DI Semarang dua buah organ Pemerintah sedang menundjukkan
ambisinja. Walaupun djelas terkandung maksud-maksud baik dalam
pertarungan itu, tetapi sebagaimana biasa, apabila dua buah
kekuatan sama bernafsunja lebih sering akan berakibat mendjadi
suatu perselisihan. Begitupulalah berita jang melibat Departemen
Sosial dan Departemen P & K di kota pelabuhan Djawa Utara itu.
Karena keduanja sama-sama ingin kekuasaan mutlak, keduanja ingin
monopoli, keduanjapun memasuki dunia "tjuriga". Saling tjuriga
diantara mereka itu gara-gara sebuah Institut jang bernama
Swadaja.
Duabelas tahun jang lalu Njonja Susatyo, ibu dari tudjuh orang
anak merintis sebuah jajasan pendidikan tunanetra. Usaha itu
lahir dengan nama Jajasan Institut Swadaja. Semarang sang ibu
tanah Djawa Tengah, kota tua jang Bantuan moril banjak
berke-kuatan 800.000 terpaksa membagi Gedung Perpustakaannja
didjalan Pemuda bagi usaha kemanusiaan itu. Sampai kini ratusan
manusia-manusia dari dunia jang gelap itu masih tak bersentuhan
dengan huruf, karena memang belum ada sekolah penampungan
mereka. Dengan bangkitnja Institut Swadaja jang mentjoba
memperkenalkan para tuna netra kedalam perbendaharaan huruf
dalam tingkatan S.D. setidak-tidaknja tindakan penjelamatan
sedang diusahakan. Sebuah langkah emas. Sajang langkah itu
membentur tembok perebutan. Ketjurigaan jang melingkari
Departemen P&K mengakibatkan keduanja ragu-ragu untuk melepaskan
bantuannja. Djelas akibatnja tidak menguntungkan Institut
Swadaja. Tidak seperti di Jogjakarta dan Surakarta dikedua kota
keradiaan ini semua sekolah-sekolah tunanetra sudah dalam
rangkulan Departemen P & K. Sedang Departemen Sosial mendapat
bagiannja didaerah Pemalang, Purwoker-to dan disatu sudut ketjil
di Jogja. Pembagian ini setidak-tidaknja, melantjarkan arus
bantuan-bantuan mereka.
Bernasib malang. "Kami semula ragu-ragu untuk mendirikan S.D.
tunanetra ini" kata Njonja Susatyo pandu Institut Swadaja. Tidak
diterangkan apakah keraguannja ini disebabkan karena ia termasuk
golongan awam djuga untuk dunia serba gelap itu. Hati seorang
ibu kadangkala mendorong seorang wanita melakukan hal-hal jang
besar tantangannja. Karena itu bukup dapat dipertjaja alasan
"keibuan" jang dianggapnja sebagai alasan jang memadamkan
keraguan itu. "Saja terharu setelah lama menjelami djiwa
anak-anak tunanetra jang hidup dalam kegelapan itu. Maka saja
iugin memberikan kebahagiaan kepada anak jang bernasib malang
itu", katanja kepada Z. Arifin jang kali ini membantU TEMPO.
Njonja itu ternjata telah membajangkan andai kata jang "bernasib
malang" itu adalah salah satu dari ketudjuh puteranja, atau
dirinja sendiri. "Betapa penderitaan itu akan kita terima".
katanja dengan bersungguh-sungguh.
Sebelum Semarang berkenan membagi Gedung Perpustakaannja, Njonja
Susatyo jang "tidak bernasib malang" itu mulai membasuh
anak-anak didiknja dengan huruf, dirumahnja didjalan Rindjani
nomor dua-puluh. Sebuah usaha privat, usaha swasta, usaha
partikelir atau apalagi istilahnja jang tepat. Berhubung tak ada
jang membantu-nja, berhubung pemerintah tidak tjampurtangan .
Didjalan Rindjani itulah bermula perdjuangan keibuannja. Dimulai
dengan tiga orang murid. Berdjalan menempuh rintangan,
bermatjam-matjam rintangan terutama dalam soal finansiil. Tjukup
menarik djuga setelah angka (19)59 mendj adi (19)71, salah
seorang dari anak didiknja berhasil memandjat keatas tangga
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Demikian
pentingnja prestasi ini sehingga perlu dituliskan nama jang
bersangkutan, dengan huruf jang tebal: Otje Sudijoto. Pemuda
jang buta ini telah diakui mempunjai I.Q. jang tjukup tinggi.
Kalau tidak tjukup tinginja tidak mungkin ia mendapat hadiah
untuk dikirim ke Australia untuk menempuh peladjaran tingkat
menengahnja -- SMP. Ketika kembali ke Semarang ia mendapat
sebuah bangku di SMA IV bagian Sosial Budaja. Bukan tidak
mungkin ia dapat menjelesaikan kesardjanaan- nja, jang bagi
orang-orang jang "tidak malang" toch masih tjukup sulit.
Bukankah di Salatiga hidup seorang dosen jang seratus persen
tunanetra sedjak lahir. Ia bernama Drs Marwoto memberi kuliah di
I.K.I.P Sanata Darma Salatiga.
Oh, bantuan. Besarnja hasrat memasuki S.D. Tunanetra djangan
ditanja. Tetapi ada namunnja. Para orangtua putera-putera jang
ingin membatja itu menginginkan sebuah "asrama" bagi "jr"
mereka. Karena mereka berberat hati untuk mondar-mandir menuntun
putera-putera dunia gelap itu menempuh perdjalanannja dalam
dunia huruf, setiap hari. Disamping dengan terus terang terpaksa
dikatakan bahwa beberapa di antaranja menjimpan rasa malu
melahirkan putera-putera mereka tak sempurna sebagaimana
putera-putera orang lain. Keinginan ini dengan sedih dikembali
kan oleh Jajasan Swadaja, sebagai suatu kerdja jang melampaui
kekuatan mereka.
Tetapi tidak sadja asrama jang mendjadi pengharapan. Buku-buku
dan peralatan jang djustru merupakan kebutuhan lebih mendesak,
ternjata masih tergantung dalam harapan-harapan. Betul Pertuni
(Persatuan Tuna Netra Indonesia) sudah mentjolek negeri-negeri
seberang terutama Amerika. Betul buku-buku dengan huruf "braille
" datang dalam djumlah jang besar. Mereka berdjadjar mendjadi
dekor jang tjukup luas dalam ruangan. Tetapi mereka lupa
beladjar bahasa Melaju sebelum meninggalkan tanah-airnja jadi
hanja orang-orang seperti Otje Sudijoto atau Drs Marwoto jang
mengerti bahasa Inggeris jang bisa membatjanja. Praktis usaha
Pertuni jang berpusat di Jogja itu belum mendatangkan perbaikan
nasib. Sedang usaha untuk menterdjemahkan kedalam bahasa
Indonesia membutuhkan waktu plus tenaga banjak. Tambahan pula
buku tjampuran Inggeris-Amerika jang digunakan itu banjak
kata-kata singkatan jang bisa memusingkan pembatja Indonesia.
Otje Sudijoto salah seorang jang telah berusaha membatjanja
memberi tjontoh kesukaran tersebut: Misalnja kata "succes"
dibuku braille ditulis "suces" (di sini "C" adalah contraction)
Tjontoh jang lebih lutju: achiran "tion" dibuku braille ditulis
dengan hurul "B" turun dan "N". (Ini berarti huruf B jang turun
itu mengganti 3 huruf: "tio"). Djelas untuk hal-hal matjam ini
dibutuhkan kuntjinja jang harus dipersiapkan setjara teliti.
Tidak akan dilupakan bahwa disamping Uncle Sam, Gubernur Djawa
Tengah pun tahun 1960 berkenan menjisihkan Rp 10.000 dari
chazanahnja. Kemudian, achir tahun 1970 menjusul Rp 10.000 lagi.
Berarti rata-rata dalam satu tahun sekitar Rp 2.000. Djuga tidak
akan di lupakan Organisasi-Organisasi Wanita kalau kebetulan
Hari Ibu, berbondong-bondong menjumbang barang-barang panganan
jang tak berguna untuk pendidikan, sambil membawa serombongan
wartawan untuk memotret kenaikan hatinja itu, untuk melengkapi
isi koran pagi. Sedangkah terhadap Pemerintah Republik Indonesia
di Djakarta, berkatalah Otje Sudijoto mahasiswa hukum itu:
"Pernah kami menghadap sendiri ke Djakarta untuk membantu
Pertuni di bidang pendidikan. Kami mohon bantuan fasilitas
pendidikan. Tapi apa djawaban Pedjabat Tinggi Indonesia?
"Saudara kan tahu, untuk biaja pendidikan orang-orang jang melek
sadja kurang, apalagi membantu orang tunanetra!" Bantuan moril
banjak tapi bantuan materiel belum nampak".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini