LANTUNG-LANTANG petasan itu bukan bikinan Euis, tapi tetangga.
Euis cukup nonton saja, dan buat para sontok akal itu ini
rupanya agak aneh. "Tidak punya mercon bu?" tanya seorang sepatu
kiker. Euis tersenyum seraya menggelengkan kepala yang sudah
mulai beruban itu. Eh, si kepala angin kiker itu masih juga
bertanya "Kenapa".
Kenapa?
"Ah, tidak biasa saja," begitu Euis.
"Ya, tapi dulu waktu masih muda?" desak si seluar paku dan si
kaos sang migel. Lho, justru di waktu mudanya itulah anak-anak
seangkatan Euis tidak pernah membakar mercon. Apa takut polisi?
Ah, kok polisi. Larangan saja tidak ada.
Tapi ini toh "tradisi", bu? Mana ada Lebaran tanpa petasan? Ah,
berlebaran saja tidak, kata bu Euis mengenang jaman dulu. Ini
baru berita. Si kiker dan si paku dan sang miguel tentu minta
penjelasan.
Mau tak mau Euis mesti membuka dongeng sasakala. Katanya sebagai
gadis dia selalu bergaun putih. Maklum? jururawat. Maka itu dia
selalu dipanggil "zus Euis". Di rumah sakit mana zus? Di kampung
di gunung di hutan, pokoknya di medan perang.
Ei, ei, zus tuis ikut perang? Iya dong. Anak-anak jaman perang
ini tidak menyulut mercon. Tidak ada yang minta mercon.
Anak-anak minta pestol dan senapan. Pedang atau sangkur jadilah.
Tapi semua punya buah nenas yang tidak bisa dimakan, sebab
bisanya cuma meledak. Kalau mereka mau pergi lalu bertanya, bawa
nenas berapa?" itu tandanya mereka mau pergi perang.
Si paku keling--dia itu nona geulis--nyeletuk: "Ah, ibu bohong.
Masa mereka itu anak-anak?"
Baru sekaranglah zus Euis tertawa gelak-gelak. "Aduh, kalian itu
terlalu banyak nonton TVRI dan film nasional! Sebetulnya
setengah dari jumlah pejuang kemerdekaan itu umurnya baru
belasan tahun saja. Banyak sekali yang masih murid SMP dan SMA.
Mahasiswanya cuma sedikit. Jadi mana bisa mereka itu raksasa
brewok semua?"
Para gondrong melongo dan geleng kepala. Apa betul?
+ Ya, kalau jaman sekarang anak-anak mah cuma kebagian peran
setan jalanan minggat dan raja disko mabuk. Yang mengabdi tanah
air tidak ada. Nggak usah bawa bedil. Tuh, seperti zus Euis
dulu, cuma iku pak Tobing saja, naik-turun gunung, kerja
membalut dan mengobati dan masak dan ngangkat barang, melihat
perut robek dan kaki remuk dan sebagainya.
-- Pak Tobing? Wah, orang galak dong! Batak sih . . .
+ Ee ee, jangan prasangka ya! Pak Simon Lumbantobing itu orang
yang paling baik hati di dunia. Biar dia itu komandan batalyon
pelopor dan se]alu di garis depan, tapi dia tidak pernah
gondrong dan brewok. Tidak pernah berteriak dan garang.
Bicaranya selalu lembut, senyumnya banyak. Dan gantengnya bukan
main! Kalau sekarang sih mirip Roy Marten. Sungguh mati! Cuma
kerjanya tidak ranjang-ranjangan. Pacaran saja hampir tak pernah
Perang saja yang diutamakannya. Tapi pacar sih punya, dan
cantiknya seperti Tanty Yosepha. Tidak boleh kumpul di garis
depan. Nah, pak Tobing juga satu-satunya mahasiswa di batalyon.
Bekas mahasiswa kimia Fakultas Teknik Bandung. Dan satu-satunya
Batak di dalam batalyon yang sebagian besar Sunda tambah
beberapa Jawa. Dan saya kira juga satu-satunya Kristen, sebab
anak buahnya Islam semua. Tapi pak Tobing tidak punya pici
militer. Dia selalu pakai fez, topi orang Islam. Dia . . .
-- Aduh ibu ini kalau mendongeng jangan ngawur dong. .
+ Tuh, tidak percaya ya? Padahal semua itu fakta.
-- Bu, dulu tidak takut kena tembak?
+ Ee ee! Zus Euis ini pernah beberapa kali dapat hadiah kanonade
dari Belanda. Misalnya waktu di Ujungberung dan Rancaekek. Tahu
kanonade? Itu hujan peluru meriam. Takut tidak takut, ya semua
itu kita terima saja sebagai gaya hidup jaman revolusi. Zus Euis
mah lebih suka hidup begitu daripada nongkrong di tempat aman.
Lebih suka makan dari besek. Tidur di atas tikar di lantai di
rumah kampung. Tidak ada listrik. Tidak nonton bioskop dan
macam-macam lagi. Tidak disko-diskoan. Kalau malam-malam bisa
ngobrol dan nyanyi dan senda-gurau, itu sudah nikmat sekali.
Keluyuran tidak pernah, . . .
-- Cuma kalau Lebaran tentu pulang ya bu?
+ Pulang? Kok enak. Masak medan perang mau ditinggalkan begitu
saja? Di Batalyon pelopor tidak ada yang pulang!
-- Tapi setidaknya istirahat kalau sedang bulan puasa ya bu .
+ Aduuuh . . . ! Kalian ini kok susah mengerti ya. Musuhi tidak
mau tahu apa kita ini puasa atau tidak. Jadi puasa nggak puasa
kita ya tetap kerja dan tetap perang saja. Bayangin kita ini
dulu minta liburan puasa lantas pulang kampung semua. Wah,
negara ini bakal tidak lahir-lahir saja!
-- Kalau begitu, enakan jaman sekarang ya bu?
+ Tanpa mercon lebih enak.
-- Eh, kenalin dong sama itu Tobing bu! Katanya cakep? Mana
alamatnya?
Maka zus Euis terdiam. Air matanya mulai menitik. Bukan karena
Tobing itu beristirahat di Taman Pahlawan, ucapnya dengan lirih
tertahan-tahan. Tapi karena dia dibunuh dan dipancung kepalanya
oleh sesama bangsa yang disangkanya sesama pejuang. Buat zus
Euis yang wanita, peristiwa yang menimpa komandannya di
Singaparna ini masih selalu keterlaluan saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini