BISNIS kaset video semakin menimbulkan banyak soal. Ada
pembajakan, persaingan dengan bioskop, soal siapa yang berhak
memproduksikan, bahkan soal instansi mana yang berhak mengawasi.
Kini muncul pula soal baru: Badan Sensor Film (BSF) menuduh
sebuah perusahaan perekam kaset video, PT Trio Video Tara (TVT),
memalsukan nomor kode Surat Tanda Lolos Sensor (STLS) pada
video-video yang mereka edarkan.
Dalam suratnya tertanggal 29 Oktober lalu itu, BSF menyebutkan
bahwa TVT melanggar peraturan sensor dan, karena itu, meminta
pertanggungjawaban serta memberi peringatan keras. Menurut surat
BSF yang ditandatangani ketua pelaksana BSF, Thomas Soegito, TVT
memalsukan nomor-nomor STLS itu untuk sembilan judul produksi
serial kaset video.
Cara pemalsuan itu menarik. Sebuah film video, "Reincarnated "
misalnya, terdiri dari 30 seri. Harusnya untuk setiap seri film
itu ada nomor kode STLS yang harus dicantumkan di sampul kaset
yang beredar di pasaran. Tapi, seperti dikatakan seorang pejabat
BSF, setelah diteliti, ternyata semua seri film "Reincarnated"
itu mempunyai nomor yang sama, yaitu nomor yang diberikan BSF
untuk seri pertama film itu.
"Kasus seperti ini pertama kalinya terjadi," ujar Thomas
Soegito. Menurut Thomas, sampai pekan lalu TVT belum memberikan
pertanggungjawaban atas peringatan BSF yang tembusannya
disampaikan juga kepada Kejaksaan Agung. "Kita akan melakukan
tindakan bila sudah ada pertanggungjawaban itu," ujar Thomas
Soegito, tanpa menyebutkan bentuk tindakan yang akan dikenakan.
Satu-satunya dasar hukum bagi BSF untuk bertindak adalah
Keputusan Presiden (Keppres) No. 13/1983, yang dikeluarkan
Februari lalu. Selain mengatur soal prosedur bisnis kaset video,
keppres itu menunjuk Undang-undang No 1/1964, mengenai
perfilman, sebagai pengatur sanksi hukum bagi setiap
pelanggaran, termasuk dalam bidang sensor. "Tapi sanksi itu
belum akan dilaksanakan karena keppres itu belum ada peraturan
pelaksanaannya," ujar seorang pejabat BSF.
Tapi, ternyata, bukan alasan itu semata-mata yang membuat BSF
tidak melaksanakan keppres. "Masalahnya bukan pemalsuan sensor
karena semua kaset yang diedarkan itu sudah lolos sensor. Hanya
saja nomor kodenya yang dipalsukan," ujar sekretaris BSF,
Kadiono.
Tujuan TVT memalsukan nomor itu, menurut Kadiono, hanya untuk
merigankan ongkos cetak sampul serial kaset video yang
diedarkannya. "Tapi tetap saja namanya pemalsuan. Sebab itu, TVT
kami perintahkan menarik kembali kaset itu dari peredaran," kata
pejabat BSF. Kepala Hubungan Masyarakat Kejaksaan Agung, A.A.
Ngurah, membenarkan alasan Kadiono. "Kaset-kaset video itu
ternyata telah lolos sensor." ujar Ngurah. Sebab itu, Kejaksaan
Agung, sebagai instansi yang mengawasi peredaran kaset video,
menurut Ngurah, memerintahkan TVT memasang kembali nomor-nomor
yang sebenarnya untuk serial yang diedarkan TVT itu.
Seorang direksi TVT mengaku telah berbuat salah dalam kasus
pemalsuan nomor itu. "Tapi itu kesalahan kecil saja, katakanlah
kesalahan teknis," kata pengusaha kaset video yang tak bersedia
menyebut namanya itu. Sebab itu, ia tidak berniat menarik
kembali kaset-kaset yang nomornya palsu itu dari peredaran.
Paling-paling, katanya, hanya akan mengirimkan ralat nomor
kepada agen-agennya di seluruh Indonesia.
Seorang pejabat yang pernah mengurusi soal sensor kaset video
mengungkapkan bahwa cara yang dilakukan TVT itu sebagai suatu
"permainan", antara instansi yang berwenang dan si pengusaha.
Caranya, setelah si pengusaha berhasil mendapatkan satu nomor
untuk sebuah serial kaset videonya, ia mengedarkan seluruh
serialnya yang belum lolos sensor. Belakangan, setelah serial
berikutnya mendapatkan izin pula, barulah nomor yang sebenarnya
di pasang.
Kadiono tidak menutupi kemungkinan permainan semacam itu. "Itu
sebabnya ada saja kaset video yang beredar di masyarakat tanpa
pemotongan dari BSF. Penanganan kaset itu memang susah. Namanya
saja barang baru," ujar Kadiono.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini