SETIAP hari kerdja, Pengadilan Negeri Istimewa Djakarta penuh
orang ada jang dituduh maling, atau memang maling, atau
anti-maling dan tidak sedikit mereka jang mau memberitakan soal
pengadilan permalingan. Jang terachir ini setjara umum disebut
wartawan, dan setjara chusus disebut wartawan pengadilan.
Melihat bahwa berita pengadilan dalam koran harian atau koran
minggu tjukup mendapat ruangan, peranan wartawan pengadilanpun
tjukup diakui oleh para pemimpin redaksi. Tapi nampaknja tidak
semua mereka punja mutu jang harus diakui. Dua minggu jang lalu
Dewan Kehormatan PWI, jang diketuai Sudjarwo Tjondronegoro SH
dan bersekretaris H. Mahbub Djunaidi menundjukkan sekali lagi
aktivitasnja dalam menegur suratkabar jang agak kurang
terhormat penulisan beritanja.
Mulanja begini. Seorang bernama Jan Moenirhan menulis surat
pembatja diharian Berita Yudha dan Kompas pertengahan Djuni dan
awal Djuli jang lalu. Dia diadili karena suatu tuduhan, dan
koranpun memberitakannja. Tapi rupanja pemberitaan itu kurang
rapi, hingga Jan Moe namun jang belum tentu bersalah, dan
ter-njata memang oleh hakim dibebaskan merasa divonnis oleh pers
sebagai orang berdosa. Maka Dewan kehormatan PWI pun bertindak.
Dikeluarkanlah pernjataan: "Dewan Kehormatan PWI mengkonstatir
memang masih terdapat pemberitaan pers-jang tidak bidjaksana
terhadap diri seseorang jang dimuat dalam proses pengadilan,
sehingga bisa mengakibatkan tertjemar namanja dimuka umum,
padahal orang tersebut belum tentu bersalah". Karena itu, Dewan
"menjerukan kepada penerbitan pers, agar lebih memperhatikan
bunji fasal 3 ajat 4 Kode Ethik Djurnalistik" Apa bunjinja?
"Pemberitaan tentang djalannja pemeriksaan pengadilan bersifat
informatif dan jang berkenaan dengan seseorang jang tersangkut
dalam sesuatu perkara tapi belum dinjatakan bersalah oleh
Pengadilan dilaksanakan dengan penuh bidjaksana, terutama
mengenai nama dan identitas jang bersangkutan". Chusus mengenai
nasib Jan Moenirhan, Dewan Kehormatan "mewadjibkan untuk memuat
djuga keputusan Pengadilan jang membebaskan Sdr. Jan Moenirhan".
Foto. Dari peringatan Dewan Kehormatan PWI itu tampaklah bahwa
pemberitaan proses pengadilan dipers Indonesia masih agak
brengsek. "Sifat informatif -- dan tidak dibumbui sikap memihak
si terdakwa atau djaksa -- kadang-kadang dilupakan. Dalam
perkara diadilinja pengatjara Yap Thian Elien ditahun 1968,
misalnja tatkala Yap berhadapan dengan beberapa pedjabat tinggi
kepolisian dan kedjaksaan, pemberitaan pers Pemerintah terasa
diwarnai sikap anti-Yap. Dalam perkara pengadilan Hafas djuga
nampak ada tendensi begitu, meskipun kurang kentara. Ini sudah
tentu bisa mempengaruhi keputusan hakim, walaupun tentu sadja
hakim seharus-nja bebas dari tekanan apapun. Jang lebih gawat
lagi ialah bahwa reportase jang gegabah bisa mendjatuhkan nama
baik seseorang jang tertuduh, tapi belum divonnis. Di Inggeris
hal sematjam itu bisa dianggap menghina pengadilan, dan bahkan
konon kabarnja di Skotlandia ada undang-undang jang sama sekali
melarang proses pengadilan diberitakan dikoran. Di Amerika
Serikat memotret dalam sidang pengadilan dilarang -- satu hal
jang tidak berlaku di Indonesia dimana fotograf-fotograf dengan
bebas, bahkan kalau perlu dari belakang hakim, memotret
tertuduh.
Dari kalangan pengadilan djuga ada warta bisik-bisik lain
tentang wartawan. Kata jang empunja bisik, beberapa wartawan --
tidak semuanja tertjatat sebagai wartawan tetap suatu penerbitan
-- ada jang memanfaatkan keadaan untuk kantong. Chususnja dalam
pembe-ritaan peristiwa tjek kosong. Seorang pedagang jang
terlibat perkara tjek kosong didatangi wartawan-wartawan, atau
mendatangi wartawan, dan terdjadilah penjogokan. Si wartawan
terima duwit dan si pedagang tjek-kosong minta agar namanja
tidak dimuat, supaja usaha dan bonafiditas palsunja tidak
rontok. Dalam hal demikian kehendak untuk tidak "merugikan nama
baik" tentu sadja tidak tjotjok dengan Kode Ethik, sebab soalnja
disini jang djadi motif ialah menguntungkan dompet.
Inisial. Jang masih djadi problim buat wartawan pengadilan
ialah: haruskah nama lengkap tertuduh ditjantumkan dalam berita,
ataukah tjuma inisialnja sadja? Adat-istiadat memakai inisial
ini seka-rang praktis punah, dan hampir tak mungkin apabila jang
diadili ialah orang-orang terkenal. Djuga djadi problim sampai
berapa akurat reportase pengadilan dibikin para wartawan jang
djarang sekali memakai pita rekaman -- sementara mereka sedikit
jang bisa pakai huruf-huruf bengkok steno dan sementara ada
pengadilan didaerah jang tak mengidjinkan pita rekaman dipakai?
Bukan rahasia lagi bahwa banjak wartawan ketahuan kurang punja
kemampuan untuk melaporkan setiap pertjakapan setjara akurat.
Kadang-kadang mereka mengambil perumusan sendiri apa jang
dikatakan oleh seorang. Menurut pengalaman sudah tentu hal itu
disebabkan oleh kekurangan wartawan djuga. Tapi dilain flhak
harus ditjatat bahwa banjak orang Indonesia, meskipun ia seorang
sardjana hukum, kurang bisa merumuskan fikirannja dengan bahasa
jang teratur dan djelas. "Di Amerika Serikat", kata seorang
redaktur, "dimana sedjak ketjil peladjar dan mahasiswa dilatih
pidato dan debat dan mengekspresikan diri setjara djelas, bahkan
menarik, para reporter tidak banjak mengalami kesulitan. Tapi di
Indonesia dari hakim sampai Menteri Peneranganpun sering sulit
difahami apa maksud omongannja jang pandjanglebar dan menjimpang
kesana kemari. Bagaimana akan membikin reportase jang baik?" Ja,
bagaimana, ja?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini