SEORANG pcnduduk Kalisat, Jember, punya anak di SMP. Tapi
tetangganya mengira anak itu hanya kursus saja.
Setelah 6 bulan berjalan, SMP-T atau SMP Terbuka yang ada di
lima daerah --Kalianda di Lampung, Plumbon di Cirebon, Adiwerna
di Tegal, Kalisat di Jember dan Terara di Lombok -- belum juga
dipahami sepenuhnya oleh masyarakat sekitarnya. "Habis orang
tahunya kalau sekolah harus datang ke gedung sekolah, pada jam
tertentu, dengan guru yang banyak," kata Jusufhadi Miarso,
Kepala Pusat Teknologi Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan
(PTKPK), yang diserahi mengelola kelima SMP-T tersebut. "Memang
sulit memberikan pengertian bahwa orang belajar tidak harus
begitu."
Itulah salah satu masalah SMP-T yang dibicarakan dalam minggu
ini oleh Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah dan PTKPK. Meski
begitu, toh, jumlah murid cukup banyak. Kecuali di Kalianda,
yang hanya mempunyai murid sekitar 50-an, SMP-T yang lain jumlah
murid sampai antara 130-180-an, tak jauh dari angka 200 --jumlah
yang direncanakan. Jumlah keseluruhannya mencapai 700 orang
lebih.
Uang Proyek
Dari jumlah itu, yang diberitakan putus sekolah hampir 50%
ternyata tidak benar (TEMPO, 12 Januari). Setijadi, Ketua Badan
Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, mengaku
agak khilaf memberikan penjelasan. Jumlah putus sekolah sampai
bulan keenam ini ternyata tak lebih dari 10% (51 murid). "Tapi
banyak atau sedikit, perlu dibicarakan apa sebab dan
pengaruhnya," katanya. Dan yang disebut putus sekolah itu pun,
sebagian besar pindah sekolah karena orangtuanya pindah ke
daerah lain.
Yang menarik, sebuah SMP Muhammadiyah di Kalisat merasa mendapat
saingan dengan dibukanya SMP-T. Jumlah calon murid yang
mendaftar tahun lalu pada SMP swasta itu menurun.
Semua kenyataan itu agaknya menandakan keinginan belajar yang
kuat pada masyarakat -- sambil mengingat kemampuan dan
kesempatan yang mereka punyai. Tapi pemerintah untuk tahun ini
belum akan menyebarkan SMPT lagi. "Masih ada sejumlah masalah
yang harus diatasi terlebih dahulu," kata Jusufhadi.
Kesulitan itu, misalnya, di SMP-T Adiwerno. Di sini TEMPO
mencatat siaran pelajaran lewat radio ternyata lebih cepat
daripada yang sedang dipelajari para siswa. Di SMP-T memang
proses belajar lebih ditekankan kepada inisiatif murid sendiri,
hingga "kontrol agak susah dilakukan," kata Jusufhadi pula.
Pemecahannya, pelajaran lewat radio lantas dikasetkan, dan kaset
itu dibagikan kepada tiap kelompok belajar. Jadi diberikan
kesempatan mengulang bagi yang ketinggalan.
Di SMP-T Adiwerno juga, pak kepala sekolah -- yang juga kepala
sekolah SMP Negeri di situ -- mulai kewalahan. Guru guru SMP
Negeri yang ditugasi membantu SMP-T semakin repot, sementara
honorarium kelebihan jam mengajar para guru yang tugas rangkap
itu tak seberapa. Ini diakui oleh Jusufhadi sendiri. Kini sedang
diusulkan, agar SMPN yang juga mengelola SMP-T diberikan
prioritas dalam pengangkatan guru baru.
Kecilnya imbalan bagi tenaga guru di SMP-T memang disengaja.
Dikhawatirkan, kalau dalam proyek perintisnya ini tenaga guru
diberikan imbalan cukup, pada penyebarannya nanti akan timbul
berbagai keluhan. Sebab, setelah SMP-T tak lagi dibiayai dengan
uang proyek, besar imbalan bagi tenaga guru di SMP-T (disebut
tenaga Pembimbing dan Pembina) akan jauh berkurang. Dan untuk
SMP-T ini sebetulnya memang direncanakan ada sumbangan tenaga
Pembimbing dari masyarakat sekitarnya sendiri. Tentu saja yang
memenuhi syarat. Dan agaknya itu yang agak susah dicari.
"Tapi itu masalah umum bagi sekolah," kata Jusufhadi. "Anggaran
terbesar sekolah adalah untuk gaji guru. " Dan seperti
diketahui, SMP-T diadakan untuk menyediakan sekolah murah, guna
mengatasi ledakan lulusan SD.
Pakai Sarung
Sekarang, bagaimana dengan kemajuan belajar para siswa SMP-T itu
sendiri, dibanding dengan SMP biasa? SMP-T Adiwerno yang telah
menyelenggarakan ulangan umum, menurut Soesilo, kepala
sekolahnya, hasilnya tak mengecewakan. Tapi Jusufhadi belum
berani mengatakan penilaiannva, karena "belum jelas
standarisasinya."
Penilaian kemajuan belajar sekarang ini praktis diserahkan
kepada masing-masing kepala sekolah SMP-T itu. "Dari cara
masing-masing SMP-T mungkin bisa dipilih mana yang terbaik yang
bisa digunakan," tambah Jusufhadi.
Hasrat belajar para siswa SMP-T sendiri agaknya cukup
menggembirakan. "Saya bisa membantu ibu pagi hari, sorenya baru
masuk kelompok belajar," kata Agoes, murid SMP-T Kalisat. Herry
di SMP-T yang sama lain lagi kebanggaannya: "Meski terbuka tapi
'kan negeri juga. Daripada di SMP swasta," katanya kepada
wartawan TEMPO untuk Jawa Timur.
PTKPK sendiri yang baru mengadakan peninjauan ke SMP-T Kalisat,
mendapat permintaan agar para siswa diizinkan belajar dengan
santai. Maksudnya, pakai sarung pun boleh. Dan untuk ini memang
tak ada larangan.
Jadi masalahnya adalah pengertian dan kesadaran: bagaimana
masyarakat mau (dan bangga) memanfaatkan SMP-T, tanpa merasa
"karena tak diterima di SMP Negeri." Usaha SMP-T dengan
mengharuskan siswanya memakai pakaian seragam pada kesempatan
tatap-muka dengan guru pembina, agar tak kalah dengan SMP
Negeri, mungkin kurang bermanfaat. Barangkali satu prestasi
belajar, atau prestasi dalam pertandingan olahraga bisa
memberikan kebanggaan tersendiri bagi sekolah "belajar sendiri"
ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini