NYANYIAN anak-anak "Pelangi" tiba-tiba berkumandang di Kejaksaan
Negeri Jakarta Pusat Sabtu pekan lalu. Senandung itu merupakan
luapan kegembiraan kerabat dan rekan Hariman serta Sjahrir atas
berita mengagetkan pagi itu. Pelaksanaan hukuman untuk mereka
ditangguhkan Jaksa Agung. Salaman dan rangkulan pun terjadi.
"Terima kasih buat semua pihak yang telah menciptakan iklim yang
baik sehingga muncul keputusan yang melegakan ini," ujar
Sjahrir kepada TEMPO. Rekannya, Hariman, hanya sempat
mengucapkan satu kalimat: "Gue gembira sekali."
Padahal, sebelumnya, suasana begitu menegangkan. Dr. Sjahrir dan
dr. Hariman dipanggil ke kejaksaan untuk diberitahu mengenai
pelaksanaan hukuman mereka, setelah putusan Mahkamah Agung, 2
November lalu. Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi mereka
dan menguatkan putusan pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas
kedua orang itu. Di pengadilan tingkat pertama, keduanya dihukum
enam tahun penjara karena dianggap terbukti melakukan kejahatan
subversi. Berarti, Hariman harus masuk lembaga pemasyarakatan
selama tiga tahun lima bulan dan Sjahrir dua tahun dua bulan,
karena sudah pernah ditahan. Tidak seorang pun dari tim pembela
mereka, S. Tasri Nursewan, Talas Sianturi, Datuk Singomangkuto,
dan Minang Warman bisa menyangkal bahwa kliennya harus masuk
penjara karena putusan itu.
Karena itu, hampir semua keluarga dan rekan kedua terpidana
tidak bisa menyembunyikan ketegangannya ketika Hariman dan
Sjahrir dipersilakan kepala kejaksaan, Bob Nasution, memasuki
kamarnya. Ibu Hariman dan ibu Sjahrir didampingi Nyonya Kartini
Sjahrir terdiam di kursi ruang tunggu kejaksaan menunggu kabar
dari dalam.
Setengah jam kemudian, sekitar pukul 9.30, suasana duka itu
berubah menjadi gembira. Bob Nasution menerima petunjuk langsung
dari Jaksa Agung untuk mcnangguhkan eksekusi terhadap Hariman
dan Sjahrir. "Jaksa Agung menggunakan hak opportniteits," kata
Bob menjelaskan.
Putusan itu bisa terjadi, menurut Bob, berdasarkan permohonan
Hariman dan Sjahrir sehari sebelumnya yang juga ditujukan ke
Mahkamah Agung. Pada hari itu pula kedua terpidana meminta grasi
kepada Presiden. Sebab itu, sebelum Hariman dan Sjahrir
meninggalkan kantor kejaksaan, Bob menyarankan agar mereka
meminta Mahkamah Agung - melalui Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat- mengeluarkan fatwa guna menangguhkan hukuman itu.
Prinsip oportunitas adalah wewenang yang mengizinkan penuntut
umum mengesampingkan penuntutan atau mendeponir suatu perkara
demi kepentingan umum. Prinsip itu terkandung pada pasal 8
Undang-undang Pokok Kejaksaan (UU No. 15/1961). Tapi di situ
tidak disebut-sebut soal kewenangan penuntut umum menangguhkan
pelaksanaan keputusan hakim. Tapi kepentingan umum mana yang
dipertimbangkan ? "Silakan tanya Jaksa Agung," ujar Bob
Nasution.
Jaksa Agung Ismail Saleh membenarkan prinsip itu, yang mendasari
keputusannya. "Selain itu, rasa keadilan dan kemanusiaan," ujar
Ismail Saleh kepada wartawan Sabtu lalu. Jaksa Agung
membenarkan, pasal 18 Undang-undang Subversi menentukan,
pelaksanaan hukuman buat terpidana tidak harus menunggu putusan
grasi dari presiden. Pasal itu bahkan, diakui Ismail Saleh,
mengalahkan ketentuan umum Undang-undang Grasi yang menyebutkan
bahwa pelaksanaan hukuman harus ditangguhkan bila diminta
pemohon grasi. "Tapi pertimbangan saya bukan hanya itu. Dan ini
kebijaksanaan saya untuk kasus ini," kata Ismail Saleh.
Keputusan Jaksa Agung itu selain "mengejutkan" juga mengundang
teka-teki. Sebab, kebijaksanaan itu mengalahkan
perundang-undangan yang ada. "Putusan itu masih teka-teki karena
penyelesaian itu nonyuridis," ujar ketua YLBHI (Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia), T. Mulya Lubis. Sebab itu, Mulya
menganggap kasus Hariman-Sjahrir sebagai kasus istimewa. Pembela
Sjahrir, Minang Warman, mengakui bahwa kebijaksanaan semacam itu
bisa membuat ketidakpastian hukum. "Tapi pasti Jaksa Agung sudah
mempertimbangkan semasak-masaknya," kata Minang.
Namun, teka-teki itu tidak terlalu sukar untuk ditebak. Sebuah
sumber TEMPO mengungkapkan bahwa sikap Hariman - Sjahrir yang
tidak banya reaksi atas putusan Mahkamah Agung sebelumnya ikut
menjadi pertimbangan penangguhan keputusan itu. Teristimewa pula
cepatnya kedua terpidana itu menyampaikan permohonan grasinya.
"Sikap seperti itu di mata pemerinta simpatik," ujar sumber itu.
Selain itu, menurut sumber yang tak mau disebut namanya itu, ada
segi kemanusiaan yang menjadi pertimbangan - yaitu istri Hariman
yang masih sakit dan membutuhkan suami di sampingnya.
Sebelum penangguhan pelaksanaan keputusan Mahkamah Agung itu,
"kejutan" justru muncul dari lembaga peradilan tertinggi itu.
Majelis Hakim Agung, yang diketuai langsung oleh Mudjono, tidak
disangka-sangka menguatkan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat terhadap Hariman sembilan tahun lalu dan membatalkan
keputusan Pengadilan Tinggi Jakatra. Selain Hariman, Mahkamah
Agung dua pekan lalu itu menyiarkan pula putusan terhadap
Sjahrir dan terpidana "Malari" lainnya, Aini Chalid.
Dalam kasus Hariman, misalnya, Mahkamah Agung dengan tegas
menolak pendapat Pengadilan Tinggi Jakarta. Selain Hariman,
Mahkamah Agung dua pekan lalu itu menyiarkan pula putusan
terhadap Sjahrir dan terpidana "Malari" lainnya, Aini Chalid.
Dalam kasus Hariman, misalnya, Mahkamah Agung dengan tegas
menolak pendapat Pengadilan Tinggi Jakarta. Peradilan banding
itu dalam putusannya, 1976, menyatakan bahwa Hariman tidak
terbukti melakukan perbuatan yang merongrong haluan negara
dengan mencetuskan Petisi 24 Oktober 1973, yang isinya antara
lain meminta agar GBHN ditinjau kembali. Perbuatan Hariman yang
terbukti, menurut hakim tinggi, adalah merongrong kewibawaan
pemerintah. Faktanya, antara lain, menyelenggarakan aksi-aksi
menyambut Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka. Sebab itu,
Pengadilan Tinggi menurunkan hukuman untuk Hariman dari enam
tahun menjadi empat tahun enam bulan penjara.
Tapi, "Pengadilan Tinggi telah salah menerapkan hukum," begitu
bunyi putusan Mahkamah Agung dua pekan lalu. Alasan lembaga
peradilan tertinggi itu, aksi-aksi mahasiswa pada waktu itu,
terrnasuk dalam menyambut Tanaka, bersumber dari perbuatan
Hariman mencetuskan petisi itu. Isi petisi itu dianggap
Mahkamah merongrong haluan negara.
Tapi, baik Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung tidak
mempersoalkan timbulnya huru-hara "15 Januari" yang
mengakibatkan kebakaran di berbagai pelosok Jakarta.
Satu-satunya terpidana yang lolos dari keharusan menjalani
hukuman adalah Aini Chalid. Untuk Aini, Mahkamah memperkuat
putusan peradilan banding, dan tetap menjatuhkan hukuman dua
tahun tiga bulan. Dengan putusan itu berarti Aini telah
menjalani hukumannya lebih sembilan hari. Bekas mahasiswa
Universitas Gajah Mada itu pekan lalu menghadap Bob Nasution. Ia
mengucapkan terima kasih atas putusan itu dan menyatakan tidak
berniat menuntut ganti rugi atas kelebihan masa tahanannya.
Tinggal keputusan Mahkamah Agung untuk Hariman dan Sjahrir yang
jadi persoalan. Banyak pihak mempertanyakan latar belakang
politik yang mendasari keputusan itu. Ada pula yang menganggap
keputusan itu seperti membangkitkan persitiwa lama. "Apakah
putusan itu karena Operasi Kikis atau semacam peringatan
terhadap 'Malinkundang-Malinkundang' yang lain?" tanya Mulya
Lubis.
Ketua Mahkamah Agung Mudjono tidak bersedia menjawab pertanyaan
itu. "Kalau saya ikut ngomong, pengadilan bawahan ditutup saja.
Sebab, ucapan saya merupakan fatwa hukum," ujar Mudjono. Sebab
itu, keputusan Mudjono itu tetap merupakan "teka-teki" bagi
pihak-pihak yang masih mempertanyakannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini