Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

'Ngepos di desa

Lbh menyepakati konsep: lbh masuk desa, menciptakan apa yang disebut masyarakat bantuan hukum. merupakan perkembangan konsep bantuan hukum struktural yang bermula dari bantuan hukum "tradisional". (hk)

8 November 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA yang berubah pada Lembaga Bantuan Hukum yang, pekan-pekan ini, tengah diperingati 16 tahun kelahirannya. Lihat saja, pemandangan pada pembukaan pameran "Perjalanan LBH dalam Dua Windu", Jumat pekan lalu. Yang membuka pameran bukan pejabat berdasi tapi orang tak punya, Muji bin Naim, yang tidak lain klien LBH sendiri: penjaga Kebun Binatang Ragunan yang dituduh mencuri burung beo milik taman margasatwa itu. Kejadian itu agaknya memang mengisyaratkan bahwa LBH, pada masa-masa mendatang, akan lebih menjadi milik orang kelas bawah. Sebab, dalam rapat kerja pekan sebelumnya, di Kaliurang (Yogyakarta), disepakati sebuah konsep baru: LBH masuk desa. "Konsep itu sebenarnya bukan LBH masuk desa, tapi adalah menciptakan apa yang disebut Masyarakat Bantuan Hukum," kata Ketua Yayasan LBH-Indonesia, T. Mulya Lubis, yang melontarkan ide itu dalam rapat kerja tersebut. Masyarakat Bantuan Hukum (MBH), menurut Mulya, merupakan perkembangan konsep Bantuan Hukum Struktural yang bermula dari bantuan hukum "tradisional" -- yaitu, yang hanya menyelesaikan perkara-perkara di pengadilan (litigasi). Dalam konsep itu, LBH yang sekarang ada tidak hanya akan berperan sebagai penyelamat, tapi juga membangkitkan partisipasi segala pihak terhadap gagasan LBH. "Selama ini hubungan itu hanya bersahaja saja, yaitu selesai perkara maka selesai pula kontak (klien) dengan LBH. Tapi, pada masa mendatang, para klien itu diharapkan akan ikut bahu-membahu dalam MBH. Jadi, konsistensi hukum itu menjadi gerakan budaya dan bisa membentuk nilai-nilai masyarakat," kata Mulya Lubis. "Dengan konsep itu, sasaran yang ingin dicapai adalah mayoritas mereka yang miskin dan buta hukum. Rakyat kecil semacam itu kebanyakan hidup di kampung-kampung," ujar Komisaris Yayasan LBHI, Adnan Buyung Nasution, salah seorang tokoh yang mendirikan 16 tahun lalu. Salah satu model yang dipilih untuk mencapai sasaran itu, kata Buyung, memang melalui pos-pos LBH di desa-desa. "Tapi sebenarnya pos dengan lambang LBH itu tidak penting. Yang lebih penting adalah perwakilan LBH dl desa dalam bentuk perorangan yang menjadi tokoh informal di desa itu dan bisa menjadi titik temu rakyat dalam menghadapi permasalahannya," katanya. Pimpinan informal itu, diharapkan Buyung, selain bisa memecahkan masalah di desanya juga menyeleksi kasus-kasus mana yang pantas diteruskan ke LBH. Setelah terseleksi, LBH akan mencoba memecahkan masalah itu secara musyawarah. "Hanya kasus-kasus yang perlu naik ke permukaan yang nanti akan diteruskan ke pengadilan. Jadi, jelas, pekerjaan itu besar, dan memakan waktu panjang Mungkin dalam beberapa generasi baru klta berharap masyarakat desa itu nanti menJadi orang yang tahu haknya dan tahu pula hak orang lain," kata Buyung. Konsep itu memang baru dan masih sulit dibayangkan. Tapi yang dinamakan pos-pos LBH itu sudah berkembang di beberapa daerah dalam beberapa tahun terakhir ini. Direktur LH Medan, Kamaluddin Lubis, misalnya, berani mengatakan daerahnya yang memelopori pos-pos LBH itu sejak 1982. Saat ini, menurut Kamaluddin, di Sumatera Utara berdiri 10 buah pos. "Semula orang menggelari pos itu sebagai LBH kampungan. Soalnya, tenaganya bukan sarjana hukum, tapi tokoh informal, seperti pemuka adat, pensiunan, bahkan wartawan," katanya. Pos LBH Rantauprapat, contohnya, didirikan oleh dua orang tenaga yang hanya tamatan SMP. Yaitu Agus Salim Harahap bekas pokrol bambu, dan Nurdin, bekas wartawan daerah itu. "Saya hanya butuh waktu dua bulan untuk tampil di sidang, setelah itu semua lancar," kata Nurdin. Tugas posnya itu, selain membela perkara, juga memberikan penyuluhan hukum. Lebih meriah pos LBH di Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurut pimpinan LBH di situ, Artidjo Alkostar, dalam tiga tahun ini sudah empat kabupaten di wilayahnya yang memiliki pos -- termasuk Kabupaten Gunung Kidul. Sasaran utamanya, selama ini, adalah penyuluhan hukum. "Di Gunung Kidul itu setiap bulan pos LBH mengadakan ketoprak yang ceritanya menyangkut soal-soal hukum," kata Artidjo. Di Kabupaten Kulonprogo pos mengadakan penyuluhan serupa dalam bentuk lawak, di Kabupaten Sleman, lewat dengan tarian. Hasilnya, menurut Artidjo, sejak adanya pos-pos itu banyak perkara dari desa yang harus diselesaikan LBH Yogya. Kini, sampai soal sekecil apa pun dikonsultasikan warga desa ke pos-pos itu -- dari cekcok rumah tangga sampai soal rebutan panen. Semua itu, menurut Artidjo, dilakukan pos-pos LBH dengan swadaya murni dari masyarakat. Artinya, kepala perwakilan benar-benar ikhlas beramal, tanpa mendapat tunjangan keuangan dari LBH. Mereka juga berkorban dengan menyediakan sebagian ruangan rumahnya untuk dipakai sebagai kantor. "Bahkan kertas dan pulpen pun mereka beli sendiri," kata Artidjo. Sebab itu, pimpinan pos dipilih orang-orang yang bisa bekerja sambilan selain kerja pokoknya. Untuk pos di Gunung Kidul, pimpinannya seorang petani, yang juga dalang ketoprak terkenal di daerah itu. Di Kulonprogo, pos LBH dikelola pensiunan anggota DPRD, dan di kabupaten lain ada yang diurus guru, dan ada pula yang wartawan. Dengan cara itu, konsep pos-pos LBH memang bisa berjalan. Tapi di segi itu pula titik lemah konsep tadi. Sebab, menurut sumber TEMPO, di beberapa daerah pos-pos LBH itu bertindak tercela: misalnya mencari donatir dari pedagang dengan setengah memaksa atau mengancam akan memperkarakan bila yang bersangkutan tidak memenuhi kehendaknya. Ketua YLBHI Mulya Lubis membenarkan ada pos-pos yang menodai nama LBH. Sebab itu, katanya, beberapa pos di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Bengkulu sudah dibekukan. "Memang ada kelemahan kami dalam mekanisme kontrol. Tapi kalau ada laporan yang cukup kuat tentang kecurangan yang dilakukan pos di daerah, akan kami usut, dan kalau terbukti, akan kami tindak -- kalau perlu, posnya ditutup. Sebab, prinsip kami, biarlah pos-pos itu ditutup daripada citra LBH rusak," ujar Mulya. Sebab itu, kata Mulya, dalam rakernas lalu itu diputuskan akan dibentuk lembaga majelis kode etik bagi anggota LBH. Mulya mengakui bahwa salah satu kelemahan konsepnya itu adalah soal dana. "Yang kami perlukan memang orang-orang yang mau berjuang, bukan untuk mencari makan di pos itu," kata Mulya lagi. Kendati begitu, ia yakin konsepnya itu akan tetap bisa jalan. "Bagaimana hasilnya, lihat saja nanti," ujar Mulya. K.I. Laporan Biro-Biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus