Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Titah itu keluar dari Keraton Yogyakarta Hadiningrat pada Februari 2005. Sang Raja, Sri Sultan Hamengku Buwono X, meminta warganya waspada terhadap an-caman badai. Di sebagian pelosok terdengar ajakan agar penduduk membuat sayur lodeh untuk tolak bala. Sayur sudah dibuat dan pamong mempersiapkan diri. Ndilalah, badai cyclone itu malah datang ke lautan. Tidak jadi mampir ke Kota Gudeg.
Dua tahun kemudian, badai benar-benar datang. Dari atas jembatan layang Lempuyangan, Santosa pada Ahad dua pekan lalu menyaksikannya. Atap seng melayang di udara bak koran bertebaran. ”Pusarannya terlihat jelas. Di udara banyak benda beterbangan,” kata Santosa, yang berdiam di Pakualaman.
Ratusan pengendara mobil dan motor berbalik arah ke utara. ”Allahu Akbar…, Allahu Akbar…. Duh, Gusti, bencana apa lagi ini…,” Ibu Tugimin, 46 tahun, warga Mergangsan, menjerit. Dia berlari keluar. Begitu juga para tetangganya yang menjerit-jerit. Suasana hiruk-pikuk tidak jauh berbeda dengan gempa yang melanda Yogyakarta pada 27 Mei lalu.
Angin yang bergerak dari selatan ke utara dengan kecepatan 74-80 kilometer per jam berbelok ke timur. Hanya perlu 10 menit, hantamannya merontokkan atap 1.078 rumah, kantor, sekolah, juga stasiun kereta api di Lempuyangan. Tidak hanya itu, 49 orang terluka dan 24 pohon di jalan protokol tumbang. Jejak angin berputar itu terlihat di empat dari 14 kecamatan di Provinsi Yogyakarta.
Kerusakan terparah terjadi di sekitar Stasiun Lempuyangan. Memang di lokasi inilah tempat jatuhnya angin yang biasa dikenal sebagai puting beliung atau le-sus. Tiga hari sebelumnya, lesus menerjang Kecamatan Brebah, Kabupaten Sleman. Lokasi ini terletak enam kilometer sebelah selatan Bandar Udara Adisutjipto. Tidak ada kerusakan rumah, meskipun beberapa pohon tumbang. ”Peristiwanya tidak terjadi di permukiman penduduk,” kata Kepala Seksi Data dan Informasi Badan Meteorologi dan Geofisika Yogyakarta, Tiar Prasetya.
Tiar mencatat, di Yogyakarta, angin itu terjadi antara pukul 13.00 dan 17.00. Sehari sebelumnya, udara terasa panas dan pengap. Pagi hari sebelum bencana datang, terlihat awan kumulus (Cu) atau awan putih yang berlapis-lapis. Di antara lapisan awan itu, ada satu atau beberapa yang batas tepinya sangat jelas berwarna abu-abu menjulang tinggi mirip bunga kol atau jengger ayam.
Tahap berikutnya, awan yang berlapis-lapis itu dalam waktu kurang dari dua jam berubah menjadi hitam gelap. Sedangkan di bumi, ranting atau pohon mulai terlihat bergoyang dengan intensitas semakin cepat dan kuat. Ini menandakan hujan dan angin kencang segera datang.
Wartawan Tempo sempat menyaksikan awan tebal menyatu membentuk lingkaran, seperti payung. Letaknya masih di utara Yogya. Di tengah kota, tiba-tiba tampak sekumpulan binatang kecil beterbangan. Banyak sekali, menyebar terbang kian-kemari. Tak disangka, itu pertanda alam akan adanya angin puting beliung yang melanda Yogyakarta pukul 17.10. Sebab, tiba-tiba cendawan itu seperti menurunkan ekornya, bergerak dan berputar-putar ke arah barat daya. Wusss….
Samsuri, karyawan rumah makan Cak Koting di depan bioskop Mataram, sebelum kejadian, mendengar suara gemuruh mirip pesawat terbang rendah. Saat itu dia sedang memotong sayuran. Karena suara semakin dekat, dia lari ke tembok di teras perkantoran. Dia bertahan dan melihat benda beterbangan. ”Kejadiannya sangat cepat. Saya hanya bisa merapat ke dinding,” tuturnya.
Puting beliung juga melanda Kota Depok, Jawa Barat. Di Kecamatan Beji, satu rumah hancur dan empat lainnya rusak. Empat pohon di wilayah ini tumbang oleh terjangan angin berputar tersebut. Fenomena apa yang menyebabkan terjadinya puting beliung di Yogyakarta dan Depok saat tahun baru Imlek, Ahad dua pekan lalu?
Zadrach Ledoufij Dupe menjelaskan angin kencang tersebut dikenal dengan istilah down burst. ”Angin jenis ini terjadi karena ada hujan lebat atau bisa juga disertai hujan es,” ujar ahli klimatologi dari Institut Teknologi Bandung itu. Menurut dia, saat jatuh, air hujan mengalami proses penguapan akibat gesekan dengan udara. Ini terjadi karena awan sangat tebal. Akibatnya, udara yang ada di dalam awan menjadi dingin. ”Karena dingin, ia kemudian bergerak turun,” katanya.
Menurut Zadrach, down burst berbeda dengan tornado, cyclone, atau hurricane. Dari segi kecepatan, misalnya, down burst mencapai 150 mil atau 240 kilometer per jam. Tidak sampai setengah kecepatan tornado atau typhoon, yang bisa mencapai 509 kilometer per jam. Selain dua jenis tadi, ada angin yang ditemukan saat musim panas, yang dinamai devil dust.
Perbedaan lain, kata Sudibyakto, puting beliung terjadi dalam waktu singkat dan cepat. Sedangkan tornado berlangsung lebih lama dan berdampak lebih luas. ”Fenomena alam seperti puting beliung itu terjadi secara periodik,” kata dosen Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada yang ahli klimatologi dan hidrologi lingkungan ini.
Jika melihat posisi Indonesia, khususnya Jawa, sejak Desember hingga Februari, matahari berada di belahan bumi selatan. Saat itu suhu udara meningkat dan tekanannya turun. Akibatnya, terjadi pusat-pusat depresi udara atau disebut low air depression. Tekanan udara yang rendah ini memungkinkan terjadinya pusaran angin disertai hujan deras.
Jadi, menurut Sudibyakto, fenomena itu sesungguhnya sering terjadi. Hanya, selama ini, terjadi di pinggiran kota, persawahan, atau tegalan, sehingga dampaknya tidak begitu luas. Ahad dua pekan lalu, hal itu terjadi di tengah Yogyakarta sehingga menggegerkan. Awal Maret tahun lalu, puting beliung terjadi di Tangerang. Seorang pria berusia 50 tahun tewas setelah tertimpa pohon nangka.
Sudibyakto menjelaskan, di hampir semua wilayah di Jawa, ada potensi terjadi angin ini. Dia mengatakan, di tempat yang pernah terjadi, ada potensi hal itu terulang lagi. ”Angin ini sifatnya periodik sehingga kita bisa mengantisipasinya,” ujarnya. Hal ini terkait dengan Inter-Tropical Convergenze Zone yang melewati Yogyakarta setiap Desember-Februari. Terjadinya, kata Sudibyakto, pada awal atau akhir musim hujan.
Badan Meteorologi dan Geofisika memprediksi angin puting beliung bakal melanda sejumlah tempat. Menurut Achmad Zakir, Kepala Subbidang Info Publik Badan Meteorologi dan Geofisika, angin ini akan menerjang kawasan yang menjadi tempat banyak terjadinya penguapan lokal di Jawa, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Puting beliung muncul, kata Zakir, karena angin barat yang melewati Indonesia terhambat melintas oleh adanya daerah tekanan rendah di Samudra Hindia, sebelah barat daya Jawa. Maka angin yang masuk lebih banyak berasal dari timur yang tidak membawa awan. Angin berputar inilah yang membuat Ibu Tugimin menjerit dan ngerasani bencana yang selalu melanda Bumi Mataram.
UWD, Syaiful Amin, Idayanie (Yogyakarta), Rana Akbari Fitriawan
- Puting beliung atau down burst berbeda dengan tornado, typhoon, atau hurricane. Down burst terjadi karena perbedaan tekanan udara yang ekstrem antara di bumi dan di udara. Di bumi, tekanan bisa 200 milibar, sedangkan di awan kumulunimbus (Cb) bertekanan 900 milibar.
- Ketika terjadi penguapan yang cukup besar dan menimbulkan awan, udara di bumi tertarik ke atas dan ikut mempercepat terbentuknya awan Cu atau kumulus. Awan ini berkembang menjadi Cb dengan tekanan yang jauh lebih tinggi.
- Di dalam awan Cb yang berlapis-lapis, turbulensi udara semakin besar karena mampu menarik udara di sekitarnya. Ketika awan Cb semakin berat karena sebagian awan berubah bentuk menjadi butiran air, Cb mengalami down burst.
- Saat terjadi puting beliung, udara bergerak mengisi daerah yang semula kosong sehingga memunculkan turbulensi dan putaran.
- Gerakan puting beliung dimulai dari lokasi yang paling tinggi temperaturnya atau paling rendah tekanan udaranya. Angin ini akan pecah manakala terjadi hujan. Sebab, tekanan udara dan temperatur di wilayah tersebut menjadi relatif sama atau terjadi keseimbangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo