Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dua Matahari atau Dua Sejoli?

Peran aktif Jusuf Kalla sebagai wakil presiden dipertanyakan. Presiden Yudhoyono mengaku semua kegiatan Kalla atas perintahnya.

13 Oktober 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Headline 0835

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari sebuah kamar di lantai 33 Hotel Millennium Plaza, New York, pertengahan September lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuat sejarah baru bagi pemerintahannya. Di tengah kesibukannya menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Amerika Serikat, SBY masih sempat memimpin rapat kabinet. Melalui telekonferensi, ia berbicara dengan para menterinya di Jakarta, begitu pula sebaliknya.

Inilah rapat jarak jauh pertama dalam sejarah kepresidenan. Rapat berongkos setengah miliar rupiah itu digelar saban hari selama sepekan. Rapat dimulai pukul sepuluh pagi waktu Indonesia, alias sepuluh malam waktu New York, dengan peserta dan topik yang berganti setiap hari. Presiden Yudhoyono, yang terpaksa tidur larut malam setiap hari karena acara ini, tampak lelah di layar TV.

Namun, alih-alih mendapat pujian atas kerja keras dan kepeduliannya itu, upaya Presiden memantau keadaan dalam negeri itu justru menuai kritik dan tuduhan. Lawan politik SBY menuding kegiatan ini sebagai bukti Presiden tak lagi mempercayai Wakil Presiden Jusuf Kalla. Padahal, menurut para penuding itu, sebelum bertolak ke luar negeri, SBY sudah meneken surat resmi yang menugasi Wakil Presiden menjalankan tugas sehari-hari pemerintahan selama Presiden di luar negeri. Tugas sehari-hari yang dimaksud Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 2005 itu antara lain dalam memimpin rapat kabinet.

Kenyataan bahwa Jusuf Kalla sering absen dari telekonferensi juga dijadikan sebagai amunisi tambahan oleh para kritikus. Kalla memang hanya datang sekali, pada hari pertama rapat jarak jauh itu. Selebihnya, ia memilih mangkir untuk menghadiri acara lain. Ia datang ke acara balita di kantor DPP Golkar dan menggelar rapat lain dengan sejumlah menteri di kantornya.

Serangan politik itu ternyata tak sebatas pernyataan di media massa. Upaya menggelar interpelasi dilancarkan sejumlah anggota DPR. Uniknya, para pengusul tak cuma dari partai yang didapuk sebagai lawan pemerintah, tapi juga dari kalangan yang dikenal dekat dengan Kalla. Akibatnya, dugaan telah terjadi keretakan hubungan antara Presiden Yudhoyono dan wakilnya semakin kencang bertiup.

Kalla langsung membantah dugaan itu. ”Kan Presiden hanya ingin tahu info terakhir dari menteri-menteri. Jadi saya tak perlu hadir terus,” katanya. SBY pun senada. Katanya, ketidakhadiran Kalla dalam rapat sesuatu yang biasa. Dari beragam rapat yang digelar Presiden, tak semua wajib dihadiri Wakil Presiden.

Bantahan itu ternyata tak mampu meredam isu yang berkembang, terutama karena berbagai pemberitaan tentang perbedaan sikap keduanya dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi pemerintah. Contoh paling gres adalah pertentangan di seputar beleid kenaikan harga BBM. Kalla ingin kenaikan harga BBM sesegera mungkin demi menyelamatkan anggaran. Besarannya 50-80 persen. Bahkan, demi mengamankan kebijakan itu, Kalla bergerak cepat menyosialisasikan kebijakan itu. Ia aktif menemui dan berbicara di media serta rajin menyatroni para politisi parlemen serta tokoh-tokoh publik lainnya. Ia menggalang dukungan terhadap kebijakan pemangkasan subsidi BBM itu secepatnya.

Sementara itu, SBY justru terkesan memilih mengulur waktu dengan alasan baru akan menaikkan harga BBM jika penyaluran dana kompensasi selesai. Ia mempertimbangkan waktu kenaikan dan analisis intelijen yang memperkirakan terjadinya efek sosial luar biasa jika kenaikan BBM lebih dari 50 persen. Singkat kata, Presiden mengesankan hanya akan memberlakukan kenaikan pada Januari tahun depan.

Jika kemudian sikap Presiden berubah, agaknya tak lepas dari peran Kalla. Seorang sumber yang dikenal dekat dengan SBY mengisahkan bahwa beberapa menit sebelum rapat kabinet terbatas yang membahas kenaikan itu, Kalla habis-habisan berdebat dengan SBY tentang aman tidaknya keputusan tersebut, termasuk efek sosialnya. Dan Kalla akhirnya berhasil meyakinkan SBY bahwa kebijakannya itu aman di DPR, juga aman di luar Istana.

Perdebatan sengit di seputar beleid BBM ini juga menyeruatkan ketidaksepahaman SBY dengan tim ekonomi kabinet, termasuk Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie. Selisih pendapat tentang kenaikan harga BBM ini kemudian berkembang menjadi isu kemungkinan pergantian kabinet setelah Menteri Perekonomian tak lagi dilibatkan dalam rapat membahas paket kebijakan pemerintah, 30 Agustus lalu. Ia juga tak terlihat dalam pengumuman paket kebijakan itu. Padahal, sebelumnya Ical masih hadir dalam rapat khusus soal rupiah.

Perbedaan pendapat Presiden dengan tim ekonomi itu semakin kasat mata ketika tiba-tiba Presiden berkunjung ke Bank Indonesia pada akhir Agustus lalu. Tak satu pun anggota tim ekonomi kabinet ikut. SBY hanya didampingi Kapolri Jenderal Sutanto dan Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi. Kunjungan itu membahas soal terpuruknya rupiah dan kemungkinan peran para spekulator valuta asing di dalamnya.

Saat itu Kalla sedang melawat ke Cina, bertemu sejumlah pengusaha. Harusnya kunjungan diteruskan ke Jepang, namun telepon Presiden memaksa Kalla balik kanan. Sampai di Jakarta, SBY menyampaikan niatnya mengambil alih urusan ekonomi yang selama ini dipegang JK dan merombak tim ekonomi demi mengatrol nilai rupiah. Namun Kalla emoh. ”Mau sepuluh ganti menteri, tak ada gunanya. Rupiah terkait dengan faktor eksternal. Kalau mau diperbaiki, ya harus menaikkan harga BBM,” kata Kalla seperti ditirukan sumber Tempo di Istana. Apalagi, sesuai dengan janji, Presiden baru akan mengevaluasi kabinetnya setelah 20 Oktober.

Sudah jadi rahasia umum, Aburizal menjadi menteri Kabinet Indonesia Bersatu setelah diperjuangkan di menit-menit terakhir oleh Jusuf Kalla. Nama lain yang keluar dari kantong Kalla adalah Hamid Awaludin, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dominasi Kalla sudah tampak sejak penyusunan kabinet setahun silam. Dari sini, muncul anggapan, keduanya bersaing memasukkan sejumlah orang dekatnya di jajaran kabinet.

Keberanian Kalla mendebat Presiden ini tak lepas dari kesepakatan yang dibuat dua petinggi itu pada awal mereka memutuskan berduet bersama. Kalla bersedia menjadi pendamping SBY asal tidak seperti dulu, sekadar jabatan wakil presiden yang terkesan hanya berfungsi sebagai ”ban serep” atau ”tukang gunting pita”. Apalagi wakil presiden sekarang beda dengan yang lalu. ”Sama-sama berkeringat mencari dukungan. Jadi sama-sama stake holder juga,” kata Aksa Mahmud, ipar Kalla.

Kesepakatan pun sempat dibuat. Politik makro, pertahanan dan keamanan, serta luar negeri menjadi urusan presiden. Sektor riil, usaha mikro, pengawasan, kesejahteraan jadi urusan wakil presiden. Hal itu tercantum di selembar dokumen perjanjian bersegel dan diteken kedua belah pihak. Seorang doktor ekonomi dari Universitas Indonesia yang juga pengurus Partai Demokrat menjadi saksi bagaimana kontrak politik itu dibuat.

Kepada Tempo, Januari silam, SBY membantah keberadaan kontrak pembagian tugas itu. ”Saya juga heran, dari mana datangnya isu itu,” kata mantan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan ini. Lucunya, JK justru mengamini perjanjian itu. ”Tapi itu masa lalu. Setiap pasangan juga akan melakukan hal seperti itu,” ujarnya.

Terlepas dari ada atau tidaknya kontrak tertulis itu, perbedaan gaya dan karakter sang jenderal dan sang saudagar ini sudah disadari sejak awal. Pada tahun pertama masa jabatan mereka, perbedaan itu dicoba disandingkan. Sebuah aturan main disepakati menjadi rujukan. SBY terfokus pada soal strategi dan visi, JK mengurusi urusan teknis. Ibarat perusahaan, SBY adalah chairman, Kalla chief executive officer (CEO). Ibaratnya tentara, SBY adalah panglimanya, dan JK adalah kepala staf gabungan. ”Kombinasi ini menurut saya sudah bagus,” kata Kalla.

Kalla yang pragmatis, kaya ide, inovatif, superaktif, memang cocok mendampingi SBY yang dikenal sebagai jenderal yang sangat hati-hati dan banyak pertimbangan. Energi Kalla yang superaktif ini jelas dibutuhkan SBY dalam menangani berbagai hal secara cepat.

Bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara adalah satu contoh bagaimana Kalla bergerak supercepat. Beberapa jam setelah musibah terjadi, Kalla mendapat telepon dari SBY yang sedang berada di Nabire, yang menugasinya melakukan tindakan penanggulangan. Begitu telepon selesai, Kalla langsung mengumpulkan para menteri dan menggerakkan mereka. Bersama mereka, ia pun terbang ke Banda Aceh, meninjau lokasi. Ia juga langsung meneken keputusan tentang pembentukan tim nasional penanggulangan bencana gempa dan tsunami.

Belakangan, SK itu jadi soal karena SK Wapres tak dikenal dalam kamus tata negara. Isu rivalitas antara SBY dan JK pun merebak. Tapi JK menanggapinya dengan enteng. ”Tsunami Aceh itu kasus darurat, maka prosedurnya juga darurat. Lagian, itu cuma setrip, toh mudah dibenerin.”

Kalla memang dikenal tahan kritik. Ia berinisiatif mengulangi suksesnya di Malino dengan merintis berbagai upaya perdamaian untuk Aceh. Sejumlah menteri ditunjuk menjadi juru runding, sejumlah tawaran dibentang. Kendati awalnya ia terbentur beberapa jalan buntu, semangat pantang menyerahnya berujung sukses. Hasilnya, pada pertengahan Agustus lalu di Helsinki, GAM dan pemerintah Indonesia meneken kesepakatan damai.

Kalla tak hanya bergerak aktif mendekati tokoh pemberontak bersenjata seperti GAM. Ia juga rajin melobi tokoh-tokoh yang kritis terhadap kebijakan pemerintah. Dari para purnawirawan jenderal, mantan wakil presiden, hingga aktivis mahasiswa pun didekati Kalla. Wajar jika SBY, kata orang dekatnya, sering berkonsultasi dengan Kalla jika mendapat tekanan dari lawan politiknya. Pada saat demo-demo anti-kenaikan BBM marak digelar di sekujur negeri, orang yang pertama ditelepon sang Presiden adalah Kalla, wakilnya. Baru setelah itu giliran Kapolri dan Kepala BIN.

Kalla memang terbukti piawai dalam menyiasati lawan politik pemerintah. Ketika Partai Golkar membentuk Koalisi Kebangsaan bersama PDIP dan PKB untuk melawan pemerintah, Kalla menerjunkan tim untuk menggarap Golkar, dan ia tak hanya berhasil menjatuhkan kepemimpinan Akbar Tandjung, malah sekalian terpilih menjadi Ketua Umum Partai Golkar, Desember tahun silam. Sukses itu membuat banyak pengamat menilai, Kalla tengah meretas jalan menuju kursi kepresidenan tahun 2009. Mantan Ketua MPR Amien Rais termasuk dalam kelompok ini. Ia berpendapat bahwa kemenangan Kalla itu adalah ”blunder” politik pemerintahan SBY-JK. ”Dalam konstitusi, wakil adalah wakil. Tapi, dengan merangkap jabatan di Golkar, posisi bargaining Kalla menjadi besar,” kata Amien.

Seorang politisi senior pendukung rezim SBY-JK bercerita, sejatinya SBY sudah berusaha mengerem laju langkah Kalla di Golkar. SBY mengingatkan JK, apakah ia bisa membagi waktu sebagai wakil presiden dan menjadi ketua umum partai. Namun secara diplomatis, saudagar asal Watampone itu bersilat lidah. ”Lebih baik sekarang kehilangan waktu ketimbang kita terus direpotkan mereka,” ujarnya. Maksud Kalla, agar langkah politiknya di partai itu semata-mata demi mengeliminasi kekuatan antipemerintah di parlemen. Gagal membendung JK, di putaran terakhir sejumlah pendukung SBY melakukan pendekatan kepada Akbar dan Wiranto, namun manuver itu sudah terlambat. Kalla tetap tak terbendung.

Semakin kuatnya posisi politik Kalla memang tak ubahnya bagai pedang bermata dua bagi SBY. Di satu sisi, Kalla bisa mengisi titik lemah SBY, terutama urusan teknis pemerintahan dan dalam mengontrol parlemen. Namun moncernya peran Kalla juga bisa menciptakan dualisme kepemimpinan. Belum lagi genap setahun, munculnya fenomena ”matahari kembar” yang dikhawatirkan Amien tak bisa lagi disangkal.

Urusan matahari kembar ini bahkan dikabarkan membuat gerah mantan presiden Soeharto. Kepada karib SBY, mantan penguasa Orde Baru itu mengirimkan pesan bagaimana seharusnya seorang presiden mengendalikan dan mempertahankan kekuasaan. Selain memikirkan kemiskinan rakyat, seorang presiden juga pantang membagi kekuasaannya. Soehardjo, mantan Dirjen Bea Cukai yang juga ipar Soeharto ini, membenarkan pesan itu. ”Sudah disampaikan, September lalu,” katanya.

Ryaas Rasyid mempunyai kecemasan yang sama kendati ia juga mengapresiasi peran Kalla yang positif setahun terakhir ini. Menurut dia, dengan gaya kepemimpinan SBY yang dinilainya terlalu lamban mengambil keputusan, jika Kalla tak berperan aktif, boleh jadi kondisinya akan jauh lebih parah. ”Kalla telah menyelamatkan sebagian dari potensi kekisruhan dalam pemerintahan. Itu juga harus dilihat,” ujarnya. Karena itu, menurut Ryaas, ada atau tidaknya reshuffle yang diributkan belakangan ini tidak akan menyelesaikan masalah kinerja pemerintah. Yang terpenting adalah keberanian SBY-JK mengubah gaya kepemimpinan dan meluruskan lagi komitmen di antara keduanya. ”Mereka harus akur dulu. Masalahnya, SBY berani tidak mengatakan, ini sudah melanggar otoritas,” ujarnya.

Baik SBY maupun JK menampik dugaan persaingan di antara keduanya. Menurut Kalla, tak ada yang berubah dalam hubungan mereka dalam setahun ini. Mereka masih telepon-teleponan, seperti minum obat, bisa tiga kali sehari. ”Semua atas keinginan Presiden,” ujarnya. Yudhoyono pun demikian. ”Semua yang Pak Kalla lakukan, atas perintah saya. Jika tidak, itu adalah inisiatif yang dikonsultasikan kepada saya,” kata Yudhoyono. Kalla bahkan juga menyatakan tak mempermasalahkan jika keputusannya dikoreksi Presiden. ”Karena keputusan terakhir memang di tangan Presiden,” katanya santai.

Soal ambisi 2009, Kalla juga meminta bosnya tak perlu khawatir. Selain tak terpikir, Kalla mengaku sadar diri. Selain umur sudah tua, tipis kemungkinan seorang Bugis menjadi presiden dengan pasar terbesar pemilih berada di Jawa. Kalau toh ada, itu adalah kecelakaan seperti dialami B.J. Habibie. ”Di Amerika Serikat saja butuh 200 tahun bagi orang Selatan menjadi presiden. Jadi saya juga harus tahu diri,” ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus