Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Korban pertama dari jepang

Yohiro kitajama, direktur akunting PT tobusco dijatuhi hukuman 2,5 tahun penjara dan denda Rp 30 juta oleh pengadilan tinggi jakarta. terbukti melakukan manipulasi pajak dengan membuat pembukuan ganda. (hk)

19 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEJAKSAAN akhirnya berhasil juga menggiring kasus pajak ke dalam jaring undang-undang korupsi. Mahkamah Agung untuk pertama kalinya memutuskan manipulasi pajak sebagai tindak pidana korupsi dan menghukum direktur akunting PT Tobu Indonesia Steel (Tobusco), Yoyiro Kitajama, sesuai dengan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta: dua tahun enam bulan penJara ditambah denda Rp 30 juta. Rabu lalu Kitajama muncul di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan untuk melaksanakan sebagian keputusan itu. Hari itu, didampingi Hanindya, pengacaranya dari Kantor Albert Hasibuan, Kitajama membayar ongkos perkara Rp 12 ribu. Keesokan harinya ia kembali lagi membayar denda. Tapi Kitajama belum harus masuk ke penjara karena ia meminta grasi kepada presiden. "Saya mengharapkan tidak masuk penjara. Karena itu, minta grasi," ujar warga negara Jepang itu. Ia merupakan tenaga asing pertama yang mendapat putusan hukuman dari Mahkamah Agung sejak perusahaan asing masuk Indonesia. Kitajama, 31, diseret Jaksa Bob Nasution ke pengadilan, Juli tahun lalu. Ia dituduh memanipulasikan pajak dengan jalan membuat pembukuan ganda. Sebuah pembukuan yang dilaporkan ke instansi pajak setelah diaudit oleh akuntan publik, Budi Utomo, ternyata isinya telah disulap lebih dulu. Dalam buku itu, perincian mengenai omset neraca rugi-laba dan MPO perusahaan patungan Jepang-Indonesia itu dibuat lebih kecil dari buku perusahaan yang sebenarnya. Setelah diteliti kejaksaan, terbukti Tobusco telah memanipulasikan pajaknya Rp 811 juta sejak 175. Sebagian dari manipulasi itu, sebesar Rp 374 juta, terjadi ketika Kitajama menjadi direktur akunting, dari tahun 1979 sampai 1980. Sisanya dilakukan oleh direktur akunting sebelumnya, Iwao Motomatsu, H. Takada, dan K. Katai. Ketiga orang itu dihukum secara in absenia - karena mereka sudah pulang ke Jepang. "Saya puas sebagai jaksa pertama yang mengusut kasus manipulasi pajak di Indonesia dan berhasil menggolkan perkara itu sampai ke Mahkamah Agung," ujar Bob Nasution, yang kini menjadi kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Keputusan itu, menurut Bob, mempunyai arti penting bagi keJaksaan, yang kini tengah giat-giatnya mengusut kasus korupsi - termasuk di sektor pajak. Setelah kasus korupsi pajak perusahaan PMA Tobusco dan Kalisco (Kalimantan Steel), Kejaksaan Agung kini juga sibuk menggarap kasus si raja kayu, Jos Soetomo. Jaksa Agung Ismail Saleh juga tidak menutupi kegembiraannya atas keputusan Mahkamah Agung itu. Menurut Ismail Saleh, keputusan Mahkamah Agung itu bermanfaat besar buat kejaksaan. Pertama, kasus manipulasi pajak bisa ditindak menurut undang-undang anti-korupsi. Kedua, katanya, undang-undang itu ternyata tidak hanya ditulukan kepada pegawai negerl, tetapi juga orang swasta. "Buktinya, Mahkamah Agung sendiri memutuskan Kitajama melakukan korupsi melalui manipulasi pajak," ujar Ismail Saleh kepada wartawan ketika ia meninjau Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat pekan lalu. Maka, Ismail Saleh mengemukakan niatnya untuk terus memberantas berbagai penyelewengan pajak. "Tidak akan ada ampun lagi untuk masalah-masalah seperti itu," ujar Ismail Saleh. Tekad Jaksa Agung untuk memberantas korupsi di sektor pajak sempat digoyang kritik. Tidak kurang dari bekas ketua Mahkamah Agung, Prof. Oemar Seno Adji, ikut menentang undang-undang antikorupsi digunakan untuk menggebrak para penyeleweng pajak. "Tidak ada maksud waktu itu untuk menggiring perbuatan pidana lain ke dalam delik korupsi," kata Seno Adji, salah seorang yang ikut melahirkan undang-undang no 3/1971 itu. Guru besar FHUI itu melihat ada gejala memperluas pelaksanaan undang-undang korupsi dari maksud pembuat undang-undang. Misalnya, kasus penyelundupan dan, terakhir, kasus pajak. "Ada kecenderungan memaksakan pelanggaran peraturan pidana lain ke dalam korupsi," tutur Seno Adji. Padahal, katanya, untuk pelanggaran lain itu sudah ada peraturan-peraturan tersendiri, seperti pidana ekonomi atau perpajkan. Dalam seminar yang diselenggarakan Persahi (Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia), Seno Adji juga menyatakan melihat perluasan pelaksanaan undang-undang itu lebih jauh: pihak swasta dapat juga dituduh, padahal penjelasan undang-undang anti-korupsi, menurut Seno Adji, jelas menyebutkan bahwa subyek hukum undang-undang itu adalah pegawai negeri. Alasan yang dikemukakan Seno Adji itu juga tercakup dalam memori kasasi yang diajukan Kitajama ke Mahkamah Agung. Namun, Majelis Hakim Agung, yang diketuai Hakim Agung H. Soerjono, menolak alasan itu dan tetap menghukum Kitajama. Akibat putusan itu, Kitajama, selain membayar denda. harus menjalani sisa hukumannya selama dua tahun dua bulan bila grasinya ditolak. Kitajama pernah ditahan dari 24 Juni sampai 29 Oktober 1982. Pengacara Kitajama, Albert Hasibuan, tidak bersedia memberikan komentar. Hanya saja, sebagai anggota Komisi III DPR, ia sependapat dengan Oemar Seno Adji bahwa untuk kasus pajak tidak bisa diterapkan undang-undang korupsi. "Sebab sudah ada undang-undang khusus perpajakan," ujar Albert. Bagaimanapun, Albert dapat mengerti tindakan kejaksaan yang lagi getol-getolnya menindak penyeleweng uang negara - termasuk dalam kasus pajak. "Malah kita harapkan kejaksaan lebih aktif mengamankan pemasukan keuangan negara itu," kata Albert. Dalam pengusutan kasus korupsi, Albert juga sependapat dengan Jaksa Agung bahwa swasta juga bisa terkena undang-undang itu. "Tapi undang-undang hanya khusus buat swasta yang melakukan penyuapan atau penyogokan. Dalam hal itu, baik pejabat yang disuap maupun swasta yang menyuap bisa terkena undang-undang korupsi," ujar Albert Hasibuan. Dan Kitajama tidak terbukti menyuap petugas pajak, begitu?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus