KEJAKSAAN akhirnya berhasil juga menggiring kasus pajak ke dalam
jaring undang-undang korupsi. Mahkamah Agung untuk pertama
kalinya memutuskan manipulasi pajak sebagai tindak pidana
korupsi dan menghukum direktur akunting PT Tobu Indonesia Steel
(Tobusco), Yoyiro Kitajama, sesuai dengan putusan Pengadilan
Tinggi Jakarta: dua tahun enam bulan penJara ditambah denda Rp
30 juta.
Rabu lalu Kitajama muncul di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan
untuk melaksanakan sebagian keputusan itu. Hari itu, didampingi
Hanindya, pengacaranya dari Kantor Albert Hasibuan, Kitajama
membayar ongkos perkara Rp 12 ribu. Keesokan harinya ia kembali
lagi membayar denda. Tapi Kitajama belum harus masuk ke penjara
karena ia meminta grasi kepada presiden. "Saya mengharapkan
tidak masuk penjara. Karena itu, minta grasi," ujar warga negara
Jepang itu. Ia merupakan tenaga asing pertama yang mendapat
putusan hukuman dari Mahkamah Agung sejak perusahaan asing masuk
Indonesia.
Kitajama, 31, diseret Jaksa Bob Nasution ke pengadilan, Juli
tahun lalu. Ia dituduh memanipulasikan pajak dengan jalan
membuat pembukuan ganda. Sebuah pembukuan yang dilaporkan ke
instansi pajak setelah diaudit oleh akuntan publik, Budi Utomo,
ternyata isinya telah disulap lebih dulu. Dalam buku itu,
perincian mengenai omset neraca rugi-laba dan MPO perusahaan
patungan Jepang-Indonesia itu dibuat lebih kecil dari buku
perusahaan yang sebenarnya. Setelah diteliti kejaksaan, terbukti
Tobusco telah memanipulasikan pajaknya Rp 811 juta sejak 175.
Sebagian dari manipulasi itu, sebesar Rp 374 juta, terjadi
ketika Kitajama menjadi direktur akunting, dari tahun 1979
sampai 1980. Sisanya dilakukan oleh direktur akunting
sebelumnya, Iwao Motomatsu, H. Takada, dan K. Katai. Ketiga
orang itu dihukum secara in absenia - karena mereka sudah
pulang ke Jepang.
"Saya puas sebagai jaksa pertama yang mengusut kasus manipulasi
pajak di Indonesia dan berhasil menggolkan perkara itu sampai ke
Mahkamah Agung," ujar Bob Nasution, yang kini menjadi kepala
Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Keputusan itu, menurut Bob,
mempunyai arti penting bagi keJaksaan, yang kini tengah
giat-giatnya mengusut kasus korupsi - termasuk di sektor pajak.
Setelah kasus korupsi pajak perusahaan PMA Tobusco dan Kalisco
(Kalimantan Steel), Kejaksaan Agung kini juga sibuk menggarap
kasus si raja kayu, Jos Soetomo.
Jaksa Agung Ismail Saleh juga tidak menutupi kegembiraannya atas
keputusan Mahkamah Agung itu. Menurut Ismail Saleh, keputusan
Mahkamah Agung itu bermanfaat besar buat kejaksaan. Pertama,
kasus manipulasi pajak bisa ditindak menurut undang-undang
anti-korupsi. Kedua, katanya, undang-undang itu ternyata tidak
hanya ditulukan kepada pegawai negerl, tetapi juga orang
swasta. "Buktinya, Mahkamah Agung sendiri memutuskan Kitajama
melakukan korupsi melalui manipulasi pajak," ujar Ismail Saleh
kepada wartawan ketika ia meninjau Kejaksaan Negeri Jakarta
Pusat pekan lalu. Maka, Ismail Saleh mengemukakan niatnya untuk
terus memberantas berbagai penyelewengan pajak. "Tidak akan ada
ampun lagi untuk masalah-masalah seperti itu," ujar Ismail
Saleh.
Tekad Jaksa Agung untuk memberantas korupsi di sektor pajak
sempat digoyang kritik. Tidak kurang dari bekas ketua Mahkamah
Agung, Prof. Oemar Seno Adji, ikut menentang undang-undang
antikorupsi digunakan untuk menggebrak para penyeleweng pajak.
"Tidak ada maksud waktu itu untuk menggiring perbuatan pidana
lain ke dalam delik korupsi," kata Seno Adji, salah seorang yang
ikut melahirkan undang-undang no 3/1971 itu.
Guru besar FHUI itu melihat ada gejala memperluas pelaksanaan
undang-undang korupsi dari maksud pembuat undang-undang.
Misalnya, kasus penyelundupan dan, terakhir, kasus pajak. "Ada
kecenderungan memaksakan pelanggaran peraturan pidana lain ke
dalam korupsi," tutur Seno Adji. Padahal, katanya, untuk
pelanggaran lain itu sudah ada peraturan-peraturan tersendiri,
seperti pidana ekonomi atau perpajkan.
Dalam seminar yang diselenggarakan Persahi (Perhimpunan Sarjana
Hukum Indonesia), Seno Adji juga menyatakan melihat perluasan
pelaksanaan undang-undang itu lebih jauh: pihak swasta dapat
juga dituduh, padahal penjelasan undang-undang anti-korupsi,
menurut Seno Adji, jelas menyebutkan bahwa subyek hukum
undang-undang itu adalah pegawai negeri.
Alasan yang dikemukakan Seno Adji itu juga tercakup dalam memori
kasasi yang diajukan Kitajama ke Mahkamah Agung. Namun, Majelis
Hakim Agung, yang diketuai Hakim Agung H. Soerjono, menolak
alasan itu dan tetap menghukum Kitajama. Akibat putusan itu,
Kitajama, selain membayar denda. harus menjalani sisa hukumannya
selama dua tahun dua bulan bila grasinya ditolak. Kitajama
pernah ditahan dari 24 Juni sampai 29 Oktober 1982.
Pengacara Kitajama, Albert Hasibuan, tidak bersedia memberikan
komentar. Hanya saja, sebagai anggota Komisi III DPR, ia
sependapat dengan Oemar Seno Adji bahwa untuk kasus pajak tidak
bisa diterapkan undang-undang korupsi. "Sebab sudah ada
undang-undang khusus perpajakan," ujar Albert.
Bagaimanapun, Albert dapat mengerti tindakan kejaksaan yang lagi
getol-getolnya menindak penyeleweng uang negara - termasuk
dalam kasus pajak. "Malah kita harapkan kejaksaan lebih aktif
mengamankan pemasukan keuangan negara itu," kata Albert.
Dalam pengusutan kasus korupsi, Albert juga sependapat dengan
Jaksa Agung bahwa swasta juga bisa terkena undang-undang itu.
"Tapi undang-undang hanya khusus buat swasta yang melakukan
penyuapan atau penyogokan. Dalam hal itu, baik pejabat yang
disuap maupun swasta yang menyuap bisa terkena undang-undang
korupsi," ujar Albert Hasibuan. Dan Kitajama tidak terbukti
menyuap petugas pajak, begitu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini