PERNAHKAH anda ditangkap dan ditahan polisi tanpa dosa Itu
memang suatu kerugian. Apalagi menyangkut nama baik. Apalagi
untuk menuntut ganti rugi, seperti selama ini, memang tak ada
jalan. Tapi, jangan khawatir. Sudah dirancangkan suatu cara
menuntut ganti rugi oleh RUU Hukum Acara Pidana yang bakal
muncul tak lama lagi.
Beberapa hal yang sudah lama dijanjikan hendak diatur
tatacaranya. Misalnya soal ganti rugi, pemulihan nama baik yang
tercemar karena penahanan, atau adanya bantuan hukum sejak mulai
berurusan dengan polisi, RUU-nya sudah siap terdiri dari 22 bab
dan 280 pasal. Dibanding dengan undang-undang yang sekarang
berlaku (lengkapnya 15 bab dengan puluhan pasal telah dicabut
dari 394 pasal) hukum acara bikinan "manusia merdeka" itu
diharapkan akan lebih sreg.
Sebab, begitu penjelasan RUU menyatakan, UU baru ini nanti
selain mengandung ketentuan dan tatacara proses pidana, juga
memuat hak dan kewajiban mereka yang terlibat.
Kemajuan Baik juga didengar "gunjingan" para ahli hukum berikut
ini sebelum RUU itu masuk DPR
Penyidikan & Penuntutan
Undang-undang yang lama menentukan bahwa polisi dan jaksa punya
hak yang sama untuk melakukan penyidikan. Itu tercantum dalam UU
Pokok Kepolisian dan Kejaksaan 1961. "Sejak itulah terjadi
keruwetan nasional gara-gara soal penahanan," ujar Tambunan SH
dari Pusbadhi (Pusat pengabdi & bantuan hukum).
Kini dirancangkan, dalam RUU Hukum Acara Pidana, bahwa tugas
penyidikan hanya oleh pejabat kepolisian negara, yang berpangkat
paling rendah Pembantu Letnan Polisi. "Pejabat tcrtentu" lain,
seperti imigrasi, bea-cukai atau kehutanan ada juga diberi
wewenang khusus oleh undang-undang. Mereka juga boleh melakukan
penyidikan.
Penuntutan, penyerahan atau pelimpahan sesuatu perkara pidana ke
pengadilan, dilakukan oleh penuntut umum jaksa. Dalam hal ada
kekurangan pada penyidikan, penuntut umum masih diberi wewenang
mengadakan "penyidikan lanjutan".
Albert Hasibuan, Ketua I Persahi, dapat menerima pembagian tugas
yang jelas antara kepolisian dan kejaksaan tersebut. "Hanya
saja," katanya, "penyidikan oleh jaksa harus benar-benar
merupakan tambahan saja." Yang harus dijaga, tambah ahli hukum
lain, mudah-mudahan jaksa tidak selalu menganggap penyidikan
oleh polisi masih perlu tambahan: "Agar tersangka tidak iagi
menjadi balon-balonan," seperti kata Tasrif.
Memang harusnya demikian. "Supaya tersangka tidak jadi bola yang
dapat dioper ke sana ke mari," sambut Sadili Sastrawidjaja SH,
bekas Jaksa Agung Muda bidang Operasi, yang sekarang menjabat
staf ahli dan Ketua Tim Pembahas RUU di Kejaksaan Agung.
Tapi ada buruknya, kata Sadili pula. Alangkah sedihnya kelak
para pengadu hila tak mendapat pelayanan pengaduan dari instansi
penyidik yang tunggal itu.
Penahanan
Ada 5 pasal (20 s/d 24) yang mengaur "pembagian" hak menahan
bagi polisi jaksa dan pengadilan tingkat pertama dan banding.
Yaitu, untuk keperluan penyidikan, polisi boleh menahan
tersangka paling lama 60 hari. Kejaksaan, untuk menyiapkan
tuntutan, hanya diberi waktu 30 hari. Bila itu belum cukup,
pengadilan hanya akan mengijinkan sekali perpanjangan lagi,
selama 30 hari.
Pengadilan hanya diberi waktu sebulan dan paling lama dua bulan
untuk mempelajari berkas. Dalam jangka waktu tersebut perkara
harus sudah disidangkan. Waktu persidangan juga dibatasi: paling
lama 180 hari, perkara harus sudah putus. Bila perkara harus
naik ke Pengadilan Tinggi, putusan banding juga harus turun
paling lama 150 hari.
Bila dalam waktu yang sudah ditentukan, tiap tingkat peradilan
itu belum dapat membereskan pckerjaannva --penahanan seseorang
paling lama 17 bulan --undang-undang baru itu nanti menjanjikan
pembebasan bagi si tersangka.
Ketentuan demikian, menurut Sadili cukup baik: "Dapat memberi
kepastian hukum." UU yang sekarang berlaku, katanya, tidak
memberikan perasaan pasti bagi si tersangka sampai berapa lama
ia akan menjalani penahanan sementara. Apalagi bila perkara
sudah dilimpahkan ke pengadilan. "Di situ hakim dapat
memperpanjang masa penahanan terus sdmpai perkara divonis."
Tambunan berpendapat lain. "Masa penahanan sementara itu (yang
17 bulan) terlalu lama--saya tidak setuju!" Wakil Presiden Adam
Malik, menurut Ketua Pusbadhi ini, punya ide yang dianggapnya
baik: penahanan oleh polisi dan jaksa sebaiknya tak lebih dari
tiga bulan. Hakim juga hanya boleh menahan, untuk keperluan
sidang, tidak lebih dari 90 hari. Pengadilan Tinggi cukup 60
hari.
"Dan, jangan lupa," kata Tambunan, "perkara yang sering
berlarut-larut di Mahkamah Agung juga harus ditentukan kapan
harus selesai." Ataukah penyusun RUU belum 'berani' menyinggung
Mahkamah Agung?" tanya Tambunan.
SEMENTARA itu menurut Albert Hasibuan SH, penjatahan hak menahan
"hanya maju dari segi administrasi belaka." Beberapa hal
dikatakannya masih kurang pas. "Penahanan yang hanya didasarkan
untuk 'kepentingan penyidikan' atau hanya karena terdapat 'cukup
dugaan' saja, tanpa mencantumkan harus ada bukti yang cukup
lebih dulu, bisa menimbulkan kesewenang-wenangan." Paling tidak,
menurut Albert, harusnya RUU juga merancangkan lembaga Hakim
Komisaris yang dapat mengontrol dan membantu si tersangka
bertanya kepada penyidik: apa pasalnya sampai ia ditangkap dan
ditahan?
"Betul," sambut Tambunan. "Saya kira, karena sudah lama kita
tunggu adanya Hakim Komisaris, RUU akan mencoba melembagakannya
. . . eh, ternyata harapan begitu tak terpenuhi." Hal lain yang
masih dirasakan kurang pas, masih menurut Tamburian, pasal
penahanan kelihatan diskriminatif. Coba saja. Tersangka yang
diancam hukuman penjara, bila ia "tidak mempunyai tempat tinggal
atau tempat kediaman yang tetap," dapat ditahan.
"Apa-apaan ini. Jadi orang miskin yang tak punya rumah, seperti
kebanyakan warganegara gelandangan, begitu mudahnya masuk
tahanan?" Menurut Tambunan, undang-undang yang lama, sudah cukup
baik "Siapa yang dianggap menyulitkan pemeriksaan, entah dia si
miskin yang tak punya rumah atau milyuner dengan rumah gedung,
semuanya dapat ditahan."
Seperti juga HIR, menurut pengacara Iswin Siregar SH, RUU ada
merancangkan pasal penangguhan penahanan. Tap baik penyidik,
penuntut maupun pcngadilan ternyata hanya dibekali dengan
syarat-syarat subyektif --artinya dapat sewenang-wenang, karena
tak ada disyaratkan secara terperinci. Mereka sewaktu-waktu
dapat mencabut putusan penangguhan penahanan.
Bantuan Hukum
Pasal-pasal mengenai bantuan hukum cukup panjang (ada 8 pasal)
dirancangkan. "Tapi semuanya itu tidak mengesankan ada
penghargaan terhadap hak memperolehnya," ujar Tambunan. Hak
didampingi penasehat hukum selama pemeriksaan pendahuluan
olehpolisi atau jaksa tidak ada diatur. Dibanding dengan
konsensus Cibogo antara penegak hukum, yang mengijinkan
pengacara mendampingi tersangka dan mendengarkan pemeriksaan --
meskipun prakteknya juga seret--RUU dala,m hal ini kelihatan
mundur.
Bahkan pertemuan antara pengacara dengan kliennya hanya
dimungkinkan dengan pengawasan yang berwajib. "Bahkan apa-apa
yang dibicarakan juga dicatat dan hasilnya dilaporkan kepada
pemeriksa perkara untuk melengkapi berita acara pemeriksaan."
Jadi, menurut Tambunan lagi, "untuk apa bertemu pengacara--kalau
hanya untuk teken surat kuasa saja?" Tasrif menyarnbut: "Itu
'kan melanggar prinsip komunikasi pribadi--merupakan hak yang
diberikan tapi digerogoti lagi."
Bagi Albert Hasibuan, dicantumkannya pasal bantuan hukum saja,
itu sudah merupakan kemajuan. Setidaknya "kelonggaran". Tapi,
"untuk fair trial, hak bicara empat mata antara tersangka dengan
pengacaranya harusnya diberikan," katanya.
Ganti Rugi
Ini juga pasal baru. Di RIB memang tak ada walaupun dalam UU
Pokok Kehakiman yang tanpa peraturan pelaksanaan sudah
tercantum. Diharapkan, dengan hak seseorang menuntut ganti rugi
bila ternyata penyidik salah comot atau keliru menahan, "ringan
tangan" main tangkap dan tahan tidak lagi sering terjadi.
Berapa besar ganti rugi yang dapat dituntut? Memang sulit
ditentukan.
Yang dikhawatirkan Albert adalah bila ternyata proses gugatan
ganti rugi akan memakan waktu lama. Tambunan lebih optimis.
Sebab, katanya, perkara gugatan ganti rugi demikian, yanghanya
memerlukan ketetapan hakim (bukan gugatan perdata biasa),
merupakan perkara sederhana. Tapi, "mengapa hanya bagi kasus
salah tangkap dan salah tahan saja? Bagaimana dengan penahanan
yang berlarut dan melebihi hukuman yang dijatuhkan hakim atau
yang sama sekali bebas?"
Hal itu ada hubungannya dengan penangkapan dan penahanan yang
harus dicukupi dengan bukti lebih dulu. Itu repot. Sebab,
menurut Sadili, "kalau bukti sudah betul-betul cukup, tak akan
ada lagi istilah vrijspraak (bebas dari tuduhan karena tak
terbukti bersalah) atau onstlag (bebas dari tuntutan hukum)."
Apalagi, menurut Sadili, bukankah HIR (hukum) itu sudah berjalan
sebelum tindak pidana terjadi?"
Peradilan
Sadili menilai pemeriksaan yang menganggap tersangka hanya
sebagai obyek, inkwisitor, tak tercermin dalam RUU Hukum Pidana
yang baru itu. Tapi Albert menilai lain. Dalam RUU yang berlaku,
katanya, sistem peradilan meletakkan hakim duduk memimpin
pengadilan secara aktif. Mendudukkan tersangka sejajar dengan
jaksa yang me nuntutnya, sepertl dalam sistem Akusator, menurut
Albert lebih sejalan dengan asas praduga tak bersalah bagi si
tersangka.
Selama hakim masih aktif, seperti sekarang ini, menurut Tambunan
kedudukan tersangka payah: jadi otyek pemerasan pengakuan dan
melanggar hak ingkar tersangka. Prof. Oemar Seno Adji, ketika
masih Menteri Kehakiman, pernah menyatakan kepada anggota DPR:
akusator seperti dianut sistem jury di negara Anglo-Saxon memang
modern. Tapi, katanya, apakah pengacara yang ada sudah dapat
"mengovey" semua perkara?
"Memang belum," kata Tambunan. Tanpa pembela, jika hakim tidak
ikut aktif, si tersangka memang "dapat dimakan oleh jaksa."
Tapi, Tambunan punya usul, kalau si tersangka didampingi pembela
baiknya hakim hanya bertindak sebagai wasit: "Biarlah pengacara
yang duel dengan jaksa."
MENGENAI tatacara pemeriksaan saksi, menurut beberapa ahli,
RUU tidak mengaturnya sebaik undang-undang yang lama. HIR
mengatur saksi diperiksa lebih dulu sebelum hakim mulai dengan
terdakwa. Prakteknya, seperti sering dikritik para pembela,
berdasarkan kebiasaan saja hakim selalu memulai memeriksa
terdakwa lebih dulu.
Agaknya kebiasaan begitu dirasakan paling cocok. Buktinya RUU
merancangkan meneguhkan cara demikian. Tapi, menurut pengacara
pada umumnya, "Itu sungguh di luar harapan." Prinsipnya, kata
mereka, "jaksalah yang harus membuktikan tuduhannya, dengan
mengajukan saksi atau barang bukti lain, bukan pertama-tama
mendesak terdakwa."
Baiklah. Jadi apa kesimpulannya?
Secara keseluruhan, menurut Tambunan, "titik berat RUU hanya
pada kelancaran penyelesaian perkara dilihat dari kaca mata
pemerintah saja."
Jadi, katanya, jika RUU menjadi UU kelak -- bila keadaannya
tetap seperti sekarang -- "hanya akan merupakan undang-undang
yang temporer sifatnya. " Artinya, "jika dibanding HIR yang
sudah berumur lebih 100 tahun, undang-undang bikinan kita
sendiri tidak bisa bertahan seperti itu," ujar Tambunan.
Apalagi, "di masa-masa mendatang, jelas, masalah hak asasi akan
menjadi persoalan bagi kita."
Albert Hasibuan SH, anggota Komisi III/DPR sekarang dan Ketua I
Persahi (organisasi para ahli hukum), juga berpendapat seperti
Tambunan. Di sanasini RUU memang ada menunjukkan sesuatu yang
baru, juga kemajuan. Tapl, katanya, kemajuan belum menyentuh
hal-hal yang prinsipiil."Saya belum melihat perubahan prinsipiil
dalam perlindungan hak tersangka."
Bagi Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, dosen Fak. Hukum Universitas
Gajah Mada, RUU Hukum Acara Pidana cukup memuat hal-hal baru.
Yaitu, mengenai hak-hak tersangka akan bantuan hukum, ganti rugi
sampai pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan. Akan cerminan
masalah hak asasi manusia dalam RUU, menurut Sudikno.
"Saya belum mendalaminya." Yang jelas, lanjutnya, "dalam RUU ada
ketentuan mengenai hak-hak tersangka selama ditahan dan
dituduh--apakah hal itu sudah memuaskan, saya belum berani
mengatakannya sekarang."
Tapi RUU itu, betapapun juga, menurut Jaksa Agung Ali Said sudah
menunjukkan kehendak merubah hukum acara pidana secara
"drastis". Khususnya yang berhubungan dengan penahanan dan hak
tersangka. Batasan-batasan hak penahanan yang akan diatur,
seperti tersebut dalam RUU, diharapkan Jaksa Agung dapat
mengatasi "kerunyaman" masalah tahanan selama ini.
Dan tentu saja diharapkan, bahwa kritik-kritik para ahli hukum
di atas. betapapun kerasnya, akan bisa memperbaiki mana yang
kurang dari itu RUU.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini