Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MALAM sudah hampir larut. Namun Satria tak bisa menyelesaikan lukisannya, padahal harus diserahkan ke sekolah besok pagi. Pelajar kelas I SMP ini lantas punya ide cemerlang. Besok sekolah akan diliburkan.
Caranya? Ahad malam pekan silam itu, si gendut mengambil ponselnya dan mengetik: Akan ada ledakan dahsyat di Al-Azhar jam 09.00. Kami telah menaruh bom di sekolah sebanyak 20 unit. Tidak ada yang bisa menemukan bom tersebut sampai meledak. Selamat menikmati bom tersebut! Pesan pendek itu ia kirim ke Call Centre Poltabes Ban-dar Lampung.
Pesan serupa ia ulang empat menit kemudian. Setelah itu, dia pergi bobo. Pesan itu sontak membuat polisi ka-lang-kabut. Malam itu pula pasukan Brimob turun mengamankan sekolah Al-Azhar, tim gegana datang memeriksa sudut-sudut sekolah, dan intel pun berseliweran. ”Kami tidak mau kecolongan. Apalagi di Jakarta ada ancaman serupa,” kata AKP Hengky Haryadi, Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Poltabes Bandar Lampung.
Setelah berjam-jam dilakukan penyisiran di lokasi, jangankan 20 bom, sebiji pun tak ditemukan. Polisi melacak pemilik telepon pengirim pesan. Dari pelacakan nomor panggilan terakhir diketahui si pemilik telepon itu adalah siswa dari sekolah itu.
Esok harinya Satria, yang belum tahu ulahnya bikin pusing aparat, masih mengirimkan pesan serupa sekali lagi. Sesampai di sekolah, dia kaget. Sekolahnya sudah dipenuhi puluhan polisi. Siswa pun berkerumun di depan pagar. Sekolah memang diliburkan.
Target Satria membuat sekolahnya libur tercapai. Namun ia langsung kecut setelah tahu semua itu akibat perbuatannya. Ia segera membakar kartu ponselnya. Lalu ia pura-pura santai dan bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Aman, pikirnya, sampai akhirnya polisi mencokoknya di sebuah warung di dekat rumahnya.
Ketika diinterogasi polisi, si gendut selalu menangis dan minta pulang. ”Saya menyesal dan akan meminta maaf kepada teman-teman di sekolah serta para guru,” katanya sambil bergelayut di lengan ibunya.
Rengekan itu tak membuat polisi lembek. Satria harus menjalani proses hukum. ”Karena dia masih anak-anak, kami memperlakukan berbeda dan tetap memperhatikan aspek kejiwaannya,” katanya. Satria harus menghadapi tuntutan serius. Ia akan dijerat dengan undang-undang pemberantas terorisme dan perbuatan yang tidak menyenangkan. ”Ini untuk efek jera dan agar orang lain tidak meniru perbuatan tersangka,” kata Hengky.
Namun, dari mana sebenarnya dia mendapatkan ide gila itu? Anak yang manja dan takut dengan bunyi petasan ini menjawab dengan tenang: ”Dari televisi.” Kini Satria harus tinggal di ruang pemeriksaan reserse dan kriminal Poltabes Bandar Lampung dan didampingi Lembaga Advokasi Anak (LaDa) Lampung. Ia libur tidak hanya sehari, tapi bisa teramat sangat panjang.
Nurochman (Lampung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo