalnya
dilakukan persis tengah malam -- setelah murid dimandikan
kemudian dibungkus kafan putih.
Menurut Bisri Affandi, dalam Syathariah seorang wasithah
sebenarnya tidak punya otoritas mutlak. Dalam arti bahwa ia
menguasai seluruh seluk-beluk kehidupan jamaahnya seperti dalam
Islam Jama'ah, memang. Tetapi kenyataan penghormatan luar biasa
kepada guru (dibanding dengan keadaan di luar tarekat, dan ini
pula semangat yang dekat sekali hubungannya dengan pemujaan
kubur) betapapun merupakan ciri kelompok-kelompok ini. Man qaala
lima faqad inqatha 'at masyiikhatuhu (Barangsiapa berkata
'kenapa', putuslah hubungan keguruannya), biasa dipandang khas
untuk kalangan ini. Bukankah 'menghadirkan rupa guru', misalnya,
juga diperintahkan dalam samadi atau ber'ma'rifat"? Dan itulah
di antara hal-hal yang sering ditentang kalangan nontarekat
khususnya di hari-hari kemarin.
Tentangan itu datang dari gerakan pemurnian Islam sejak akhir
abad XIX Masehi, seperti yang kemudian ditubuhkan dalam misalnya
Muhammadiyah Al-Irsyad, Persis -- tapi juga dari para eksponen
dalam tubuh partai "konservatif" sendiri seperti Nahdlatul Ulama
yang besar. Dan pelan-pelan memang semangat tarekat mundur ke
belakang, sementara wajah Islam disapu oleh warna yang lebih
"bersemangat".
NU sendiri melakukan "seleksi" terhadap berbagai tarekat dalam
tubuhnya --dengan hasil Jam'iyyah Thariqah Mu'tabarah (Himpunan
Tarekat yang Boleh Dipegang) -- yang pemimpin organisasinya, KH
Musta'in Romli, kemudian lari ke Golkar. Betapapun, yang duduk
di pucuk NU bukan tokoh-tokoh yang dikenal sebagai orang
tarekat. Meski begitu, sangat disangsikan bahwa semangat tarekat
benar menipis (TEMO, 21 Januari 1978). Di Jawa Barat misalnya,
di Tasikmalaya, pcsantren tarekat Qadiriah-Naqsyabandiyah di
Surialaya cukup populer. Selain terkenal maju (punya proyek
pertanian yang luas, punya perpustakaan modern), Juga menjadi
tempat penampungan sementara bagi banyak anak orang kota yang
dikirim orangtuanya untuk "diperhaiki". Almarhum Prof. Aboebakar
Atjeh, yang juga anggota Muhammadiyah (TEMPO, 5 Januari, Pokok
& Tokoh), juga seorang mistikus yang di masa-masa akhir
diketahui menjadi kurang penting di pesantren ini, di samping
menulis satu buku kecil tentang tarekat mereka.
Selain Syathariah, Qadiriah (dari Syech Abdul Qadir Jailani) dan
Naqsyabandiyah memang barangkali tarekat yang paling besar di
tanah air. Di Minangkabau, Naqsyabandiyah diketahui masuk baru
akhir abad lalu, dengan kecepatan mengembang yang tinggi --
konon, menurut catatan Departemen Agama Provinsi, berpengikut
132.408. Lebih kecil dari itu adalah Sammanniah yang berpusat di
Kabupaten 50 Kota: sekitar 50.000 orang.
Sebuah penelitian yang dilakukan LEKNAS 1977, yang menugaskan
drs. Nur Anas Jamil, menyatakan bahwa di Sum-Bar masih terdapat
aliran-aliran kecil meski hampir tak dikenal (dan demikian
mestinya di semua pelosok tanah air) Munfaridiyah, Mufradiyah,
Munfasidiyah dan apa lagi. Di Aceh ada Rifa'iyah yang tua. Di
Jawa Tengah dan banyak tempat terdapat tarekat Syadziliyah.
Di samping itu cukup menarik terdapatnya kelompok-kelompok
'amalan', yakni kumpulan non-tarekat yang mempraktekkan wirid
atau zikir seperti orang tarekat. Bahkan ada juga yang
menyebarkan secara tak bersyarat kumpulan zikir seperti Shalawat
Wahidah dicetak stensilan, dan dikatakan "sudah diijazahkan"
kepada siapa saja -- tak perlu dibai'at lebih dulu untuk bisa
mengamalkannya. Dikabarkan juga bahwa warga Muhammadiyah banyak
pula yang mengamalkan wirid secara berombongan -- berbeda dari
waktu yang sudah-sudah -- misalnya dengan mengambil doa-doa
dalam Al-Ma'tsurat susunan Imam Hasan Al-Banna, ulama Ikhwanul
Muslimin di Mesir yang dihukum mati Jamal Abdul Nasser dahulu.
Perbedaan mereka dengan tarekat sudah tentu mereka tidak merasa
perlu mengambil segi metafisik yang "sulit-sulit' (atau kadang
aneh-aneh) untuk amalan yang dimaksud sekedar mencapai
ketenteraman dan kekhusyukan hidup. Tidak seperti orang tarekat,
yang umumnya percaya bahwa Nabi sebenarnya mewariskan dua macam
ilmu yang syari'at dan yang hakikat. Sesudah masa pembersihan
mistik oleh Ghazali (meninggal 1111 M.), orang tarekat sekarang
bukan hanya menyatakan bahwa orang takkan mencapai "pengetahuan
sejati tentang Tuhan" bila hanya memegang syari'at. Tapi juga
bahwa hakikat itu tak mungkin dicapai tanpa syari'at. Dan di
antara keduanya itu berdirilah tarekat, 'jalan'.
Seirama
Ulama non-tarekat sudah tentu masih membutuhkan bukti bahwa Nabi
memang mewariskan "dua ilmu". Apa lagi seperti pernah ditulis
Prof. Dr. Rasjidi, pembagian "syari'at, tarekat dan hakikat"
itu, yang menurutnya datang dari seorang sufi India, "sudah
ketinggalan zaman". Lagi pula siapa yang mengatakan bahwa
seorang yang hanya bersyari'at dengan baik saja takkan mampu
mencapai kebahagiaan ketuhanan, asal istilah itu diartikan
secara wajar? Barangkali, memang, untuk sebagian orang
diperlukan usaha "mempermudah" dengan wirid atau zikir, kalau
tidak lewat tarekat. Tetapi Ustaz Said Thalib Al-Hamdany
misalnya, ulama Pekalongan yang banyak juga menulis buku agama,
mengritik Ghazali dan mendaftar beberapa "kesombongan
ketuhanan"nya.
Dan memang, di sekitar ide tentang ma'rifat itulah tumbuh
berbagai "konsep tambahan" tentang ketuhanan. Juga tentang
tujuan hidup (Bisri Affandi misalnya mengatakan: tujuan hidup
kita bukanlah surga, melainkan ma'rifat Allah'). Atau di
sana-sini, yang banyak dikritik, cara-cara mencapai
"kemanunggalan". Dan ini memang berbeda-beda antar aliran, dan
perbedaan itu pula menentukan "sah dan tidak sahnya" sesuatu
tarekat -- misalnya dilihat dari kacamata NU.
Juga literatur mereka berbeda-beda. Bisri sendiri menuturkan di
Indonesia tidak ada buku tasauf yang cocok dengan dirinya --
kecuali tentunya Al Hikam dari Ibnu 'Athaillah (Iran). "Semua
orang mempelajari Al-Hikam," katanya. "Tapi kalau bukan orang
Syathariah, lain cara menafsirkannya. Ibnu 'Athaillah memang
orang Syathariah." Kalaupun ada buku tasauf yang dibikin orang
Indonesia sendiri, maka itu adalah Serat Wirid Hidayat Jati dari
Ronggowarsito -- yang dinilai Bisri sebagai "seirama".
Dan memang orang Syathariah menganggap Ronggowarsito orang
mereka (ia dikabarkan dahulu belajar di pondok Tegalsari,
Ponorogo). Tidak hanya dia. Juga Sultan Agung dan para
WaliSongo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini