Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Bagaimana Bisa Bangga

Smp terbuka di lima daerah kaliandu, lampung, mempunyai murid cukup banyak, sebagai sekolah murah guna mengatasi ledakan lulusan sd. (pdk)

19 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG pcnduduk Kalisat, Jember, punya anak di SMP. Tapi tetangganya mengira anak itu hanya kursus saja. Setelah 6 bulan berjalan, SMP-T atau SMP Terbuka yang ada di lima daerah --Kalianda di Lampung, Plumbon di Cirebon, Adiwerna di Tegal, Kalisat di Jember dan Terara di Lombok -- belum juga dipahami sepenuhnya oleh masyarakat sekitarnya. "Habis orang tahunya kalau sekolah harus datang ke gedung sekolah, pada jam tertentu, dengan guru yang banyak," kata Jusufhadi Miarso, Kepala Pusat Teknologi Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan (PTKPK), yang diserahi mengelola kelima SMP-T tersebut. "Memang sulit memberikan pengertian bahwa orang belajar tidak harus begitu." Itulah salah satu masalah SMP-T yang dibicarakan dalam minggu ini oleh Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah dan PTKPK. Meski begitu, toh, jumlah murid cukup banyak. Kecuali di Kalianda, yang hanya mempunyai murid sekitar 50-an, SMP-T yang lain jumlah murid sampai antara 130-180-an, tak jauh dari angka 200 --jumlah yang direncanakan. Jumlah keseluruhannya mencapai 700 orang lebih. Uang Proyek Dari jumlah itu, yang diberitakan putus sekolah hampir 50% ternyata tidak benar (TEMPO, 12 Januari). Setijadi, Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, mengaku agak khilaf memberikan penjelasan. Jumlah putus sekolah sampai bulan keenam ini ternyata tak lebih dari 10% (51 murid). "Tapi banyak atau sedikit, perlu dibicarakan apa sebab dan pengaruhnya," katanya. Dan yang disebut putus sekolah itu pun, sebagian besar pindah sekolah karena orangtuanya pindah ke daerah lain. Yang menarik, sebuah SMP Muhammadiyah di Kalisat merasa mendapat saingan dengan dibukanya SMP-T. Jumlah calon murid yang mendaftar tahun lalu pada SMP swasta itu menurun. Semua kenyataan itu agaknya menandakan keinginan belajar yang kuat pada masyarakat -- sambil mengingat kemampuan dan kesempatan yang mereka punyai. Tapi pemerintah untuk tahun ini belum akan menyebarkan SMPT lagi. "Masih ada sejumlah masalah yang harus diatasi terlebih dahulu," kata Jusufhadi. Kesulitan itu, misalnya, di SMP-T Adiwerno. Di sini TEMPO mencatat siaran pelajaran lewat radio ternyata lebih cepat daripada yang sedang dipelajari para siswa. Di SMP-T memang proses belajar lebih ditekankan kepada inisiatif murid sendiri, hingga "kontrol agak susah dilakukan," kata Jusufhadi pula. Pemecahannya, pelajaran lewat radio lantas dikasetkan, dan kaset itu dibagikan kepada tiap kelompok belajar. Jadi diberikan kesempatan mengulang bagi yang ketinggalan. Di SMP-T Adiwerno juga, pak kepala sekolah -- yang juga kepala sekolah SMP Negeri di situ -- mulai kewalahan. Guru guru SMP Negeri yang ditugasi membantu SMP-T semakin repot, sementara honorarium kelebihan jam mengajar para guru yang tugas rangkap itu tak seberapa. Ini diakui oleh Jusufhadi sendiri. Kini sedang diusulkan, agar SMPN yang juga mengelola SMP-T diberikan prioritas dalam pengangkatan guru baru. Kecilnya imbalan bagi tenaga guru di SMP-T memang disengaja. Dikhawatirkan, kalau dalam proyek perintisnya ini tenaga guru diberikan imbalan cukup, pada penyebarannya nanti akan timbul berbagai keluhan. Sebab, setelah SMP-T tak lagi dibiayai dengan uang proyek, besar imbalan bagi tenaga guru di SMP-T (disebut tenaga Pembimbing dan Pembina) akan jauh berkurang. Dan untuk SMP-T ini sebetulnya memang direncanakan ada sumbangan tenaga Pembimbing dari masyarakat sekitarnya sendiri. Tentu saja yang memenuhi syarat. Dan agaknya itu yang agak susah dicari. "Tapi itu masalah umum bagi sekolah," kata Jusufhadi. "Anggaran terbesar sekolah adalah untuk gaji guru. " Dan seperti diketahui, SMP-T diadakan untuk menyediakan sekolah murah, guna mengatasi ledakan lulusan SD. Pakai Sarung Sekarang, bagaimana dengan kemajuan belajar para siswa SMP-T itu sendiri, dibanding dengan SMP biasa? SMP-T Adiwerno yang telah menyelenggarakan ulangan umum, menurut Soesilo, kepala sekolahnya, hasilnya tak mengecewakan. Tapi Jusufhadi belum berani mengatakan penilaiannva, karena "belum jelas standarisasinya." Penilaian kemajuan belajar sekarang ini praktis diserahkan kepada masing-masing kepala sekolah SMP-T itu. "Dari cara masing-masing SMP-T mungkin bisa dipilih mana yang terbaik yang bisa digunakan," tambah Jusufhadi. Hasrat belajar para siswa SMP-T sendiri agaknya cukup menggembirakan. "Saya bisa membantu ibu pagi hari, sorenya baru masuk kelompok belajar," kata Agoes, murid SMP-T Kalisat. Herry di SMP-T yang sama lain lagi kebanggaannya: "Meski terbuka tapi 'kan negeri juga. Daripada di SMP swasta," katanya kepada wartawan TEMPO untuk Jawa Timur. PTKPK sendiri yang baru mengadakan peninjauan ke SMP-T Kalisat, mendapat permintaan agar para siswa diizinkan belajar dengan santai. Maksudnya, pakai sarung pun boleh. Dan untuk ini memang tak ada larangan. Jadi masalahnya adalah pengertian dan kesadaran: bagaimana masyarakat mau (dan bangga) memanfaatkan SMP-T, tanpa merasa "karena tak diterima di SMP Negeri." Usaha SMP-T dengan mengharuskan siswanya memakai pakaian seragam pada kesempatan tatap-muka dengan guru pembina, agar tak kalah dengan SMP Negeri, mungkin kurang bermanfaat. Barangkali satu prestasi belajar, atau prestasi dalam pertandingan olahraga bisa memberikan kebanggaan tersendiri bagi sekolah "belajar sendiri" ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus