Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Disewakan, pulau seribu

Banyak orang berduit yang menyewa sebuah pulau atau sebidang tanah di kepulauan seribu al: hasyim ning, adam malik. ada juga yang mengelola pulau menjadi pusat pariwisata dengan mendirikan bungalow. (ils)

8 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEPULAUAN Seribu bagaikan serdadu penjaga pantai Jakarta. Walaupun begitu, jumlah pulau-pulau yang berserakan itu tidak tepat seribu. Menurut sebuah survey gugusan kepulauan ini berjumlah sekitar 108 buah. Luas areal tanahnya sekitar 320.617 ha dan luas lautan yang mengitarinya sekitar 240.000 ha. Kepulauan Seribu adalah sebuah kecamatan yang membawahi empat kelurahan. Dari seluruh kawasan DKI Jakarta, kecamatan ini mempunyai penduduk paling sedikit, yaitu cuma 867/kmÿFD -- bandingkan dengan kawasan Kebon Jeruk (Jakarta Utara) yang mempunyai kepadatan penduduk 68.211 jiwa/kmÿFD atau Senen, 47.224 jiwa/kmÿFD. Jumlah penduduknya tidak lebih dari 10.000 orang dan hanya memiliki sebuah SLP, 9 buah SD, satu Puskesmas dengan seorang dokter umum dan seorang dokter gigi. Menangkap ikan adalah mata pencaharian dari sebagian besar penduduknya. Robinson Crosoe Kepulauan ini menjadi penting dan sering disebut orang ketika ditemukan juga minyak di sana. Minyak bumi lepas pantai ini kini dikelola oleh HAPCO bekerja sama dengan PN Pertamina. Demikian pula untuk dunia pariwisata, Kepulauan Seribu diharapkan mempunyai prospek cerah di masa mendatang. Akhir-akhir ini, orang-orang berduit di Jakarta cenderung untuk mencari tempat peristirahatan yang lebih sepi karena Puncak dan daerah sekitarnya, sudah begitu padat oleh rumah-rumah baru. Apalagi siapa saja boleh menyewa sebuah pulau atau sepotong tanah untuk jangka waktu tahunan lamanya. Bikin saja surat yang ditujukan ke Gubernur DKI dengan tembusan ke Walikota Jakarta Utara, penguasa DKI Jakarta akan mempertimbangkan permintaan anda. Kecuali sebuah pulau yang tidak boleh disewa: Pulau Rambut. Karena pulau ini merupakan cagar alam bagi burungburung yang dilindungi. Kini, baru sekitar 30% dari jumlah pulau yang ada (yang bisa dihuni) disewa oleh penduduk Jakarta daratan. Umumnya penyewa pulau ini sendiri dari mereka yang gemar memancing. Atau paling tidak mereka yang demam akan kehidupan laut, senang mencari tempat beristirahat dan lepas dari kebisingan lalu lintas di daratan. "Kalau saya sih biar gemar mancing juga, tidakberminat sewa pulau," kata seorang pengusaha EMKI Sebab pengusaha ini memperhitungkan beberapa segi ekonomis ketimbang memiliki pondok pribadi di salah satu pulau di Kepulauan Seribu. Menurut perhitungannya, untuk mendirikan sebuah rumah, katakanlah sekitar Rp 2 juta. Membangun dermaga empat sandar kapal pesiar di pulau membutuhkan biaya sekitar Rp 1,5 juta. Ongkos bensin untuk sekali pergi ke sana (pulang pergi) paling tidak 500 liter. Ongkos parkir (sandar) kapal di Pelabuhan Tanjungpriok Rp 82.500 tiap bulan. Belum lagi membayar boy boat si penjaga kapal, paling sedikit dua orang dengan gaji keduanya Rp 60.000 sebulan. Perawatan kapal memerlukan sekitar Rp 200 ribu setiap bulan dan ongkos-ongkos tak terduga lainnya. Pokoknya harus ada "uang siap" paling tidak setengah juta rupiah setiap bulan. "Karena itu, biar saja saya mancing begitu saja, tanpa harus sewa pulau segala," ujarnya. Bagi penyewa di atas tanah 500 mÿFD lebih, dia harus mengajukan surat izin kepada Pemerintah DKI, demikian Camat Kepulauan Seribu, Kapten Effendy tetapi berbeda bagi Gunther ~Fust, orang Jerman pensiunan Kepala Perwakilan pabrik farmasi PT Hoechst Indonesia. Fust (70 tahun) telah bermukimdi Pulau Kaliage--salah satu pulau dari Pulau Seribu--selama 13 tahun. Selagi dia belum pensiun, cita-cita tunggalnya hanyalah menghabiskan hari tuanya di pulau yang terpencil. "Saya kagum akan petualangan Robinson Crosoe sejak saya duduk di sekolah dasar," ujar Fust. Kini, cita-citanya bisa diraihnya dengan baik. Dia bahkan bisa memilih pulau yang terbaik dari rangkuman pulau-pulau yang ada di depan Teluk Jakarta itu. Menolak untuk mengatakan berapa harga sewa Pulau Kaliage, Fust menyewa untuk 25 tahun lamanya separuh dari pulau yang luasnya 6,5 ha. Untuk masuk bersandar ke pulaunya Fust, kapal harus melalui alur karang yang panjangnya 3 mil dan hanya bisa dilayari pada saat air pasang saja. Pulau di bagian tempat tinggal Fust terawat baik. Letak pohon-pohon teratur rapi. "Saya mau sampai mati tinggal di sini," ujar kakek dari 5 orang cucu ini. Anak dan cucunya tinggal di Jerman (atau di tempat lain) dan isteri Fust sudah lama meninggal. Sebuah testamen telah dibuatnya yang menyatakan kalau dia meninggal kelak, minta dikuburkan di bawah pohon beringin yang ditanamnya sendiri di tengah pulau. Sepuluh orang penduduk pulau itu jadi pegawainya, ditambah seorang juru masak, 2 pembantu untuk cuci pakaian dan pembersih rumah, Fust juga ditemani 6 ekor anjing dan seekor monyet. Acaranya rutin. Pagi hari, pertama kali yang dilakukannya ialah memutar radio Deutsche Welle atau Radio Australia. Setelah itu sarapan, kemudian keliling pulau memeriksa "kerajaannya" Jam 10.00 pagi, olahraga berenang. Siang dan sore hari dilewatkannya dengan membaca buku. Di perpustakaannya, tidak kurang dari 1500 judul buku berderet rapi di rak, sebagian besar tentang masalah lautan. Pakaiannya sehari-hari praktis cuma celana renang saja. Malam hari, di bawah sinar lampu gas, dia menulis catatan harian. Di pulaunya, tidak ada lampu listrik. "Saya benci suara berisik," ujarnya. Maksudnya, suara diesel listrik. Di malam hari, penerangan jalan-jalan di kawasan Fust tersebut diterangi nyala obor, lampu petromak atau lampu minyak tanah. Tiap dua minggu sekali, dia mengutus salah seorang anak buahnya ke Jakarta untuk membeli keperluan makanan dan sekaligus mengambil surat-surat di kantor Hoechst dan suratkabar di Kedutaan Jerman. Untuk keperluan makan dan mengaji seluruh pegawainya, Fust mengaku habis Rp 200.000 setiap bulan. Jumlah itu di luar pajak orang asing dan Ireda. Fust sendiri enggan ke Jakarta. Kecuali tiga tahun yang lalu, ketika dia harus mencabut giginya. Fust tidak merasa kesepian. Sesekali datang kawan-kawannya dari Hoecnst atau Kedutaan Jerman untuk ber-weekend di Kaliage. Fust telah mendirikan buah bangunan dan yang paling ujung timur ia pilih sebagai kediaman pribadi. "Ini kamar komando yang saya rencanakan sendiri," ujarnya. Ruang operasinya terdiri dari kamar tidur merangkap kamar baca berikut kamar mandi dan WC. Pada dinding ada lukisan kapal layar. Kamar tidur ini terbuka menghadap pantai, tanpa jendela. "Babe Fust," demikian penduduk memanggilnya, "sangat berjasa bagi penduduk pulau sekitar." Yang berkata ini adalah Achmad Sarosa, seorang nelayan yang tinggal di Pulau Kelapa, tetangga Pulau Kaliage. Fust tidak pernah menolak kalau jam 12.00 tengah malam dipanggil penduduk pulau lain bila ada yang sakit. Dia mengayuh sendiri perahunya yang tanpa motor itu ke pulau yang memerlukan bantuan. Memilih tempat sepi juga dilakukan Nyonya Sita Wahyu, salah seorang pemilik galangan kapal di Tanjungpriok dan sendiri di sebelah barat Pulau Kaliage. "Saya tidak tahan mendengar bisingnya suara mesin di pabrik," kata Nyonya Sita Wahyu. Ia pernah menyewa Pulau Opak Besar sebesar Rp 1 juta. Kumah tempat tinggalnya yang berkerangka bambu dan atap rumbia itu telah disewanya selama 10 tahun dari para nelayan. Bulan September ini, jadwal sewanya di Opak Besar habis. Karena dia masih bekerja, hampir setiap hari dia harus naik kapal laut atau pesawat terbang ke daratan. Pesawat terbang Pulau Panjang-Kemayoran, selalu ada setiap hari. "Mancing itu sungguh sehat," ujar Hasyim Ning, si pedagang besar yang terkenal itu. Pondok Hasyim Ning dibuat dengan atap alang-alang mirip rumah Bali. "Saya menyewa dari penduduk, Rp 200.000 setahun," ujarnya. Paling tidak sebulan sekali dia pergi ke pulu. Hasyim Ning yang kini juga mengusahakan biro pariwisata Pacto (dan Hotel Kemang) memiliki beberapa buah kapal mewah. Misalnya kapal pesiar yang dinamainya Ratna Maeda, dilengkapi radar, radio dan lemari es. "Kapal-kapal itu 'kan untuk para uris kalau ada yang mau keliling Pulau Seribu," ujarnya. Hasyim Ning, untuk rumahnya di pulau, bertetangga dengan Adam Malik. Kalau Malik sebelah barat, Hasyim Ning sebelah timur Pulau Genteng Kecil. Kini, semain banyak orang berduit yang melarikan diri ke kesepian laut. Seperti juga seorang pemilik percetakan yang enggan warnanya disebut, bulan lalu baru saja teken kontrak untuk menyewa Pulau Cina 10 tahun dengan harga Rp 200.000 setiap tahun. Maksudnya, suatu waktu nanti pulau itu akan dijadikan kemah pantai (beach camp) bagi para pelajar ibukota. "Agar mereka bisa mengenal kehidupan laut dalam bentuk aslinya," ujarnya. Beberapa waktu yang lalu, sebuah kapal dengan kabin telah dibelinya. Dan Sex? Di samping hobi, ada juga yang mencoba merobah Kepulauan Seribu menjadi pusat pariwisata. Seperti dilakukan PT Pulau Seribu Paradise yang dikelola oleh Kolonel Yasa Natakusumah. Tanggal 8 Mei 1973, Gubernur Ali Sadikin telah memberinya izin untuk mengelola 13 buah pulau di Kelurahan Pulau Kelapa. Usahanya dimulai sejak 1970 dan kini sebagai satusatunya tempat pesiar di pulau yang biasanya diiklankan dengan sun and sand (dan sex?!) yang indah. Siapa yang tidak kenal Pulau Puteri? Beberapa bungalow dengan kapasitas 200 orang telah berdiri di Pulau Puteri lengkap dengan fasilitas listrik, air dan telepon. PT Pulau Seribu Paradise mendapat hak sewa selama 25 tahun. Sebagian dari bungalow itu telah dikontrak-sewa oleh HAPCO selama 12 tahun untuk tempat istirahat stafnya. Sewanya setahun, AS$ 42.000. Bagi orang Indonesia yang hidup hanya mengandalkan gaji saja, mustahil bisa berakhir minggu di Pulau Puteri. Apalagi menyewa tetap. Sebab sewa bungalow di Pulau-Puteri berkisar antara AS$ 75 untuk 4 orang sampai "hanya" AS$ 28 untuk kapasitas 2 orang. Selain Pulau Puteri, juga Pulau Melintang dan Pulau Panjang telah dikelola. Tetapi kalau toh anda kepengin sekali tinggal di pulau, PT Pulau Seribu Paradise menyediakan fasilitas kemah dengan tarif AS$ 4 sampai cuma AS$ 2 satu orang, satu malam. Berikut air tawar. Tetapi kemah dan perlengkapan lain harus bawa sendiri. Kendaraan kawasan Pulau Seribu tidak sulit. Kalau belum punya kapal pribadi, kapal nelayan pun jadi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus