Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH Susilo Bambang Yudhoyono tidak habis-habisnya dirundung persoalan. Setelah tsunami, muncul pula kecelakaan-kecelakaan (pesawat terbang, kereta api, dan lain-lain). Sementara itu, harga minyak dunia melangit, justru pada saat-saat Indonesia telah menjadi net importer minyak sejak 2004, padahal migas sebelumnya pernah menyumbang sampai dua pertiga dari anggaran belanja negara.
Khusus mengenai krisis BBM, banyak pengamat mendukung kenaikan harga BBM demi untuk menyelamatkan Negara, walaupun dengan nuansa yang berbeda-beda. Pemerintah memang bermaksud membantu rakyat kecil dengan memberikan dana bantuan/kompensasi kontan secara cuma-cuma kepada jutaan keluarga yang memenuhi syarat. Suatu keputusan dan usaha monumental.
Saya pribadi mulanya memperkirakan bantuan tersebut tidak akan diberikan secara kontan setiap bulan, melainkan dalam bentuk bantuan pinjaman permodalan melalui bank-bank syariah atau badan-badan nirlaba lainnya dengan syarat-syarat sangat ringan, kalau perlu tanpa bunga dan tanpa agunan, sehingga dapat mengembangkan usaha-usaha kecil.
Mahkamah Konstitusi (MK) kini telah ”terseret” pula ke dalam persoalan BBM. Ketua MK mengirim surat kepada Presiden, mempertanyakan mengapa Presiden mengacu kepada UU Nomor 22/2001 tentang Migas, bukan pada revisi/judicial review MK atas UU tersebut tertanggal 21 Desember 2004. Kelihatannya MK tidak mempersoalkan substansi kenaikan harga BBM itu sendiri serta alasan pemerintah melakukannya. Karena putusan MK tanggal 21 Desember 2004 tidak di jadikan acuan oleh pemerintah, maka barangkali saja Ketua MK merasa tersinggung atau merasa hasil kerjanya dilecehkan.
Barangkali yang lebih cenderung menjadi persoalan adalah seberapa jauhkah peranan MK dalam mengurus negara dan kaitannya dengan lembaga-lembaga negara lainnya. Lebih serius lagi kalau-kalau ucapan MK bisa memicu pertengkaran-pertengkaran baru di dalam negara yang dapat mendorong konflik-konflik politik baru. Saya sungguh kaget membaca di koran ada anggota-anggota DPR yang mulai mengatakan bahwa surat MK tersebut ”bisa menjadi pintu masuk untuk proses impeachment kepada Presiden” (Kompas, 11 Oktober 2005).
Saya pribadi selaku anggota Komisi Konstitusi (KK) (2003-2004) berkali-kali mempersoalkan perumusan fungsi dan kewenangan MK. Seperti di ketahui, Pasal 24 C UUD mengenai MK mengatakan (1): ”MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. (2) MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden/wakil presiden menurut UUD.”
Perumusan di atas sejak semula menimbulkan banyak pertanyaan, khususnya mengenai proses impeachment yang jelas sangat kental kandungan politiknya.
Pasal 45 (7) UU Nomor 24/2003 tentang MK memungkinkan pengambilan keputusan melalui voting, yang berarti bahwa nasib negara, khususnya presiden/wakil presiden yang dipilih secara langsung oleh jutaan rakyat Indonesia, dapat tergantung di tangan beberapa orang anggota MK yang tidak dipilih oleh rakyat, tetapi dinominasikan oleh DPR (3 Orang), Mahkamah Agung (3 orang), dan oleh Presiden (3 orang). Saya mengkhawatirkan bahwa dalam hal yang demikian MK bisa terlibat kepentingan politik yang berbeda-beda.
Di samping itu, sangat besar kemungkinan terjadi pertentangan antara MK dan lembaga-lembaga negara lainnya karena kewenangannya untuk ”memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD adalah MPR, pemerintah/presiden, DPR, Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Dewan Perwakilan Daerah, BPK, dan MK sendiri.
Dengan demikian dapat terjadi bahwa dalam perselisihan kewenangan antara MK dan lembaga-lembaga negara lainnya, MK sekaligus bisa menjadi pihak yang berselisih dan menjadi hakimnya sendiri. MK akan menjadi lembaga negara yang paling berkuasa, melebihi kekuasaan presiden dan MPR/DPR yang dipilih oleh rakyat.
Situasi di atas bukanlah suatu hal yang mustahil, termasuk dalam kasus kemungkinan impeachment terhadap presiden. Menurut Pasal 7A UUD, DPR dapat mengusulkan pemberhentian presiden/wakil presiden (impeachment) oleh MPR ”apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau wakil presiden”.
Semua kriteria itu sarat dengan muatan politik dan kemungkinan perselisihan interpretasi. Memang, usul pemberhentian presiden/wakil presiden oleh DPR harus terlebih dahulu diajukan kepada MK yang akan ”memeriksa, mengadili, dan memutus” usul DPR tersebut (Pasal 7B (1)).
Andaikata, MK memutuskan bahwa presiden/wakil presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum yang dituduhkan, maka DPR meneruskan usul tersebut kepada MPR. MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lambat 30 hari sejak MPR menerimanya.
Pasal ini memuat berbagai-bagai bom waktu: bagaimana kalau usul pemberhentian oleh DPR dinyatakan tidak terbukti oleh MK. Dalam hal demikian MK dapat dianggap lebih tinggi dari DPR yang notabene dipilih oleh rakyat melalui partai-partai politik.
Andaikata MK memutuskan bahwa presiden/wakil presiden terbukti bersalah, dan kemudian DPR meneruskan usul pemberhentian kepada MPR, tetapi karena satu dan lain hal—mungkin karena peranan DPD, atau karena pertimbangan politik atau kelanjutan pemerintahan—MPR tidak bersedia memberhentikan presiden. Walaupun putusan MK bersifat final, MPR mungkin saja mengartikan ”final” belum tentu berarti ”mengikat”. Maka, terjadilah krisis empat arah antara DPR dan MK di satu pihak dan MPR dan pemerintah di pihak lain.
Kemungkinan konflik bisa juga terjadi antara MK dan MA dalam persoalan BBM. Seperti diketahui, kenaikan BBM ditetapkan oleh Perpres Nomor 55/2005 yang mengacu kepada UU Nomor 22/2001. Menurut UUD (Pasal 24A), yang berwenang ”menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang” adalah MA, bukan MK.
Ketua MK memang ”cerdik”, karena beliau tidak melakukan ”ujian” terhadap Perpres Nomor 55/2005, tetapi hanya mempertanyakannya. Walaupun demikian, bisa terjadi konflik antara MA dan MK apabila MA memutuskan bahwa Perpres Nomor 22/55 tidak bertentangan dengan UU Nomor 22/2001, termasuk dengan revisi MK terhadap beberapa pasal dalam UU 22/2001 tersebut. Dengan memperhatikan Pasal 24C ayat 1 UUD 45, maka MK mungkin berwenang memutuskan kemungkinan perselisihannya dengan MA. Lagi-lagi, MK dalam hal ini dapat berada pada posisi yang dominan.
Akhirnya, surat MK kepada pemerintah, walaupun kelihatannya sangat innocent, memang dapat mengandung benih-benih ke arah krisis politik dan konstitusional baru di Indonesia. Mudah-mudahan hal tersebut tidak terjadi dan semoga pemimpin-pemimpin politik di Indonesia tidak tergoda untuk bermain-main dengan api.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo