Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPUCUK surat melayang ke meja Lauris S. Ramly, Kepala Sub-Direktorat Kasasi dan Peninjauan Kembali Direktorat Pidana Mahkamah Agung. Surat berkop ”Departemen Luar Negeri Republik Indonesia” yang datang pada akhir bulan lalu itu membuat Lauris menggeleng-gelengkan kepala. ”Surat itu tak lazim,” katanya. Ia memilih menyerahkan surat itu ke atasannya, Direktur Pidana Zarof Ricar.
Ditandatangani Direktur Konsuler Departemen Luar Negeri RI, Harimawan Suyitno, surat bersifat ”amat segera” itu ditujukan kepada Ketua MA Bagir Manan. Surat tertanggal 27 Januari 2007 itu menyatakan, atas permintaan Kedutaan Besar Australia lewat nota diplomatiknya, pemerintah Australia ingin mendapatkan lebih awal putusan Mahkamah Agung yang memproses peninjauan kembali kasus Schapelle Leigh Corby. ”Baru kali ini Departemen Luar Negeri mengirim surat ke MA untuk menanyakan kasus pidana,” ujar Lauris.
Kasus Corby, gadis Australia yang tersangkut kasus obat terlarang itu, kini memang dalam proses peninjauan kembali. Sebelumnya Pengadilan Negeri Denpasar telah memvonis Corby 20 tahun penjara. Ia terbukti membawa 4,1 kilogram mariyuana, barang haram yang membuat petugas menangkapnya pada Oktober 2004 di Bandara Ngurah Rai, Denpasar. Di tingkat banding hukumannya berkurang menjadi 15 tahun penjara. Tapi, di tingkat kasasi, hukumannya kembali ke 20 tahun penjara.
Kendati tak lazim, menurut sumber Tempo, surat dari Departemen Luar Negeri ini memang kemudian dimaklumi sejumlah pejabat MA. Tapi, ada hal lain yang membuat para pejabat dan hakim agung berang berkaitan dengan kasus Corby ini, yakni datangnya berkali-kali utusan Kedutaan Besar Australia ke MA. Utusan itu bahkan memaksa bertemu Parman Suparman, ketua majelis hakim yang menyidangkan kasus Corby. ”Hanya, Pak Parman menolak bertemu,” ujar sumber itu.
Zarof Ricar membenarkan munculnya utusan Kedutaan Besar Australia di kantornya. Menurut Ricar, mereka meminta diberi tahu lebih awal karena mengaku selalu ketinggalan informasi tentang Corby. ”Mereka bilang, jangan sampai tahu info soal Corby justru dari media.” Meski bukan sebagai intervensi, menurut Lauris, permintaan seperti ini tidak lazim. ”Mereka juga berkali-kali menelepon,” katanya.
Selain Parman, dua hakim lain yang memegang kasus Corby adalah Abbas Said dan Muhammad Taufik. Kepada Tempo Abbas Said menyatakan, kasus Corby ini kini sampai pada ”pembaca kedua”, Muhammad Taufik. Jadi, praktis tinggal pembaca terakhir, Parman Suparman. Jika pembaca terakhir selesai, kesimpulan bagaimana ujung kasus ini akan terbaca. ”Tapi, kalaupun ada permintaan dari Australia, kami tak akan terpengaruh,” kata Abbas.
Desakan untuk mengetahui kasus Corby ini tak hanya muncul menjelang putusan PK. Saat kasus ini di tingkat kasasi, permintaan serupa juga datang dari Kedutaan Besar Australia. Menurut sumber Tempo, Frans S. Poerwatmodjo, pejabat senior bidang protokoler Kedubes Australia, berkali-kali menemui Direktorat Pidana MA, meminta informasi kasus Corby.
Senin pekan lalu majalah ini menghubungi Frans untuk meminta konfirmasi soal ini. Tapi ia memilih tutup mulut. ”Bukan posisi saya memberikan informasi keluar, silakan tanya yang berwenang,” ujarnya. Kepada Tempo, juru bicara Kedutaan Australia, Elizabeth O’Neal, membantah permintaan yang diajukan pihaknya itu untuk mempengaruhi kasus Corby. ”Tak ada kaitannya dengan proses hukum yang sedang berjalan,” ujar O’Neal. Direktur Jenderal Protokol dan Konsuler Departemen Luar Negeri, Handriyo Kusumopriyo, sebagai pihak pengirim surat, juga mengaku tak berniat mencampuri urusan peradilan. Menurut dia, surat itu semata untuk memfasilitasi permintaan Australia.
Di Mahkamah Agung, ”desakan” Australia ini menjadi buah bibir di kalangan hakim agung. Ketua Bidang Organisasi Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) Harifin A. Tumpa juga menyesalkan adanya surat itu. ”Siapa pun tidak boleh secara langsung menanyakan perkara kepada pihak Mahkamah Agung,” ujarnya. Menurut Harifin, staf Kedutaan Australia juga tidak boleh datang ke Mahkamah Agung. ”Peraturan internal juga melarang Mahkamah Agung berhubungan dengan pihak lain yang terkait dengan suatu perkara,” ujar Ketua Muda Bidang Perdata Mahkamah Agung ini.
Lalu, bagaimana dengan permintaan mendapat informasi awal putusan itu? Harifin menunjuk UU Mahkamah Agung. ”Menurut undang-undang, yang mengeluarkan putusan itu pengadilan yang mengajukan kasasi atau PK. Jadi tanya ke situ, bukan langsung ke MA.”
Dimas Adityo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo