KAPAN seseorang dinyatakan buron? Ternyata, susah menentukannya. Contohnya menyangkut Direktur Utama PT Bukit Kulawi, Alex Sibala, yang pekan lalu diumumkan buron oleh Lembaga Pemasyarakatan Palu di Sulawesi Tengah. Terpidana perkara korupsi itu, konon, masih berstatus tahanan. Ia menghilang ketika mendapat izin berobat. Karena merasa kecolongan, kepolisian meminta bantuan dari Kodak Metro Jaya untuk menangkap kembali Alex, yang kini berada di Jakarta. Alex, setelah mendengar pengumuman itu, segera meminta bantuan hukum dari Penacara Amir Syamsuddin. Nah, menurut Amir, berita buronnya Alex itu tidak benar sama sekali. Sebab, kliennya itu seharusnya tidak lagi berstatus tahanan, karena masa tahanannya telah habis pada 17 November tahun lalu. Hanya saja ia tidak kunjung dikeluarkan oleh pihak yang menahannya. "Jadi, sebenarnya, ia hanya mengambil haknya. Cuma, karena ia awam hukum, caranya mungkin yang salah," ujarnya. Alex, 43, memang membantah keras melarikan diri dari bui. "Saya sudah ada di Jakarta sejak Mei lalu. Kalau memang saya lari, kenapa kini baru dihebohkan?" kata Alex. Yang mengaku meninggalkan anak dan istrinya di Palu. Lelaki berkulit hitam dan berbadan kekar kelahiran Tana Toraja itu mengaku nekat meninggalkan Palu -- tanpa izin siapa pun -- karena merasa haknya untuk dimerdekakan dari tahanan dilanggar. "Saya sudah dua kali mengirim surat dari LP ke pengadilan, tapi tidak dijawab. Surat saya yang ketiga ternyata dijawab pengadilan dengan penetapan untuk meneruskan penahanan saya," kata Alex, kepada TEMPO, di tempat persembunyiannya di Jakarta. Alex, yang kabarnya punya rumah mewah di Palu dan hampir di semua kota besar di Sulawesi, sejak 1982 ditahan kejaksaan karena dituduh mengkorupsi uang proyek reboisasi: Rp 2 milyar. Pengusaha "kelas kakap" untuk ukuran Palu itu kemudian divonis Pengadilan Negeri Palu 6 tahun penjara. Vonis itu dikuatkan peradilan banding, dan 17 Oktober 1985 dikukuhkan oleh Mahkamah Agung. Seandainya pada hari itu juga Alex diberi tahu pengadilan vonis itu, tentu, tidak akan ada masalah lagi. Sebab, untuk seorang tahanan yang mendapat vonis kasasi berupa hukuman penjara, seketika bisa diubah statusnya dari tahanan menjadi narapidana. Tapi di situlah kelalaian aparat peradilan terjadi. Alex baru secara resmi diberi tahu tentang vonis Mahkamah Agung itu pada akhir Februari lalu. Padahal, pada 18 November -- tiga bulan sebelumnya -- masa penahanannya sudah habis, sehingga menurut ketentuan KUHAP ia harus dibebaskan demi hukum. Jika saja peradilan melaksanakan ketentuan itu, berarti Alex sudah berada di luar tahanan ketika ia menerima vonis, dan dengan begitu ia tidak perlu lagi masuk tahanan sambil menunggu grasinya. Tapi, entah kenapa, pengadilan di Palu tidak melepaskan Alex dari tahanan, dan tidak pula segera menyampaikan vonis Mahkamah Agung. "Artinya, sejak 18 November itu Alex itu tidak lagi berstatus tahanan, dan tidak pula lagi menjalani hukuman tapi berada di LP," kata Amir Syamsuddin. Persoalan kemudian berkembang lagi, setelah Alex menerima vonisnya, 28 Februari. Terhukum, yang masih berada di LP, tanpa status yang jelas itu, 12 hari kemudian membuat surat permohonan grasi. Sekaligus pula, katanya, dia membuat surat untuk kesekian kalinya agar dilepaskan dari tahanan. Ternyata, permohonannya itu ditolak Ketua Pengadilan Negeri Palu James Pardede. Ketua pengadilan, yang mengaku sudah berulang kali memberikan ini berobat di luar LP kepada Alex, menganggap pesakitan itu terlambat mengajukan grasi -- melewati batas waktu 14 hari seperti yang ditentukan undang-undang. James berpegang kepada pemberitahuan vonis kasasi kepada keluarga Alex, 16 Januari, walau Alex sendiri baru menerimanya secara resmi dari panitera pengadilan akhir Februari. James belakangan ditegur keras Ketua Muda Mahkamah Agung Adi Andojo Sutjipto Sebab, pemberitahuan vonis, sesuai dengan KUHAP, harus diterima langsung oleh terhukum dan tidak bisa dititipkan kepada siapa pun. Sebab itu, menurut Adi, Alex menerima vonis kasasi di akhir Februari, dan karena itu pula masih berhak meminta grasi dan penangguhan masa tahanan. "Karena penetapan berdasarkan pertimbangan keliru, maka Saudara diperintahkan mencabut kembali penetapan itu," perintah Adi kepada James. Tapi, ketika surat Adi Andojo itu keluar, Juli lalu, diam-diam Alex sudah berada di Jakarta. Anehnya, tidak seorang pun penegak hukum di Palu yang mempersoalkan lenyapnya Alex dari LP. Barulah, ketika hakim perkara reboisasi yang menyangkut seorang pejabat pertanian di daerah itu meminta Alex dihadapkan sebagai saksi, akhir Agustus lalu, ketahuan bahwa Alex sudah tidak ada di LP. "Beberapa kali saya memang memberikan izin berobat kepada Alex. Tapi, sampai batas waktu yang saya berikan, April, ia seharusnya sudah berada kembali di LP. Dan saya kira ia masih berada di LP -- ternyata kabur," kata Hakim James Pardede, yang menganggap Alex sekarang menjadi buron. Sikap James itu dikuatkan pula oleh Kepala Kanwil Kehakiman Sulawesi Tengah, M.S.A. Ottolawa, dan Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah, Abdul Samad. Sebab itu, pekan lalu, pihak kepolisian daerah meminta bantuan Kodak Metro Jaya untuk menangkap buron itu. Tapi Alex, di Jakarta, bertahan dengan pendapatnya bahwa sudah menjadi haknya untuk berada di luar tahanan. "Kepolisian Palu tidak perlu meminta bantuan Jakarta. Saya akan kembali sendiri ke Palu kalau hak saya diberikan sesuai dengan undang-undang," kata Alex. Artinya, sambil menunggu grasi, ia harus berada di luar tahanan. Tapi bagaimana kalau grasinya ditolak? "Menit ini ditolak, menit ini juga saya kembali ke LP," janji pengusaha yang konon punya supermarket di Surabaya itu. Benarkah ia berhak berada di luar tahanan? Baik M.S.A. Ottolawa maupun Abdul Samad menyatakan tidak. Alasan Ottolawa dengan vonis Mahkamah Agung, 17 Oktober, otomatis status Alex ketika itu sebagai terpidana. Bahwa Alex berhak meminta penangguhan eksekusi -- sambil menunggu grasinya -- diakui Ottolawa. "Tapi itu harus dimohonkan tersendiri. Dan tergantung hakim, apakah permintaannya itu diterima atau ditolak. Bukan dengan cara keluar seenaknya begitu saja," kata Ottolawa. Tapi ternyata tidak semua penegak hukum di Palu berpendapat begitu. Kepala Kejaksaan Negeri Palu A.J. Lembah, misalnya, dalam suratnya kepada kepala kejaksaan tinggi, yang tembusannya disampaikan ke pengadilan, menyebut bahwa sikap pengadilan itu tidak tepat. Ia berpendapat bahwa Alex seharusnya sudah berada di luar tahanan. Tapi Kepala Kejaksaan Tinggi, Rahim Ruskan, menolak berkomentar banyak tentang kasus itu. "Tanyakan saja ke Kejaksaan Agung -- saya sudah melaporkan semuanya ke atasan," kata Rahim. Karni Ilyas Laporan Andie M (Palu) & Eko Yoeswanto (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini