Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Setara Institute memuji keputusan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa yang memperbolehkan keturunan PKI mengikuti tes penerimaan prajurit TNI tahun 2022. Setara meminta tak hanya keturunan PKI saja yang diberi izin, tapi juga kelompok penghayat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Hendaknya Panglima TNI mengambil langkah perbaikan agar kelompok penghayat memiliki peluang dan kesempatan yang sama sebagai warganegara untuk menjadi prajurit TNI," kata
Bonar Tigor Naipospos, Wakil Ketua Badan Pengurus Setara Institute, dalam keterangan tertulis, Kamis, 31 Maret 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa mengizinkan keturunan PKI untuk mendaftar menjadi prajurit TNI. Andika menyebut tidak ada dasar hukum yang melarang seorang keturunan PKI untuk bisa mendaftar dalam rapat koordinasi penerimaan prajurit TNI.
"Zaman saya tak ada lagi keturunan dari apa, tidak, karena saya gunakan dasar hukum," kata dia di akun youtube resmi Jenderal TNI Andika Perkara pada Rabu, 30 Maret 2022.
Andika pun lalu menyampaikan ke peserta rapat kalau TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang.
Berikutnya, TAP MPRS ini juga menyatakan Komunisme, Leninisme, dan Marxisme, sebagai ajaran terlarang. "Itu isinya, ini adalah dasar hukum, ini legal. Tapi yang dilarang PKI, kedua ajaran Komunisme, Leninisme, dan Marxisme, itu yang tertulis," kata dia.
Lantas, Andika Perkasa balik bertanya dasar hukum apa yang dilanggar seorang keturunan PKI. Sehingga, Andika pun langsung mengingatkan panitia agar jangan mengada-ada dalam menyusun tes mental ideologi ini.
"Jadi jangan kita mengada-ada, saya orang yang patuh peraturan perundang-undangan, ingat ini, kalau kita melarang, pastikan kita punya dasar hukum," kata dia.
Bonar memuji sikap Andika ini. Menurut dia, peristiwa 1965 sudah terjadi lebih dari 50 tahun. Mereka yang merupakan keturunan PKI dan simpatisannya saat ini merupakan generasi ketiga (cucu) dan keempat (cicit).
Bonar lantar menilai tindakan yang irasional dan di luar perikemanusiaan apabila para keturunan PKI ini tetap menanggung dosa turunan dan diperlakukan tidak setara sebagai warga negara. Sehingga, kata dia, sudah saatnya bangsa ini berdamai dengan sejarah masa lalu.
"Setiap warga negara, apapun latar belakang sosialnya sepanjang tidak terlibat perbuatan melanggar hukum, berhak untuk menyumbangkan tenaganya menjadi bagian pertahanan Indonesia," kata dia.
Tapi di sisi lain, Setara Institute juga meminta perhatian dari Panglima TNI terhadap keluhan dari kelompok penghayat yang ingin menyumbangkan tenaganya untuk menjadi prajurit TNI. Dalam catatan Setara, mereka yang merupakan keturunan kelompok penghayat mengalami hambatan dan diskriminasi ketika hendak melakukan pendaftaran melalui formulir online.
Alasannya karena di formulir tersebut tidak ada kolom agama dan keyakinan untuk penghayat. Sehingga kalaupun mereka bersikeras ingin menjadi prajurit TNI, kata Bonar, para kelompok penghayat ini harus memilih agama dan keyakinan lain.
Padahal di institusi pemerintah lain dan dan juga kepolisian, hambatan semacam itu tidak ditemukan. Bonar pun menilai ketiadaan kolom untuk kelompok penghayat dalam formulir online untuk menjadi prajurit TNI jelas bertentangan dengan UUD Administrasi Kependudukan dan Keputusan Mahkamah Konstitusi pada November 2017. "(Regulasi dan keputusan ini) menyatakan warga negara berhak untuk mengisi kolom agama dan KTP sesuai dengan kepercayaan masing-masing," ujarnya.
Tempo mencoba menghubungi Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Prantara Santosa terkait hasil rapat ini. Namun hingga berita ini diturunkan, belum ada jawaban. Selain keturunan PKI, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa juga menghapus tes renang dan tes akademik dalam penerimaan calon anggota TNI.