Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Mau Rata, Mau Mutu

Perataan kesempatan belajar sering diikuti menurunnya mutu pendidikan. BP3K Departemen P dan K mencobakan sistem modul pada PPSP. Sistem modul akan diterapkan pada kurikulum tahun 80-an. (pdk)

22 Januari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERATAAN kesempatan untuk mengikuti pendidikan memang bukan iklan gembar-gembor. Paling kurang bila dilihat dari usaha Pemerintah untuk terus membangun gedung sekolah lewat proyek Inpres yang sudah mencapai jumlah ribuan itu. "Tapi dalam kenyataannya, meratakan kesempatan belajar sering mernbawa konsekwensi menurunnya mutu pendidikan", ujar Prof. Dr. Setijadi, Ketua Badan Peneliti dan Pengembangan Pendidikan & Kebudayaan (BP3K) Departemen P & K. Lebih-lebih dengan metode penyampaian pelajaran yang sekarang dianut. Di sini, menurut Setijadi, meratanya pendidikan tak diikuti, meratanya mutu pendidikan itu sendiri. Di hadapan peserta rapat kordinasi Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) Desember yang lalu di Jakarta, Ketua BP3K memperkuat pendapatnya dengan bukti-bukti penelitian. Ia menunjuk pada karya Bloon dan Statler tentang perbandingan mutu hasil belajar para murid di akhir kelas 12 pada 48 negara bagian Amerika Serikat. Di situ kedua peneliti tersebut menunjukkan adanya perbedaan mutu antara negara bagian yang hasil belajarnya rata-rata tinggi dan negara bagian yang hasil belajarnya pukul rata rendah. Pada yang terakhir ini, siswa yang sudah belajar 12 tahun, mutunya baru seukuran kelas 8 (SMP) dibanding yang pertama. Kemudian sebuah studi perbandingan tentang hasil belajar pada 28 negara -- meliputi negara maju dan berkembang - yang dilakukan oleh Comber dkk pada 1973, juga memaparkan bahwa di antara negara-negara maju sendiri, perbandingan mutu belajar antara negara yang paling rendah dan paling tinggi hasil belajarnya tak jauh beda dengan yng terdapat di antara negara-negara bagian AS tadi. Dan bila hasil itu dibandingkan dengan hasil sekolah-sekolah di negara berkembang, perbedaan mutu akan menjadi lebih besar lagi: mutu rata-rata murid yang belajar selama 12 tahun baru sampai pada penguasaan bahan kelas 6 di negara maju yang paling tinggi. Bandingkan dengan negara maju yang rendah hasil belajarnya: murid yang belajar dalam jangka yang sama, kwalitasnya dapat mencapai kelas 8 dari negara maju yang tinggi tadi, Hasil penelitian BP3K sendiri, di beberapa daerah di Indonesia terhadap mutu hasil belajar kelas 6 tahun 1976 yang lalu, menunjukkan keadaan yang sama dengan hasi pengkajian Bloon dan Statler, maupun Comber dkk. Secara demikian maka mutu akhir murid-murid Jakarta -- daerah yang hasil belajarnya rata-rata tinggi -- berbeda dengan kwalitas hasil belajar mereka yang di daerah Kalimantan. Pelajar kelas 6 SD daerah, setelah masa belajar 6 tahun hanya akan mampu mencapai derajat kelas 4 dari daerah yang hasil belajarnya tinggi. "Perbedaan inilah yang barangkali menyebabkan seorang pelajar dari daerah lain sukar mengikuti pelajaran pada sekolah di Jakarta", ujar Setijadi. Ketua BP3K itu juga menunjukkan bahwa pada daerah yang hasil belajarnya rendah, jarang siswa yang mencapai tingkat penguasaan di atas 45% dari seluruh bahan pelajaran yang dibcrikan di situ. Sebagian besar hn mencapai 38%. Tetapi juga di daerah tertinggi, meskipun tak ada yang di bawah 38%, tiada pula yang di atas 60%. "Padahal idealnya seorang siswa minimal harus menguasai 75%", tambah pejabat pendidikan itu lagi. Dengan Modul Kenapa bisa terjadi kepincangan-kepincangan itu? Ketua BP3K memberi alasan masih digunakannya metode penyampaian pelajaran yang sekarang masih dianut. Asumsi yang mendasari metode tersebut adalah semua murid harus dapat menyelesaikan program pelajaran dalam waktu yang sama dan dengan cara yang sama. Dari itu jelas sebaghn besar pelajar tak pernah dapat menguasai materi pelajaran secara maksimal - sementara guru hanya merasa punya tugas menyampaikan informasi. Di sinilah berpangkalnya program pembaharuun pendidikan yang diusahakan lewat PPSP yang diasuh oleh 8 IKIP itu. Untuk menjaga mutu, atau bak kata Menteri Sjarif Thajeb pada kesempatan yang sama: "Saat ini kita huus sudah memikirkan suatu strategi agu perataan yang direncanakan dan akan kita capai itu tidak akan mengakibatkan menurunnya mutu". Perataan kesempatan belajar, tapi dengan mutu kedodoran, pada pengamatan Menteri P & K ini merupakan pemborosan. Atas pertimbangan tersebut, melalui BP3K, Pemerintah kini sedang mencoba memperkenalkan metode penyampaian pelajaran dengan modul. Sistim ini sudah dicoba melalui sekolah-sekolah PPSP sejak dua tahun lalu dan tahun ini sampai pada tahap pra desiminasi (tahap sebelum penyebaran ke seluruh sekolah di luar PPSP). Murid Pasif Modul sebagai suatu sistim penyampaian pelajaran, memungkinkan anak belajar sendiri tanpa terlalu tergantung pada guru - yang selama ini bertugas sebagai penyampai informasi -- dan juga tanpa terikat pada tempat dan waktu. Murid akan mendapat satuan mata pelajaran yang terkecil, berupa unit-unit, lewat informasi tercetak -- berisi petunjuk guru, lembaran kegiatan, lembaran kerja serta kunci jawaban untuk lembaran kerja murid, di samping lembaran penilaian dan kunci jawaban untuk lembarun penilaian. Lewat buku yang berisi komponen-komponen itu, si murid belajar sendiri dengan membacanya. Hanya bila ada yang kurang difahami saja murid bisa bertanya kepada guru. Maka dengan prinsip belajar sendiri, murid bukan hanya dirangsang untuk aktif, tapi juga diharap tumbuhnya inishtif dan sikap kritis. Tidak seperti dalam sistim belajar tradisionil: guru aktif, murid pasif. Materi yang disajikan dalam modul telah diatur, sehingga murid memang dapat bekerja sendiri dengan mempertahankan petunjuk di dalamnya. Sementara keuntungan lain ialah murid diberi kesempatan bekerja dan belajar sesuai dengan kecepatannya menangkap pelajaran. Sebaliknya sistim yang kini masih berlaku hanya berpedoman pada kurikulum, yang semuanya didasarkan pada kemampuan rata-rata. Padahal bukankah masing-masing murid memiliki kecepatan belajar yang berbeda? Namun bukankah dengan bahan-bahan tercetak, ongkos pendidikan dengan modul menjadi lebih mahal? Prof. Setijadi bukan tidak mengakui kemungkinan tersebut. "Sethap pembaharuan tentu menuntut biaya yang lebih tinggi", katanya. "Tapi kita memang sudah siap dengan penyediaan biayanya". Karena kalau tujuannya adalah meningkatkan kwalitas pendidikan, maka biaya yang dibutuhkan lewat pembaharuan pendidikan dengan modul sama besarnya dengan ongkos lewat sistim konvensionil yang ada sekarang. Artinya, "biaya harus dikaitkan dengan kwalitas", tambah Setyadi lagi. Di tengah kesibukan bereksperimen itu, Ketua BP3K tak menolak kemungkinan terjadinya kegagalan. "Namanya proyek perintis, bisa saja gagal", katanya. Namun terhadap ini modul, Setijadi nampaknya cukup memiliki harapan. "Saya yakin tidak gagal", katanya. "Percobaan modul ini ibarat percobaan Concorde". Maksudnya, selama percobaan mungkin akan mengalami kegagalan-kegagalan kecil, tapi tak akan menyebabkan proyek itu batal. Menurut dia, hal yang kini masih dalam taraf coba-coba pada modul adalah bentuk administrasi sekolah. Untuk soal itu kemungkinan gagal masih terbuka. "Tapi toh masih bisa dilunakkan", ucap Setyadi. Jadi, bila tak ada halangan maka ini modul akan sepenuhnya mewarnai kurikulum persekolahan pada tahun-tahun 1980-an.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus