Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tak akan bertahan 100 tahun ?

Tanggapan beberapa ahli hukum al: ro. tambunan sh, ka pus badhi, albert hasibuan sh, ka persahi, sadili sastrawidjaja sh, ka tim pembahas ruu, iswin siregar sh, pengacara & prof.dr. sudikno m, dosen fh gama. (hk)

8 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERNAHKAH anda ditangkap dan ditahan polisi tanpa dosa Itu memang suatu kerugian. Apalagi menyangkut nama baik. Apalagi untuk menuntut ganti rugi, seperti selama ini, memang tak ada jalan. Tapi, jangan khawatir. Sudah dirancangkan suatu cara menuntut ganti rugi oleh RUU Hukum Acara Pidana yang bakal muncul tak lama lagi. Beberapa hal yang sudah lama dijanjikan hendak diatur tatacaranya. Misalnya soal ganti rugi, pemulihan nama baik yang tercemar karena penahanan, atau adanya bantuan hukum sejak mulai berurusan dengan polisi, RUU-nya sudah siap terdiri dari 22 bab dan 280 pasal. Dibanding dengan undang-undang yang sekarang berlaku (lengkapnya 15 bab dengan puluhan pasal telah dicabut dari 394 pasal) hukum acara bikinan "manusia merdeka" itu diharapkan akan lebih sreg. Sebab, begitu penjelasan RUU menyatakan, UU baru ini nanti selain mengandung ketentuan dan tatacara proses pidana, juga memuat hak dan kewajiban mereka yang terlibat. Kemajuan Baik juga didengar "gunjingan" para ahli hukum berikut ini sebelum RUU itu masuk DPR Penyidikan & Penuntutan Undang-undang yang lama menentukan bahwa polisi dan jaksa punya hak yang sama untuk melakukan penyidikan. Itu tercantum dalam UU Pokok Kepolisian dan Kejaksaan 1961. "Sejak itulah terjadi keruwetan nasional gara-gara soal penahanan," ujar Tambunan SH dari Pusbadhi (Pusat pengabdi & bantuan hukum). Kini dirancangkan, dalam RUU Hukum Acara Pidana, bahwa tugas penyidikan hanya oleh pejabat kepolisian negara, yang berpangkat paling rendah Pembantu Letnan Polisi. "Pejabat tcrtentu" lain, seperti imigrasi, bea-cukai atau kehutanan ada juga diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Mereka juga boleh melakukan penyidikan. Penuntutan, penyerahan atau pelimpahan sesuatu perkara pidana ke pengadilan, dilakukan oleh penuntut umum jaksa. Dalam hal ada kekurangan pada penyidikan, penuntut umum masih diberi wewenang mengadakan "penyidikan lanjutan". Albert Hasibuan, Ketua I Persahi, dapat menerima pembagian tugas yang jelas antara kepolisian dan kejaksaan tersebut. "Hanya saja," katanya, "penyidikan oleh jaksa harus benar-benar merupakan tambahan saja." Yang harus dijaga, tambah ahli hukum lain, mudah-mudahan jaksa tidak selalu menganggap penyidikan oleh polisi masih perlu tambahan: "Agar tersangka tidak iagi menjadi balon-balonan," seperti kata Tasrif. Memang harusnya demikian. "Supaya tersangka tidak jadi bola yang dapat dioper ke sana ke mari," sambut Sadili Sastrawidjaja SH, bekas Jaksa Agung Muda bidang Operasi, yang sekarang menjabat staf ahli dan Ketua Tim Pembahas RUU di Kejaksaan Agung. Tapi ada buruknya, kata Sadili pula. Alangkah sedihnya kelak para pengadu hila tak mendapat pelayanan pengaduan dari instansi penyidik yang tunggal itu. Penahanan Ada 5 pasal (20 s/d 24) yang mengaur "pembagian" hak menahan bagi polisi jaksa dan pengadilan tingkat pertama dan banding. Yaitu, untuk keperluan penyidikan, polisi boleh menahan tersangka paling lama 60 hari. Kejaksaan, untuk menyiapkan tuntutan, hanya diberi waktu 30 hari. Bila itu belum cukup, pengadilan hanya akan mengijinkan sekali perpanjangan lagi, selama 30 hari. Pengadilan hanya diberi waktu sebulan dan paling lama dua bulan untuk mempelajari berkas. Dalam jangka waktu tersebut perkara harus sudah disidangkan. Waktu persidangan juga dibatasi: paling lama 180 hari, perkara harus sudah putus. Bila perkara harus naik ke Pengadilan Tinggi, putusan banding juga harus turun paling lama 150 hari. Bila dalam waktu yang sudah ditentukan, tiap tingkat peradilan itu belum dapat membereskan pckerjaannva --penahanan seseorang paling lama 17 bulan --undang-undang baru itu nanti menjanjikan pembebasan bagi si tersangka. Ketentuan demikian, menurut Sadili cukup baik: "Dapat memberi kepastian hukum." UU yang sekarang berlaku, katanya, tidak memberikan perasaan pasti bagi si tersangka sampai berapa lama ia akan menjalani penahanan sementara. Apalagi bila perkara sudah dilimpahkan ke pengadilan. "Di situ hakim dapat memperpanjang masa penahanan terus sdmpai perkara divonis." Tambunan berpendapat lain. "Masa penahanan sementara itu (yang 17 bulan) terlalu lama--saya tidak setuju!" Wakil Presiden Adam Malik, menurut Ketua Pusbadhi ini, punya ide yang dianggapnya baik: penahanan oleh polisi dan jaksa sebaiknya tak lebih dari tiga bulan. Hakim juga hanya boleh menahan, untuk keperluan sidang, tidak lebih dari 90 hari. Pengadilan Tinggi cukup 60 hari. "Dan, jangan lupa," kata Tambunan, "perkara yang sering berlarut-larut di Mahkamah Agung juga harus ditentukan kapan harus selesai." Ataukah penyusun RUU belum 'berani' menyinggung Mahkamah Agung?" tanya Tambunan. SEMENTARA itu menurut Albert Hasibuan SH, penjatahan hak menahan "hanya maju dari segi administrasi belaka." Beberapa hal dikatakannya masih kurang pas. "Penahanan yang hanya didasarkan untuk 'kepentingan penyidikan' atau hanya karena terdapat 'cukup dugaan' saja, tanpa mencantumkan harus ada bukti yang cukup lebih dulu, bisa menimbulkan kesewenang-wenangan." Paling tidak, menurut Albert, harusnya RUU juga merancangkan lembaga Hakim Komisaris yang dapat mengontrol dan membantu si tersangka bertanya kepada penyidik: apa pasalnya sampai ia ditangkap dan ditahan? "Betul," sambut Tambunan. "Saya kira, karena sudah lama kita tunggu adanya Hakim Komisaris, RUU akan mencoba melembagakannya . . . eh, ternyata harapan begitu tak terpenuhi." Hal lain yang masih dirasakan kurang pas, masih menurut Tamburian, pasal penahanan kelihatan diskriminatif. Coba saja. Tersangka yang diancam hukuman penjara, bila ia "tidak mempunyai tempat tinggal atau tempat kediaman yang tetap," dapat ditahan. "Apa-apaan ini. Jadi orang miskin yang tak punya rumah, seperti kebanyakan warganegara gelandangan, begitu mudahnya masuk tahanan?" Menurut Tambunan, undang-undang yang lama, sudah cukup baik "Siapa yang dianggap menyulitkan pemeriksaan, entah dia si miskin yang tak punya rumah atau milyuner dengan rumah gedung, semuanya dapat ditahan." Seperti juga HIR, menurut pengacara Iswin Siregar SH, RUU ada merancangkan pasal penangguhan penahanan. Tap baik penyidik, penuntut maupun pcngadilan ternyata hanya dibekali dengan syarat-syarat subyektif --artinya dapat sewenang-wenang, karena tak ada disyaratkan secara terperinci. Mereka sewaktu-waktu dapat mencabut putusan penangguhan penahanan. Bantuan Hukum Pasal-pasal mengenai bantuan hukum cukup panjang (ada 8 pasal) dirancangkan. "Tapi semuanya itu tidak mengesankan ada penghargaan terhadap hak memperolehnya," ujar Tambunan. Hak didampingi penasehat hukum selama pemeriksaan pendahuluan olehpolisi atau jaksa tidak ada diatur. Dibanding dengan konsensus Cibogo antara penegak hukum, yang mengijinkan pengacara mendampingi tersangka dan mendengarkan pemeriksaan -- meskipun prakteknya juga seret--RUU dala,m hal ini kelihatan mundur. Bahkan pertemuan antara pengacara dengan kliennya hanya dimungkinkan dengan pengawasan yang berwajib. "Bahkan apa-apa yang dibicarakan juga dicatat dan hasilnya dilaporkan kepada pemeriksa perkara untuk melengkapi berita acara pemeriksaan." Jadi, menurut Tambunan lagi, "untuk apa bertemu pengacara--kalau hanya untuk teken surat kuasa saja?" Tasrif menyarnbut: "Itu 'kan melanggar prinsip komunikasi pribadi--merupakan hak yang diberikan tapi digerogoti lagi." Bagi Albert Hasibuan, dicantumkannya pasal bantuan hukum saja, itu sudah merupakan kemajuan. Setidaknya "kelonggaran". Tapi, "untuk fair trial, hak bicara empat mata antara tersangka dengan pengacaranya harusnya diberikan," katanya. Ganti Rugi Ini juga pasal baru. Di RIB memang tak ada walaupun dalam UU Pokok Kehakiman yang tanpa peraturan pelaksanaan sudah tercantum. Diharapkan, dengan hak seseorang menuntut ganti rugi bila ternyata penyidik salah comot atau keliru menahan, "ringan tangan" main tangkap dan tahan tidak lagi sering terjadi. Berapa besar ganti rugi yang dapat dituntut? Memang sulit ditentukan. Yang dikhawatirkan Albert adalah bila ternyata proses gugatan ganti rugi akan memakan waktu lama. Tambunan lebih optimis. Sebab, katanya, perkara gugatan ganti rugi demikian, yanghanya memerlukan ketetapan hakim (bukan gugatan perdata biasa), merupakan perkara sederhana. Tapi, "mengapa hanya bagi kasus salah tangkap dan salah tahan saja? Bagaimana dengan penahanan yang berlarut dan melebihi hukuman yang dijatuhkan hakim atau yang sama sekali bebas?" Hal itu ada hubungannya dengan penangkapan dan penahanan yang harus dicukupi dengan bukti lebih dulu. Itu repot. Sebab, menurut Sadili, "kalau bukti sudah betul-betul cukup, tak akan ada lagi istilah vrijspraak (bebas dari tuduhan karena tak terbukti bersalah) atau onstlag (bebas dari tuntutan hukum)." Apalagi, menurut Sadili, bukankah HIR (hukum) itu sudah berjalan sebelum tindak pidana terjadi?" Peradilan Sadili menilai pemeriksaan yang menganggap tersangka hanya sebagai obyek, inkwisitor, tak tercermin dalam RUU Hukum Pidana yang baru itu. Tapi Albert menilai lain. Dalam RUU yang berlaku, katanya, sistem peradilan meletakkan hakim duduk memimpin pengadilan secara aktif. Mendudukkan tersangka sejajar dengan jaksa yang me nuntutnya, sepertl dalam sistem Akusator, menurut Albert lebih sejalan dengan asas praduga tak bersalah bagi si tersangka. Selama hakim masih aktif, seperti sekarang ini, menurut Tambunan kedudukan tersangka payah: jadi otyek pemerasan pengakuan dan melanggar hak ingkar tersangka. Prof. Oemar Seno Adji, ketika masih Menteri Kehakiman, pernah menyatakan kepada anggota DPR: akusator seperti dianut sistem jury di negara Anglo-Saxon memang modern. Tapi, katanya, apakah pengacara yang ada sudah dapat "mengovey" semua perkara? "Memang belum," kata Tambunan. Tanpa pembela, jika hakim tidak ikut aktif, si tersangka memang "dapat dimakan oleh jaksa." Tapi, Tambunan punya usul, kalau si tersangka didampingi pembela baiknya hakim hanya bertindak sebagai wasit: "Biarlah pengacara yang duel dengan jaksa." MENGENAI tatacara pemeriksaan saksi, menurut beberapa ahli, RUU tidak mengaturnya sebaik undang-undang yang lama. HIR mengatur saksi diperiksa lebih dulu sebelum hakim mulai dengan terdakwa. Prakteknya, seperti sering dikritik para pembela, berdasarkan kebiasaan saja hakim selalu memulai memeriksa terdakwa lebih dulu. Agaknya kebiasaan begitu dirasakan paling cocok. Buktinya RUU merancangkan meneguhkan cara demikian. Tapi, menurut pengacara pada umumnya, "Itu sungguh di luar harapan." Prinsipnya, kata mereka, "jaksalah yang harus membuktikan tuduhannya, dengan mengajukan saksi atau barang bukti lain, bukan pertama-tama mendesak terdakwa." Baiklah. Jadi apa kesimpulannya? Secara keseluruhan, menurut Tambunan, "titik berat RUU hanya pada kelancaran penyelesaian perkara dilihat dari kaca mata pemerintah saja." Jadi, katanya, jika RUU menjadi UU kelak -- bila keadaannya tetap seperti sekarang -- "hanya akan merupakan undang-undang yang temporer sifatnya. " Artinya, "jika dibanding HIR yang sudah berumur lebih 100 tahun, undang-undang bikinan kita sendiri tidak bisa bertahan seperti itu," ujar Tambunan. Apalagi, "di masa-masa mendatang, jelas, masalah hak asasi akan menjadi persoalan bagi kita." Albert Hasibuan SH, anggota Komisi III/DPR sekarang dan Ketua I Persahi (organisasi para ahli hukum), juga berpendapat seperti Tambunan. Di sanasini RUU memang ada menunjukkan sesuatu yang baru, juga kemajuan. Tapl, katanya, kemajuan belum menyentuh hal-hal yang prinsipiil."Saya belum melihat perubahan prinsipiil dalam perlindungan hak tersangka." Bagi Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, dosen Fak. Hukum Universitas Gajah Mada, RUU Hukum Acara Pidana cukup memuat hal-hal baru. Yaitu, mengenai hak-hak tersangka akan bantuan hukum, ganti rugi sampai pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan. Akan cerminan masalah hak asasi manusia dalam RUU, menurut Sudikno. "Saya belum mendalaminya." Yang jelas, lanjutnya, "dalam RUU ada ketentuan mengenai hak-hak tersangka selama ditahan dan dituduh--apakah hal itu sudah memuaskan, saya belum berani mengatakannya sekarang." Tapi RUU itu, betapapun juga, menurut Jaksa Agung Ali Said sudah menunjukkan kehendak merubah hukum acara pidana secara "drastis". Khususnya yang berhubungan dengan penahanan dan hak tersangka. Batasan-batasan hak penahanan yang akan diatur, seperti tersebut dalam RUU, diharapkan Jaksa Agung dapat mengatasi "kerunyaman" masalah tahanan selama ini. Dan tentu saja diharapkan, bahwa kritik-kritik para ahli hukum di atas. betapapun kerasnya, akan bisa memperbaiki mana yang kurang dari itu RUU.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus