Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Raja Sengon dari Wonosobo

Merintis usaha dari nol, Aryadi mengekspor kayu sengon olahan ke berbagai negara.

25 November 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjumpaan Aryadi dengan Karto mengubah nasib lelaki jebolan sekolah menengah ekonomi di Wonosobo itu. Pada mulanya ia hanya menjual kayu sengon ke pedagang pengepul Jung San. Tapi sulung dari lima bersaudara ini menginginkan untung yang lebih besar. Berangkatlah Aryadi ke Surabaya untuk menemui juragan kayu bernama Karto.

Tak punya cukup uang, Aryadi menumpang di atas bak truk. Ia mengikat tangan dan kakinya menggunakan tali rafia supaya tidak terjatuh dari bak truk. Karto setuju membeli kayu langsung dari Aryadi. Selama dua tahun, pria kelahiran Desa Beran, Kecamatan Kepil, Wonosobo, Jawa Tengah, 56 tahun silam, itu mengirim kayu yang digunakan buat mengepak sabun dan peti untuk panci.

Selain berpartner dengan Karto, Aryadi bermitra dengan dua perusahaan kayu besar di Gresik, Jawa Timur. Setelah sekian waktu berhubungan dengan perusahaan dalam negeri, ia berhasrat mengekspor kayu olahannya. Dia mendatangi Kantor Bea dan Cukai di Wonosobo untuk mencari tahu tujuan ekspor kayu Indonesia. "Saya mendapatkan alamat importir kayu di Taiwan," katanya Ahad tiga pekan lalu.

Karena tidak mampu berbahasa Inggris, ia meminta bantuan seorang kawannya, pegawai hotel di Wonosobo. Aryadi mengirim proposal penawaran ke perusahaan Taiwan tadi. Setelah itu, ia ajek mengekspor kayu ke Taiwan. Dia mengekspor kayu melalui Pelabuhan Tanjung Mas, Semarang.

Aryadi kemudian memperluas jangkauan ekspor produknya ke Cina. Saking besarnya semangat menembus pasar Cina, ia terbang ke Hong Kong. Ia menemui perwakilan Republik Indonesia di sana untuk berjumpa dengan importir itu. Setelah bernegosiasi, Aryadi dipilih menjadi pemasok tetap. Kayu-kayu olahan itu dikirim langsung ke pelabuhan Shanghai, Cina.

Kini anak pasangan Abdul Kodir dan Marwiyah itu mampu mengirim total 400 kontainer per bulan kayu olahan ke Cina, Korea Selatan, Mesir, Libya, Yordania, dan Kuwait. Lembaran kayu sengon produksi Aryadi dijadikan bahan lantai, pagar, dinding, interior, furnitur, dan aksesori dapur. Dengan karyawan 8.500 orang, omzetnya mencapai Rp 85 miliar per bulan.

Aryadi saat ini memiliki tiga pabrik. Salah satunya Mekar Abadi Tiga di Dusun Silempah, Desa Sedayu, Kecamatan Sapuran, Wonosobo. Di gudang, tumpukan papan berukuran 122 x 244 sentimeter dengan tebal 1,8 sentimeter tersusun menjadi kotak persegi empat yang dibungkus plastik bening. Inilah produk kayu olahan setengah jadi. "Pabrik ini saya beli dari seorang pengusaha yang bangkrut," katanya.

Dua pabrik lain ada di Desa Sapuran dan di Desa Sigug, Kecamatan Kalikajar, Wonosobo. Pabrik di Sapuran memiliki luas 5,5 hektare, Sedayu 9,6 hektare, dan Sigug 6 hektare. Pabrik ini memproduksi olahan kayu berupa plywood, block board, dan barcore. Pasokan kayu untuk pabrik milik Aryadi berasal dari kayu rakyat. Sebagian kecil berasal dari kebun miliknya.

Selain dari Wonosobo, pasokan sengon ke pabrik milik Aryadi berasal dari Purbalingga, Banjarnegara, Cilacap, Kebumen, dan Purworejo. Tanaman sengon tumbuh di lahan milik rakyat. Penduduk sekitar Wonosobo rata-rata memiliki lahan sengon 0,25-5 hektare. Mereka mendatangkan bibit pohon sengon dari Kutoarjo, Purworejo, dan memanen setelah berumur lima tahun.

Merintis usaha dari nol, awalnya Aryadi bukan pengusaha bidang perkayuan. Setelah putus sekolah, dia mencoba menjadi makelar tape recorder dengan berkeliling dari kampung ke kampung di Wonosobo. Dia mendapat upah dari pemilik barang, Darmo, tetangga rumahnya.

Sampai suatu petang, ketika hujan mengguyur, Aryadi terpeleset di jalan penuh batu. Darah mengucur di tulang kering. Sejak itu, dia tidak lagi berjualan tape. Sembari menjadi petani, ia merintis usaha dengan berjualan papan kayu. Teman sekampung Aryadi yang mengajak memulai bisnis itu. Tiga kambing milik orang tuanya dilego sebagai modal awal.

Pada awalnya Aryadi belum memproduksi kayu sendiri. Ia membeli kayu dari penduduk di Wonosobo dan sekitarnya. Karena permintaan semakin banyak, Aryadi berpikir memiliki pabrik penggergajian sendiri. Ia kemudian membeli lahan di Kecamatan Sapuran seluas 1,7 hektare. Ini kompleks pabrik pertama di dekat rumahnya.

Karena permintaan dari Cina semakin meningkat, jumlah pabrik ditambah. Sebagai modal, Aryadi meminjam uang dari bank. Kini ia mencicil bunga dan angsuran sebesar Rp 2,5 miliar setiap bulan.

Aryadi pernah jatuh saat ditipu mitra bisnisnya dari Surabaya pada 1981. Waktu itu ia mengirim kayu kepada pengusaha di Surabaya. Tapi kiriman kayu senilai Rp 25 juta itu ditilap. Aryadi pulang ke Wonosobo dengan tangan kosong.

Kehabisan modal, dia sempat menjadi tukang ojek. Namun ia kembali lagi setelah berjumpa dengan pengepul buah di Kroya. Kebutuhan per hari kayu untuk kotak pengiriman buah sebanyak 2.000 kotak. Ia akhirnya menjadi pemasok di situ. Sejak saat itu, bisnis kayunya melaju.

Permintaan ekspor kayu sengon terus meningkat. Ketua Asosiasi Pengusaha Kayu Gergajian dan Kayu Olahan Indonesia Sawmill se-Jawa ini mengaku hanya mampu mengirim 300 kontainer kayu olahan ke Cina setiap bulan. Padahal pesanan Negeri Tirai Bambu mencapai 1.000 kontainer.

Bisnis sengon menjanjikan. Namun Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan ekspor. Aryadi mencontohkan pabrik sengon di Jawa setiap bulan memasok kayu sengon sebanyak 293 ribu kubik atau 5.000 kontainer sengon olahan. Kayu sengon sebanyak itu tumbuh di 219 ribu hektare lahan rakyat di seluruh Jawa. Padahal, menurut Aryadi, industri kayu masih perlu pasokan sengon sejumlah 439 ribu meter kubik per bulan.

Kepala Laboratorium Kimia, Serat, Pulp, dan Kertas Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sri Nugroho Marsoem, juga menyebut jumlah produksi kayu di Indonesia rendah. Ini terjadi karena kemampuan hutan alam menghasilkan tanaman menurun. Pada 1990-an, produksi kayu mencapai 10 juta meter kubik. Kini kayu dari hutan hanya mampu memproduksi 3 juta meter kubik kayu lapis. "Sengon menambal kekurangan itu," katanya.

Sunudyantoro, Shinta Maharani (Wonosobo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus