PERATAAN kesempatan untuk mengikuti pendidikan memang bukan
iklan gembar-gembor. Paling kurang bila dilihat dari usaha
Pemerintah untuk terus membangun gedung sekolah lewat proyek
Inpres yang sudah mencapai jumlah ribuan itu. "Tapi dalam
kenyataannya, meratakan kesempatan belajar sering mernbawa
konsekwensi menurunnya mutu pendidikan", ujar Prof. Dr.
Setijadi, Ketua Badan Peneliti dan Pengembangan Pendidikan &
Kebudayaan (BP3K) Departemen P & K. Lebih-lebih dengan metode
penyampaian pelajaran yang sekarang dianut. Di sini, menurut
Setijadi, meratanya pendidikan tak diikuti, meratanya mutu
pendidikan itu sendiri.
Di hadapan peserta rapat kordinasi Proyek Perintis Sekolah
Pembangunan (PPSP) Desember yang lalu di Jakarta, Ketua BP3K
memperkuat pendapatnya dengan bukti-bukti penelitian. Ia
menunjuk pada karya Bloon dan Statler tentang perbandingan mutu
hasil belajar para murid di akhir kelas 12 pada 48 negara bagian
Amerika Serikat. Di situ kedua peneliti tersebut menunjukkan
adanya perbedaan mutu antara negara bagian yang hasil belajarnya
rata-rata tinggi dan negara bagian yang hasil belajarnya pukul
rata rendah. Pada yang terakhir ini, siswa yang sudah belajar 12
tahun, mutunya baru seukuran kelas 8 (SMP) dibanding yang
pertama.
Kemudian sebuah studi perbandingan tentang hasil belajar pada 28
negara -- meliputi negara maju dan berkembang - yang dilakukan
oleh Comber dkk pada 1973, juga memaparkan bahwa di antara
negara-negara maju sendiri, perbandingan mutu belajar antara
negara yang paling rendah dan paling tinggi hasil belajarnya tak
jauh beda dengan yng terdapat di antara negara-negara bagian AS
tadi. Dan bila hasil itu dibandingkan dengan hasil
sekolah-sekolah di negara berkembang, perbedaan mutu akan
menjadi lebih besar lagi: mutu rata-rata murid yang belajar
selama 12 tahun baru sampai pada penguasaan bahan kelas 6 di
negara maju yang paling tinggi. Bandingkan dengan negara maju
yang rendah hasil belajarnya: murid yang belajar dalam jangka
yang sama, kwalitasnya dapat mencapai kelas 8 dari negara maju
yang tinggi tadi, Hasil penelitian BP3K sendiri, di beberapa
daerah di Indonesia terhadap mutu hasil belajar kelas 6 tahun
1976 yang lalu, menunjukkan keadaan yang sama dengan hasi
pengkajian Bloon dan Statler, maupun Comber dkk.
Secara demikian maka mutu akhir murid-murid Jakarta -- daerah
yang hasil belajarnya rata-rata tinggi -- berbeda dengan
kwalitas hasil belajar mereka yang di daerah Kalimantan. Pelajar
kelas 6 SD daerah, setelah masa belajar 6 tahun hanya akan mampu
mencapai derajat kelas 4 dari daerah yang hasil belajarnya
tinggi. "Perbedaan inilah yang barangkali menyebabkan seorang
pelajar dari daerah lain sukar mengikuti pelajaran pada sekolah
di Jakarta", ujar Setijadi. Ketua BP3K itu juga menunjukkan
bahwa pada daerah yang hasil belajarnya rendah, jarang siswa
yang mencapai tingkat penguasaan di atas 45% dari seluruh bahan
pelajaran yang dibcrikan di situ. Sebagian besar hn mencapai
38%. Tetapi juga di daerah tertinggi, meskipun tak ada yang di
bawah 38%, tiada pula yang di atas 60%. "Padahal idealnya
seorang siswa minimal harus menguasai 75%", tambah pejabat
pendidikan itu lagi.
Dengan Modul
Kenapa bisa terjadi kepincangan-kepincangan itu? Ketua BP3K
memberi alasan masih digunakannya metode penyampaian pelajaran
yang sekarang masih dianut. Asumsi yang mendasari metode
tersebut adalah semua murid harus dapat menyelesaikan program
pelajaran dalam waktu yang sama dan dengan cara yang sama. Dari
itu jelas sebaghn besar pelajar tak pernah dapat menguasai
materi pelajaran secara maksimal - sementara guru hanya merasa
punya tugas menyampaikan informasi.
Di sinilah berpangkalnya program pembaharuun pendidikan yang
diusahakan lewat PPSP yang diasuh oleh 8 IKIP itu. Untuk menjaga
mutu, atau bak kata Menteri Sjarif Thajeb pada kesempatan yang
sama: "Saat ini kita huus sudah memikirkan suatu strategi agu
perataan yang direncanakan dan akan kita capai itu tidak akan
mengakibatkan menurunnya mutu". Perataan kesempatan belajar,
tapi dengan mutu kedodoran, pada pengamatan Menteri P & K ini
merupakan pemborosan. Atas pertimbangan tersebut, melalui BP3K,
Pemerintah kini sedang mencoba memperkenalkan metode penyampaian
pelajaran dengan modul. Sistim ini sudah dicoba melalui
sekolah-sekolah PPSP sejak dua tahun lalu dan tahun ini sampai
pada tahap pra desiminasi (tahap sebelum penyebaran ke seluruh
sekolah di luar PPSP).
Murid Pasif
Modul sebagai suatu sistim penyampaian pelajaran, memungkinkan
anak belajar sendiri tanpa terlalu tergantung pada guru - yang
selama ini bertugas sebagai penyampai informasi -- dan juga
tanpa terikat pada tempat dan waktu. Murid akan mendapat satuan
mata pelajaran yang terkecil, berupa unit-unit, lewat informasi
tercetak -- berisi petunjuk guru, lembaran kegiatan, lembaran
kerja serta kunci jawaban untuk lembaran kerja murid, di samping
lembaran penilaian dan kunci jawaban untuk lembarun penilaian.
Lewat buku yang berisi komponen-komponen itu, si murid belajar
sendiri dengan membacanya. Hanya bila ada yang kurang difahami
saja murid bisa bertanya kepada guru. Maka dengan prinsip
belajar sendiri, murid bukan hanya dirangsang untuk aktif, tapi
juga diharap tumbuhnya inishtif dan sikap kritis. Tidak seperti
dalam sistim belajar tradisionil: guru aktif, murid pasif.
Materi yang disajikan dalam modul telah diatur, sehingga murid
memang dapat bekerja sendiri dengan mempertahankan petunjuk di
dalamnya. Sementara keuntungan lain ialah murid diberi
kesempatan bekerja dan belajar sesuai dengan kecepatannya
menangkap pelajaran. Sebaliknya sistim yang kini masih berlaku
hanya berpedoman pada kurikulum, yang semuanya didasarkan pada
kemampuan rata-rata. Padahal bukankah masing-masing murid
memiliki kecepatan belajar yang berbeda?
Namun bukankah dengan bahan-bahan tercetak, ongkos pendidikan
dengan modul menjadi lebih mahal? Prof. Setijadi bukan tidak
mengakui kemungkinan tersebut. "Sethap pembaharuan tentu
menuntut biaya yang lebih tinggi", katanya. "Tapi kita memang
sudah siap dengan penyediaan biayanya". Karena kalau tujuannya
adalah meningkatkan kwalitas pendidikan, maka biaya yang
dibutuhkan lewat pembaharuan pendidikan dengan modul sama
besarnya dengan ongkos lewat sistim konvensionil yang ada
sekarang. Artinya, "biaya harus dikaitkan dengan kwalitas",
tambah Setyadi lagi.
Di tengah kesibukan bereksperimen itu, Ketua BP3K tak menolak
kemungkinan terjadinya kegagalan. "Namanya proyek perintis, bisa
saja gagal", katanya. Namun terhadap ini modul, Setijadi
nampaknya cukup memiliki harapan. "Saya yakin tidak gagal",
katanya. "Percobaan modul ini ibarat percobaan Concorde".
Maksudnya, selama percobaan mungkin akan mengalami
kegagalan-kegagalan kecil, tapi tak akan menyebabkan proyek itu
batal. Menurut dia, hal yang kini masih dalam taraf coba-coba
pada modul adalah bentuk administrasi sekolah. Untuk soal itu
kemungkinan gagal masih terbuka. "Tapi toh masih bisa
dilunakkan", ucap Setyadi. Jadi, bila tak ada halangan maka ini
modul akan sepenuhnya mewarnai kurikulum persekolahan pada
tahun-tahun 1980-an.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini