SOPIR taxi mondar-mandir cari muatan. Itu cuplikan sebuah lagu
yang pernah populer tahun-tahun 1950an. Itu pula yan sedang
dikerjakan Gumpar Manurung akhir Oktober lalu: mondar mandir
cari muatan. Lalu tiba-tiba ia dihentikan seorang pria di daerah
Senayan, Jakarta. Setelah supir dan calon penumpang saling
bertatapan, yang disebut belakangan memegang leher baju supir.
Sekaligus memamerkan pisau komando dan menyuruh supir keluar.
Manurung baru insaf bahwa ia ditodong. Padahal sebelumnya tak
ada firasat jelek, sebab si calon penumpang berpakaian rapi,
lagipula saat itu baru sekitar jam 3 siang. Karena takut,
Manurung terpaksa menyerahkan mobil kepada penodong dan taxi ini
segera lenyap dari pandangan.
Selang beberapa menit lewat pula sebuah taxi dari perusahaan
yang sama President Taxi dan kendaraan itu kebetulan kosong.
Manurung segera meminta bantuan. Daerah Slipi dan Palmerah
mereka jelajahi, tapi tidak berhasil menemukan taxi itu. Lalu
mereka menuju ke salah satu poll perusahaan itu di Hotel Sari
Pacific. Dari situ disebarkan berita lewat radio taxi tentang
hilangnya mobil yang biasa dikemudikan Manurung. Baru beberapa
menit saja sudah diketahui bahwa kendaraan yang dirampok tadi
ada di Ancol. Petugas-petugas di tempat hiburan ini sudah siaga
ketika tiba-tiba mereka melihat taxi yang dicari sedang lari
kencang. Mereka segera menguber. Betul, di pertigaan jembatan
Bna Ria, kendaraan tersebut mereka dapatkan dalam keadaan sudah
ringsek bagian depan dan belakangnya. Mesin masih hidup walau
tak seorangpun ada di dalam. Belakangan baru diketahui bahwa
taxi itu menabrak sebuah motel ketika dikejar sebuah jip yang
telah ditabraknya pula. Begitulah pengalaman Manurung - yang
baru saja diskors perusahaan selama 1 minggu dan denda Rp 15
ribu, karena kelalaiannya sehingga taxinya tabrakan dan
mengalami kerusakan.
Namun gangguan terhadap supir-supir kendaraan umum itu tak
selamanya diawali dengan ancaman keras. Contohnya antara lain di
bawah ini. Taxi milik seorang kolonel polisi yang bergabung
dalam perusahaan yang sama, selama satu jam dikuasai perampok.
Awal September lalu, sekitar jam 1.30 tiga orang di Rawamangun
meminta diantarkan ke Kebayoran. Baru sampai di Jalan Rasuna
Said Kuningan yang sepi itu, para penumpang secara baik-baik
mempersilakan sopir turun. Mobil akan dipinjam sebentar. Ada
sedikit pesan kepada supir agar ia sudi mengambil kembali
taxinya di daerah Menteng atau sepanjang Jalan Sudirman. Walau
diucapkan dengan baik-baik, permintaan perampok itu dinilai sang
supir sebagai ancaman. Maka tiada jalan lagi kecuali menyerahkan
taxi kepada kawanan perampok itu.
Untung ada sebuah kendaraan President Taxi (PT) lain, yang dari
jauh melihat kejadian itu sehingga supirnya bisa segera
menghubungi Operator Pusat PT di Salemba. Regu patroli yang
berkendaraan jip 5 buah dikerahkan untuk menutup jalan-jalan
utama yang mungkin dilewati perampok untuk kabur dari Jakarta.
Regu patroIi dan taxi-taxi PT berhubungan terus, sehingga tipis
kemungkinan bagi perampok itu membawa mobil ke luar. Belum
sampai satu jam perampok menguasai mobil rampasan, jejak mereka
sudah tercium. Mobil patroli melihat sebuah taxi kuning dari
arah Grogol menuju Slipi. Kecepatannya tinggi dan jalannya
goyang.
Dengan kondisi seperti itu - dan terpisah oleh jalur hijau taxi
tadi tidak mudah dilihat nomornya oleh regu patroli yang datang
dari arah Slipi menuju Grogol. Penguber berputar arah menuju
Slipi. Tapi merasa diuber, taxi juga berbalik arah menuju
Grogol. Sampai di depan gedung Universitas Trisakti sedan itu
berhenti. Tapi sementara itu, regu patroli masih harus memutar
di bunderan dekat terminal bis Grogol. Maka ketika sampai di
tempat yang dituju, taxi sudah ditinggal perampoknya. Salah
seorang yang berkerumun di sana, memberitahu Ali, pemimpin
patroli, bahwa ketiga perampok baru saja melarikan diri. Ini
meminta Operator Salemba memberi tahu ciri-ciri perampok. Tak
lama kemudian Ali sadar bahwa orang yang belum lama bicara
kepadanya adalah salah satu dari ketiga perampok. Namun lelaki
itu telah kabur. Meskipun begitu taxi berhasil ditemukan dalam
keadaan utuh. Untuk sukses regu patroli itu, pemilik yang ikut
juga menguber malam itu mengirim surat pernyataan penghargaan
kepada Direksi selama tahun lalu, menurut Kadapol Metro Jaya
Mayor Jenderal Polisi drs Soetadi Ronodipoero, ada 17 peristiwa
penodongan dan perampasan terhadap taxi baik resmi maupun liar.
Paling banyak terjadi pada bulan Juni sampai 6 kali. Selama
Januari, Maret dan April, masing-masing terjadi 1 kali. Sedang
pada bulan-bulan Mei, Juli, Nopember dan Desember, masing-masing
dua kali. Bulan-bulan lain yang tidak tertulis di sini bersih
dari peristiwa penodongan taxi. Artinya tidak ada kasus yang
sampai terdengar oleh Komdak Metro Jaya.
Mobil Mogok
Memang dalam dunia kejahatan selaIu ada istilah dark numbers,
yaitu jumlah peristiwa tindak pidana yang tak diketahui --
karena tidak dilaporkan kepada polisi. Menurut Kadapol, tahun
lalu hanya ada 17 peristiwa, sedang yang dialami PT (President
Taxi) saja - belum termasuk 7 perusahaan taxi lainnya -
rata-rata sehari satu kali kejadian. Itu penjelasan jurubicara
PT, Eddy Karnot Debataraja. Tapi tak seluruh tindak pidana itu
dilaporkan. "Sebab tidak ada gunanya" kata Eddy, menunjuk pada
beberapa penodongan kecil yang menurutnya tak perlu dilaporkan.
Kecuali kalau sampai mobil hilang atau menjadi barang bukti.
Tanggapan sumbang terhadap aparat kepolisian ini disesalkan
Kadapol. Sebab tak benar polisi tidak menanggayi laporan
masyarakat. Buktinya dari 17 peristiwa itu sudah 9 yang
dibongkar dan 15 tersangka sudah mendekam di kantor polisi.
Memang diakui pengusutan terhadap tersangka agak lambat. Bukan
apa-apa. Polisi ingin menggali lebih dalam apakah para penodong
masing-masing berdiri sendiri atau membentuk satu komplotan.
Mengorek kejelasan seperti ini bukan barang gampang. Apalagi
rata-rata yang ditangkap bukan wajah-wajah baru lagi bagi
polisi.
Juga tak gampang menghadapi penodong. " Selama penjahat dalam
mobil, susah" masih kata Eddy. Radio taxi yang ada bukan obat
mujarab. Sebab radio ini terutama untuk mengamankan operasi
pertaxian, mencegah kekosongan di tempat-tempat ramai. Misalnya
di Ancol rata-rata 5 menit sekali ada penumpang yang memerlukan
taxi. Harga radio taxi yang Rp 450 ribu menyebabkan belum semua
taxi dilengkapi dengan alat komunikasi itu. Dari armada PT yang
200 sedan, baru 100 yang sudah dibekali alat modern tersebut.
Tapi pengamanan kegiatan taxi dilakukan juga dengan cara lain,
misalnya dengan jip-jip patroli. Mereka bertugas memberi bantuan
bila ada taxi yang mengalami kesulitan. Mobil mogok, contohnya.
Kekurangan Tenaga
Itu tindakan yang dilakukan masing-masing perusahaan. Langkah
yang dijalankan polisi adalah pengamanan terhadap supir dan
penumpang, meskipun praktek perampokan selama ini hanyaIah
ditujukan kepada supir dan dilakukan justru oleh penumpang -
atau mereka yang pura-pura jadi penumpang. Komdak juga
memberikan pendidikan dan pembinaan kepada supir taxi. Maksudnya
agar mereka suka mengambil tindakan pencegahan, dan melapor
kepada polisi bila diganggu. Pokoknya police-mindedlah.
Lalu polisi Jakarta Barat pernah merintis kerjasama dengan
sebuah perusahaan taxi di wilayahnya. Tujuannya juga untuk
mengamankan supir dari gangguan penodong. Sejumlah polisi aktif
menjadi supir taxi, sehingga mereka yang punya niat jahat
diharap jadi ragu-ragu untuk mengetahui mana supir sunggunan dan
mana pengemudi palsu (TEMPO 5 April 1975). Bagaimana kalau
langkah seperti itu dijalankan di seluruh Jakarta? Menurut
Kadapol, "ide itu baik, tapi polisi kekurangan tenaga".
Sementara itu dunia pertaxian di Jakarta makin berkembang,
termasuk yang liar. Setiap hari ada tambahan 2 atau 3 mobil di
PT yang merupakan, armada terbesar dengan 2800 dari 4000 taxi
yang ada di seluruh Jakarta. Tapi pikiran orang jahat pun makin
maju. Supir taxi biasanya mengantongi uang relatif banyak,
terutama menjelang jam setor. Lagipula ia duduk di depan,
sehingga bila penumpang yang duduk di belakang mengancam, si
supir tidak bisa menolak kemauan penumpang. Apalagi bila ancaman
itu dilontarkan di tempat yang sepi, misalnya sepanjang Jakarta
By-Pass beberapa waktu yang lalu. Kini daerah itu mulai
ditinggalkan perampok katena sering dibayangi paroli. Mereka
mulai bergeser ke jalan baru, Rasuna Said, untuk menghadang
atau membuang supir setelah dirampok. Daerah yang baru itu
memang belum punya pos polisi. Tapi menurut Kadapol sudah dalam
pengawasan polisi".
Hingga kini penodongan terhadap taxi rata-rata hanya dimaksud
untuk nenguras kantong supir. Sebab memang sulit bagi penjahat
untuk membawa jauh-jauh kendaraan publik yang mudah dilihat
tanda-tandanya. Sekali-dua, perampasan taxi dijadikan alat untuk
melakukan kejahatan lain. Misalnya taxi PT yang dipakai perampok
untuk menguras toko emas Asia di Jakarta Timur, Juli tahun lalu.
Walau tidak sempat menjatuhkan nama baik PT, kata Eddy,
peristiwa itu merupakan yang paling berat dirasakan perusahaan
tersebut. Agak lama taxi itu tidak beroperasi setelah dibawa
kabur dan ditinggalkan perampok di sebuah daerah di Jawa Barat.
Kenapa PT banyak diganggu? Menurut jurubicaranya, karena memang
PT lah yang jumlah taxinya paling besar, sebagai perusahaan yang
menampung taxi-taxi liar.
Kalau dilihat dengan kacamata kwalitatif, yaitu teknik
kejahatan, perampokan kendaraan sewaan itu boleh dibilang
mencemaskan. Pernah ada taxi disewa ke Serang. Sampai di sana
supirnya dianiaya dengan tusukan-tusukan ke tubuh. Setelah itu
para penjahat meninggalkan mobil dan supirnya, tanpa menggondol
barang apapun. Supir itu, yang kini sudah sembuh, tak habis
mengerti mengapa ia sampai disiksa orang-orang yang belum
dikenalnya. Namun bila dilihat dari kwantitasnya yaitu jumlah
peristiwa yang terjadi, hal itu belum seberapa -- mengingat luas
Jakarta. Penodongan dan perampasan taxi masih bisa dikuasai
polisi. Seperti kata Kadapol, kejahatan di Jakarta pada umumnya
masih bisa diatasi, dan situasi keamanan dan ketertiban
masyarakat dinilainya relatif stabil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini