SOAL kawin menurut takaran hukum tidaklah sesederhana takaran
biologis atau katakanlah segurih menurut selera para pelakunja.
Sebab ternjata dari perkawinan model hukum, tidak sadja lahir
anak-anak manusia, tapi djuga beberapa lembaga jang tak luput
dari pengawasan hukum. Adalah misalnja lembaga pertjeraian, akta
kelahiran, kematian, perwalian dan jang terpenting adalah urusan
harta kekajaan sebagai produk perkawinan itu sendiri.
Tentu tak djauh dari semuanja ini, maka lima hari sebelum Pemilu
II, Aricf Budiman melangsungkan perkawinan dengan Baharsjah Siti
Laila Chairani di kantor Tjatatan Sipil Djalan Pintu Besar Utara
Djakarta. Sebetulnja apa jang dilakukan Arief hari itu adalah
pengulangan dari apa jang sudah dilakukannja persis pada 28
Djuni tiga tahun jang lalu. Karena pemuda d/h Soe Hok Djin waktu
itu sudah memeluk agama Islam, maka Penghulu berkenan memberkati
hadjatnja untuk mempersunting puteri Laila. Akan tetapi
peralihan agama sadja belum berarti sudah membawa perobahan
golongan hukum sipil seseorang. Akibat dari dalil hukum jang
masih berlaku ini maka perkawinan itu barulah sah menurut hukum
Islam. Kesahan itu belum mendjamin kelangsungan hidup perdata
Arief sekeluarga, karena ia berdasarkan pesan jang terkandung
dalam Staatsblad 1917 - 130 jo. S.1919 - 81, masih tergolong
sebagai golongan penduduk Timur Asing. Kepadanja diperlakukan
ketentuan-ketentuan Hukum Perdata Barat, termasuk tatatjara
mengenai keharusan datang ke Tjatatan Sipil untuk urusan-urusan
tertentu itu.
She. Bagaimana kalau Arief Budiman tidak melangsungkan
perkawinannja di Tjatatan Sipil? Sudah tentu: perkawinan itu
tidak pernah terdjadi dan anak mereka dianggap anak diluar nikah
sehingga tidak berhak apa-apa dalam soal warisan.
Djadi betullah, urusan perkawinan bukan urusan hendak
senang-senang sadja. Pratiknjo, Pegawai Luar Biasa pada kantor
Tjatatan Sipil itu, dalam hubungan ini punja banjak tjerita.
Katanja -- ia sudah kerdja disitu sedjak 1959 -- paling susah
menghadapi warga-negara-warganegara turunan Tjina. Sebab mereka
sudah merasa tjukup bila untuk perkawinannja diadakan pesta The
Hwee. Baru kelak, setelah punja anak dua atau tiga orng, mereka
berniat nikah di Tjatatan Sipil. "Kesulitannja", udjar Pratiknjo
lagi, "sering mereka itu tidak berterus-terang kalau mereka
sudah punja anak diluar nikah. Nah, akibatnja tidak djarang
anak-anak itu memakai she ibunja". Otomatis sianak tak berhak
mewarisi harta keluarganja. Agaknja bisa dimaklumi mengapa
mereka merahasiakan anaknja: mungkin malu. Akan tetapi
sebaliknja bisa dimaklumi pula, bahwa tidak semua orang-orang
jang sudah punja KTP No. sekian-sekian maklum akan hukum jang
mengatur tentang kehidupan pribadinja sehari-hari. Seperti
diterangkan oleh Pratiknjo kemudian, disinilah tugas seorang
pedjabat Burger dijke Stand membuat mereka mengaku. Jang untung
toch mereka djuga, karena dengan demikian anak jang diakui itu
hisa dimasukkan dalam daftar perkawinan jang menjebabkan sahnja
anak-anak itu kelak dimata hukum.
Landjut umur. Maka mulanja pada kasus Arief Budiman kawin lagi
itu berlaku dalil: nama mentjiptakan berita. Akan tetapi bukan
berita sadja jang ditjiptakan tokoh Golput itu. Seraja menata
hukum untuk pertimbangan kepentingan sipilnja sendiri,
barangkali setjara tak langsung ia memberitahu chalajak setjara
populer termasuk jang mengalami kisah kawin duluan seperti
tjerita Pratiknjo diatas -- akan serbaneka hukum jang masih
berlaku ditanah airnja. Tentang ini, Pratiknjo jang mengatakan
kepada TEMPO "Arief hendak menegakkan The rule of law sekalipun
menegak-kan untuk dirinja sendiri". Dan itulah sebabnja pegawai
landjut umur ini berkenan mengandjurkan kepada semua orang untuk
kawin di Tjatatan Sipil sadja. Ini katanja adalah untuk
memudahkan Administrasi Negara. Djadi, katanja lagi, sudah
saatnja untuk menghapus pembagian golongan penduduk sebagaimana
jang masih dianut hingga hari-hari ini. Malah kalau perlu soal
perkawinan disatu tempat ini diatur dengan Undang-Undang.
Akan fikiran-fikiran Pratiknjo itu patut diulas: sebaiknja
memang begitu. Inipun sedjalan dengan apa jang dikemukakan oleh
seorang pengadjar Hukum Antar Golongan (Intergentieth recht)
jang ada di UI, Charles Himawan. Kata Himawan, dengan adanja
kesatuan status perdata bagi semua golongan penduduk kelak, maka
akan tamat pulalah problim Hukum Antar Golongan jang selama hari
ini adalah bagian dari matakuliah Hukum Antar Tata Hukum. Tapi,
seperti djuga diterangkan oleh pengadjar di UI itu, suasana
demikian masih amat memerlukan waktu lama.
Minggir. Maka Charles Himawan, memberikan tjontoh nasib
Undang-Undang No. 5/1960 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Agraria. Undang-Undang itu adalah satu-satunja Undang-Undang
Nasional jang hanja memandang status perdata setiap subjek hukum
dari hanja 2 djurusan: warganegara atau asing. Tapi konon
menurut pengadjar ini pelaksanaan undang-undang ini masih sangat
seretnja, terutama didaerah-daerah. Status tanah, pada
daerah-daerah tertentu tak pelak lagi, samalah tinggi
deradjatnja dengan status kehormatan, martabat dan apalagi
namanja. Dan ini semua harus diatur dengan Hukum Adat setempat.
Apa boleh buat, Hukum Nasional tentang tanah itu terpaksa
minggir sementara.
Achirnja, betul hukum dapat mendjadi insinjur jang membaharui
masjarakat -- tapi nampaknja hukumpun harus senantiasa mesra
dengan masjarakat di mana ia ada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini