Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Sekolah Dunia Gelap

Ny Susatyo ketua Yayasan Institut Swadaya, sekolah tuna netra berjuang untuk memperoleh huruf dalam tingkatan SD. sampai kini siswanya belum kenal huruf. 2 organ p&k berselisih & ragu untuk membantunya.

24 Juli 1971 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Semarang dua buah organ Pemerintah sedang menundjukkan ambisinja. Walaupun djelas terkandung maksud-maksud baik dalam pertarungan itu, tetapi sebagaimana biasa, apabila dua buah kekuatan sama bernafsunja lebih sering akan berakibat mendjadi suatu perselisihan. Begitupulalah berita jang melibat Departemen Sosial dan Departemen P & K di kota pelabuhan Djawa Utara itu. Karena keduanja sama-sama ingin kekuasaan mutlak, keduanja ingin monopoli, keduanjapun memasuki dunia "tjuriga". Saling tjuriga diantara mereka itu gara-gara sebuah Institut jang bernama Swadaja. Duabelas tahun jang lalu Njonja Susatyo, ibu dari tudjuh orang anak merintis sebuah jajasan pendidikan tunanetra. Usaha itu lahir dengan nama Jajasan Institut Swadaja. Semarang sang ibu tanah Djawa Tengah, kota tua jang Bantuan moril banjak berke-kuatan 800.000 terpaksa membagi Gedung Perpustakaannja didjalan Pemuda bagi usaha kemanusiaan itu. Sampai kini ratusan manusia-manusia dari dunia jang gelap itu masih tak bersentuhan dengan huruf, karena memang belum ada sekolah penampungan mereka. Dengan bangkitnja Institut Swadaja jang mentjoba memperkenalkan para tuna netra kedalam perbendaharaan huruf dalam tingkatan S.D. setidak-tidaknja tindakan penjelamatan sedang diusahakan. Sebuah langkah emas. Sajang langkah itu membentur tembok perebutan. Ketjurigaan jang melingkari Departemen P&K mengakibatkan keduanja ragu-ragu untuk melepaskan bantuannja. Djelas akibatnja tidak menguntungkan Institut Swadaja. Tidak seperti di Jogjakarta dan Surakarta dikedua kota keradiaan ini semua sekolah-sekolah tunanetra sudah dalam rangkulan Departemen P & K. Sedang Departemen Sosial mendapat bagiannja didaerah Pemalang, Purwoker-to dan disatu sudut ketjil di Jogja. Pembagian ini setidak-tidaknja, melantjarkan arus bantuan-bantuan mereka. Bernasib malang. "Kami semula ragu-ragu untuk mendirikan S.D. tunanetra ini" kata Njonja Susatyo pandu Institut Swadaja. Tidak diterangkan apakah keraguannja ini disebabkan karena ia termasuk golongan awam djuga untuk dunia serba gelap itu. Hati seorang ibu kadangkala mendorong seorang wanita melakukan hal-hal jang besar tantangannja. Karena itu bukup dapat dipertjaja alasan "keibuan" jang dianggapnja sebagai alasan jang memadamkan keraguan itu. "Saja terharu setelah lama menjelami djiwa anak-anak tunanetra jang hidup dalam kegelapan itu. Maka saja iugin memberikan kebahagiaan kepada anak jang bernasib malang itu", katanja kepada Z. Arifin jang kali ini membantU TEMPO. Njonja itu ternjata telah membajangkan andai kata jang "bernasib malang" itu adalah salah satu dari ketudjuh puteranja, atau dirinja sendiri. "Betapa penderitaan itu akan kita terima". katanja dengan bersungguh-sungguh. Sebelum Semarang berkenan membagi Gedung Perpustakaannja, Njonja Susatyo jang "tidak bernasib malang" itu mulai membasuh anak-anak didiknja dengan huruf, dirumahnja didjalan Rindjani nomor dua-puluh. Sebuah usaha privat, usaha swasta, usaha partikelir atau apalagi istilahnja jang tepat. Berhubung tak ada jang membantu-nja, berhubung pemerintah tidak tjampurtangan . Didjalan Rindjani itulah bermula perdjuangan keibuannja. Dimulai dengan tiga orang murid. Berdjalan menempuh rintangan, bermatjam-matjam rintangan terutama dalam soal finansiil. Tjukup menarik djuga setelah angka (19)59 mendj adi (19)71, salah seorang dari anak didiknja berhasil memandjat keatas tangga Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Demikian pentingnja prestasi ini sehingga perlu dituliskan nama jang bersangkutan, dengan huruf jang tebal: Otje Sudijoto. Pemuda jang buta ini telah diakui mempunjai I.Q. jang tjukup tinggi. Kalau tidak tjukup tinginja tidak mungkin ia mendapat hadiah untuk dikirim ke Australia untuk menempuh peladjaran tingkat menengahnja -- SMP. Ketika kembali ke Semarang ia mendapat sebuah bangku di SMA IV bagian Sosial Budaja. Bukan tidak mungkin ia dapat menjelesaikan kesardjanaan- nja, jang bagi orang-orang jang "tidak malang" toch masih tjukup sulit. Bukankah di Salatiga hidup seorang dosen jang seratus persen tunanetra sedjak lahir. Ia bernama Drs Marwoto memberi kuliah di I.K.I.P Sanata Darma Salatiga. Oh, bantuan. Besarnja hasrat memasuki S.D. Tunanetra djangan ditanja. Tetapi ada namunnja. Para orangtua putera-putera jang ingin membatja itu menginginkan sebuah "asrama" bagi "jr" mereka. Karena mereka berberat hati untuk mondar-mandir menuntun putera-putera dunia gelap itu menempuh perdjalanannja dalam dunia huruf, setiap hari. Disamping dengan terus terang terpaksa dikatakan bahwa beberapa di antaranja menjimpan rasa malu melahirkan putera-putera mereka tak sempurna sebagaimana putera-putera orang lain. Keinginan ini dengan sedih dikembali kan oleh Jajasan Swadaja, sebagai suatu kerdja jang melampaui kekuatan mereka. Tetapi tidak sadja asrama jang mendjadi pengharapan. Buku-buku dan peralatan jang djustru merupakan kebutuhan lebih mendesak, ternjata masih tergantung dalam harapan-harapan. Betul Pertuni (Persatuan Tuna Netra Indonesia) sudah mentjolek negeri-negeri seberang terutama Amerika. Betul buku-buku dengan huruf "braille " datang dalam djumlah jang besar. Mereka berdjadjar mendjadi dekor jang tjukup luas dalam ruangan. Tetapi mereka lupa beladjar bahasa Melaju sebelum meninggalkan tanah-airnja jadi hanja orang-orang seperti Otje Sudijoto atau Drs Marwoto jang mengerti bahasa Inggeris jang bisa membatjanja. Praktis usaha Pertuni jang berpusat di Jogja itu belum mendatangkan perbaikan nasib. Sedang usaha untuk menterdjemahkan kedalam bahasa Indonesia membutuhkan waktu plus tenaga banjak. Tambahan pula buku tjampuran Inggeris-Amerika jang digunakan itu banjak kata-kata singkatan jang bisa memusingkan pembatja Indonesia. Otje Sudijoto salah seorang jang telah berusaha membatjanja memberi tjontoh kesukaran tersebut: Misalnja kata "succes" dibuku braille ditulis "suces" (di sini "C" adalah contraction) Tjontoh jang lebih lutju: achiran "tion" dibuku braille ditulis dengan hurul "B" turun dan "N". (Ini berarti huruf B jang turun itu mengganti 3 huruf: "tio"). Djelas untuk hal-hal matjam ini dibutuhkan kuntjinja jang harus dipersiapkan setjara teliti. Tidak akan dilupakan bahwa disamping Uncle Sam, Gubernur Djawa Tengah pun tahun 1960 berkenan menjisihkan Rp 10.000 dari chazanahnja. Kemudian, achir tahun 1970 menjusul Rp 10.000 lagi. Berarti rata-rata dalam satu tahun sekitar Rp 2.000. Djuga tidak akan di lupakan Organisasi-Organisasi Wanita kalau kebetulan Hari Ibu, berbondong-bondong menjumbang barang-barang panganan jang tak berguna untuk pendidikan, sambil membawa serombongan wartawan untuk memotret kenaikan hatinja itu, untuk melengkapi isi koran pagi. Sedangkah terhadap Pemerintah Republik Indonesia di Djakarta, berkatalah Otje Sudijoto mahasiswa hukum itu: "Pernah kami menghadap sendiri ke Djakarta untuk membantu Pertuni di bidang pendidikan. Kami mohon bantuan fasilitas pendidikan. Tapi apa djawaban Pedjabat Tinggi Indonesia? "Saudara kan tahu, untuk biaja pendidikan orang-orang jang melek sadja kurang, apalagi membantu orang tunanetra!" Bantuan moril banjak tapi bantuan materiel belum nampak".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus