Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KINI dia lebih suka mengurung diri di gubuk reot yang tersuruk di kawasan Kauman, Kota Metro, Lampung. Kalau sempat ke luar rumah, dara 16 tahun itu selalu menundukkan kepala seolah hendak menyembunyikan parasnya yang manis. Di matanya dunia tampak gelap. ”Saya jijik!” jeritnya setiap kali.
Dialah Bunga—sebut saja namanya begitu—yang sebelumnya dikenal sebagai gadis periang dan supel. Saat menjadi penjaga sebuah kios telepon seluler di Kota Metro, dia pun amat ramah kepada para pelanggan.
Keramahan itulah yang dimanfaatkan Brigadir Dua Wesli Danofa, seorang anggota Polres Metro, yang mampir ke kiosnya pada 11 Mei silam. Wesli bukan hanya membeli pulsa, tapi juga merayunya. Bunga pun kepincut dengan tutur kata lemah lembut Pak Polisi. Tiga hari kemudian, lelaki 24 tahun ini datang lagi dan menawarkan jasa mengantar pulang Bunga.
Pak Polisi menjemput Bunga dengan mobil jip hijaunya. Kebetulan, malam itu ada show penyanyi dangdut Cici Paramida di Stadion Tejosari. Pasangan ini pun singgah menonton. Dalam keremangan lampu acara dangdut inilah tangan Wesli mulai usil. Bunga lalu meminta diantar pulang segera, namun Wesli malah membentaknya. ”Entar, ini kan masih sore. Kayak anak kecil saja,” katanya. Karena takut, Bunga terdiam.
Bunga juga tak kuasa menolak ketika dia akhirnya dibawa ke tempat kos Wesli. Perangai Pak Polisi yang semula lembut berubah jadi kasar. Dia bahkan memerkosanya. ”Saya sudah berusaha berontak, tapi dia terus memaksa. Saya juga takut karena dia polisi. Saya menangis,” tutur Bunga. Esoknya, barulah dia bisa pulang.
Dua hari kemudian, Wesli kembali menjemput Bunga. Kejadian serupa terulang lagi. Bahkan, menurut Bunga, kali ini Wesli merekamnya dengan kamera telepon genggamnya. Hasil rekaman ini menjadi senjata Wesli untuk mengancam Bunga. Perempuan yang hanya mengenyam pendidikan kelas dua SMP itu menjadi bulan-bulanan nafsu Wesli.
Hasil rekaman video itu belakangan beredar ke tangan rekan-rekan Wesli yang juga sesama polisi. Mula-mula, Wesli membawa Bunga ke polisi bernama Anes. Senjata rekaman video itu membuat Anes bisa menikmati tubuh Bunga. Lalu, dari Anes, ia beralih ke Basrin.
Bahkan Dedy, seorang polisi yang semula dikenal baik oleh Bunga, belakangan mulai minta dilayani. ”Kamu kok menolak sama saya, tapi Wesli kamu ladeni. Kalau kamu masih menolak, saya sebarkan,” kata Bunga menuturkan ancaman Dedy. Bunga tak kuasa menolak. Ternyata Dedy juga berbagi Bunga dengan temannya, yaitu Dwigus, anggota Polres Lampung Tengah. Menurut Bunga, setidaknya ada 14 polisi yang telah dilayaninya. ”Semuanya terpaksa saya lakukan,” katanya.
Wesli sendiri makin beringas. Menurut Bunga, setiap ada kesempatan dia terus minta dilayani. Dia ingat, Wesli pernah meminta uang padanya. Jika tak punya, dia diharuskan melayani seorang petugas pajak dengan imbalan Rp 1 juta. Kali ini Bunga bisa menolaknya.
Haryanto, ayah Bunga, sebenarnya sudah melihat keanehan anaknya yang sering pulang pagi. Apalagi Bunga kemudian tak bekerja lagi. Sang ayah pun pernah mencari Bunga ketika ia tak pulang pada 5 Agustus lalu. Setelah keliling ke sana kemari, Haryanto menemukan Bunga di rumah salah seorang temannya.
Melihat ayahnya datang, Bunga tak kuasa menahan tangis. Dia lalu menceritakan semua persoalannya. Hari itu juga Bunga dibawa ke bidan Siti Marhamah. Menurut bidan, Bunga memang disetubuhi secara paksa. Selanjutnya, Haryanto memberanikan diri mencari Wesli. Ketika bertemu, Wesli malah menantang untuk membuktikan tuduhan itu.
Kasus itu mulai terkuak setelah Haryanto melaporkannya ke Polres Metro pada 12 Agustus lalu. Sepuluh hari kemudian, Bunga diperiksa. Menurut Haryanto, anaknya diperiksa polisi pria di ruangan terbuka. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan juga melecehkan korban, misalnya polisi pemeriksa bertanya, ”Bagaimana rasanya diperkosa, perih atau enak?” Bunga menjawab, ”Perih, Pak.” Tapi di berita acara pemeriksaan ditulis jawaban Bunga ”Perih-perih enak”.
Tak tahan dengan perlakuan seperti itu, Haryanto kemudian meminta bantuan hukum kepada Kantor Pengacara Advokasi Transparansi Masyarakat yang dipimpin oleh Darsono pada 25 Agustus lalu. Setelah itu barulah pemeriksaan Bunga berjalan normal. Dia diperiksa oleh polisi wanita. Kini kasus ini telah bergulir ke Kejaksaan Negeri Lampung.
Tim kuasa hukum dan keluarga korban sudah bertemu dengan Kepala Kejaksaan Negeri Metro, Leonard Simanjuntak. Mereka juga sudah bertemu dengan Kepala Polres Metro, Ajun Komisaris Besar Polisi Rahmad Fudail. Dalam dua pertemuan itu, inti pembicaraannya adalah penegakan hukum.
Hanya, Rahmad Fudail tak berkomentar banyak soal perilaku anak buahnya. ”Saya sudah memproses mereka. Sejak kasus ini dilaporkan, mereka sudah saya tahan, dan tak ada upaya untuk memendam kasus ini,” katanya. Rahmad tak mengizinkan Tempo untuk bertemu dengan para tersangka. ”Ini hak saya melarang orang lain bertemu dengan anggota saya,” katanya dengan nada tinggi.
Kini Haryanto terus berjuang agar hukum bisa ditegakkan. Lelaki separuh baya ini bahkan telah berhenti berjualan sate dan sop di Kota Metro. Dia berkonsentrasi mengurus anaknya yang sedang mencari keadilan. Istrinya, Patmawati, juga meninggalkan usahanya berdagang nasi demi menemani suami dan putrinya. ”Kami bisa makan atas bantuan anak tertua saya, yang seorang kernet mobil,” kata Haryanto.
Kendati dalam kesusahan, Haryanto tetap tegar. Dia menolak tawaran damai dari keluarga para tersangka. ”Mereka memang minta damai, tapi saya tolak,” katanya. Menurut Haryanto, berapa pun uang yang diberikan tak mampu mengembalikan masa remaja putrinya yang telah hancur. Dia tak melihat lagi tawa di wajah Bunga. ”Semua teman dan tetangga saya tahu. Saya malu,” kata Bunga setiap kali.
Nurlis E. Meuko dan Fadilasari (Lampung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo