BOLEH tanya pada hukum yang berlubang? Untuk melayangnya 13 nyawa manusia, Fajar Suhendra hanya dihukum denda Rp 7.500, subsider dua bulan penjara. Ia, malah, masih mampu tersenyum enteng setelah vonis Hakim Alida boru Pasaribu, Kamis pekan lalu, di Pengadilan Negeri Medan. "Kenapa saya yang harus bertanggung jawab?" tanya Fajar alias So Yong Huat, 39. Waktu ketel pabriknya meledak, malam 11 Juli lalu itu, ia sedang enak-enak di rumahnya di Jalan Timor, Medan. "Saya punya bawahan yang mengawasi pekerja di pabrik," kata Direktur PT Growth Sumatera Industry itu. Sekitar pukul 20.15, tanur atau tungku nomor 3 perusahaan peleburan besi di Km 10 Tanjung Mulia, Medan, itu meledak. Waktu itu, kata Fajar, ada empat mandor yang sedang mengawasi kerja 18 buruh melebur besi. Mereka dipimpin Marsidi. Dalam sidang yang hanya dua kali sejak 22 Oktober lalu, Marsidi mengaku, tanur yang membawa celaka itu memang tak diperiksa sebelum dipergunakan. Padahal, kalau peleburan dilakukan di dalam tanur yang masih bersisa kerak-kerak besi terdahulu, ketel tersebut bisa pecah atau meledak. Dengan bahan baku empat ton, malam itu, ketel dipanaskan sampai 1.600 Celsius. Bahan baku itu sudah membeku kembali ketika aplusan antara petugas sore yang digantikan petugas malam. Afval yang membeku tadi ternyata menimbulkan gelembung udara berupa gas CO2, SO2, dan H2. Tapi ketika tanur dimiringkan 45 derajat, gas tadi sekonyong menendang bersama muncratnya cairan besi panas ke atap seng, sekitar 10 meter. Lalu, memantul lagi ke bawah dan menyiram para pekerja. Buntutnya: empat orang tewas di tempat. Mereka jadi "mumi" setelah mandi cairan besi panas. Sedangkan sisanya susul-menyusul meninggal dalam perawatan di Rumah Sakit Pirngadi dan RS Melati Medan. Total yang tewas 13 orang. "Kejadian itu mengenaskan," kata Jaksa P.S. Bintang kepada Monaris Simangunsong dari TEMPO. "Tapi Fajar, sebagai pemilik perusahaan tersebut, tidak terlibat langsung dalam peristiwa itu." Justru itu, katanya, ia sulit menuntut pengusaha ini. Bintang cuma mampu menuntut dua bulan penjara dan membayar ongkos perkara Rp 5 ribu. Jaksa tampil dengan dua dakwaan. Pertama, PT GSI beroperasi dengan surat izin yang sudah kedaluwarsa. Kedua, Fajar menyalahi ketentuan jam kerja sampai 11 jam sehari, di luar ketentuan maksimal 9 jam sehari. Tapi dakwaan pertama Pak Jaksa buyar setelah muncul Posman Kario Simanjuntak. Saksi ahli dari Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah Sum-Ut ini mengatakan, PT GSI memiliki izin usaha yang lengkap. Perusahaan ini didirikan sejak 1970, memproduksi besi beton dan besi siku. Perusahaan ini memiliki dapur peleburan berkapasitas 24 ribu ton setahun dan mempekerjakan lebih dari 700 buruh. Izin kerja yang berlaku sejak 1 Juli 1984 berakhir pada 30 Juli lalu. Tetapi, menurut Fajar, pada 16 Juni 1986 ia sudah memohon perpanjangan kembali ke Departemen Perdagangan. Sedangkan Ketua Majelis, Alida Pasaribu, mengintip kelemahan PT GSI hanya pada ketentuan jam kerja 9 jam sehari yang telah dilanggar. "Tapi itu bukan kemauan saya," kata Fajar. "Para pekerja itu memaksa saya, karena mereka ingin mendapat upah lembur yang lebih," ujarnya. Fajar sendiri tak banyak tingkah dengan putusan Alida. Menurut laporan Amir S. Torong dari TEMPO, sebelum putusan 30 Oktober lalu, jaksa menemani Fajar ke ruangan kantor Alida. "Fajar Suhendra memang membayar lembur untuk buruh-buruh itu walau izin lemburnya tak ada," kata Alida. Apakah keadaan mayat yang jadi "mumi besi" itu tak jadi pertimbangan Bu Hakim? "Saya menyidangkan persoalan izin kerjanya saja, bukan soal ledakan pabrik itu," kata Alida kepada Muchsin Lubis dari TEMPO. Berapa jumlah uang lembur itu juga tak ditanya Hakim ketika sidang berlangsung. Tetapi alasan Alida dengan vonis dendanya Rp 7.500 itu, "Sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Dan putusan saya hanya berdasar apa yang didakwakan jaksa." Puaskah Bintang dengan vonis itu? "Pokoknya, Fajar dihukum. Itu yang penting bagi saya." Sedangkan Fajar masih mempertimbangkan untuk banding atau tidak. Tapi beberapa hari kemudian, setelah vonis, ia terbang ke Amerika Serikat. Berlibur. Pengusaha ini tak merasa ada beban apa pun. Apalagi setelah iatuh korban itu. ia telah membayar Rp 70 juta untuk para keluarga mereka. Dan tak seorang di antara keluarga Almarhum yang mengadu ke polisi setelah musibah itu. Polisilah yang berinisiatif memeriksa perkara ini. Pimpinan perusahaan ini pernah mengenakan sanksi. Bila buruh-buruh di sana tak mau memakai alat keselamatan kerja, misalnya helm, didenda Rp 5 ribu. Tetapi anehnya, mereka tak mau mematuhinya. Sejak perkara itu diproses, Fajar dan keempat mandornya tak pernah ditahan. "Sudah ada jaminan bahwa mereka tak akan lari," kata Bintang. Keteledoran para mandor itu, konon, akan disidangkan nanti. "Hakimnya saya belum tahu," kata Alida Pasaribu. Zakaria M Passe
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini