Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Tumpuk Memotong Bayi

Warga Desa Dawuhan, Wonosobo, membunuh bayinya sendiri dari nisem, 40, yang baru sebulan dinikahinya. Bayi dipotong dua.

26 Juli 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAGI itu Saminem menjerit keras ketika hendak mengambil air sumur di samping rumahnya. Ia menemukan bungkusan merah-putih berbau anyir di dekat sumur. Bungkusan itu terbuka dan ternyata berisi potongan tubuh kecil sebatas perut ke bawah, berlumuran darah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Warga pedukuhan Kalielang, Desa Dawuhan, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, kemudian menjadi gempar. Itu jelas separuh tubuh bayi, tetapi di mana bagian atasnya, dan anak siapa? Yang paling terkejut adalah Tumpuk alias Tupan, 25, tatkala melihat kerumunan orang sedang menggunjingkan sepotong bayi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kendati Tumpuk mencoba melenggang seenaknya dari sawah, supaya tenang, tak urung raut mukanya tampak tegang. "Saya sudah membatin, itu bayi potongan anak saya," tuturnya kepada Tempo. Entah setan mana yang merasuki Tumpuk, anak muda buruh tani itu, di waktu subuh Rabu pertengahan Juni lalu.

Saat itu istrinya, Nisem namanya, melahirkan tanpa bidan atau dukun beranak. Tumpuklah yang menyaksikan proses kelahiran bayi itu. Begitu bayi perempuan itu lahir, Tumpuk mengangkatnya ke atas tungku pemanas ruangan, dekat kandang kambing. Setelah mendapatkan pisau dapur, ia menggolekkan anak itu di atas tanah dekat tungku itu, dan ... kreek ....

Tumpuk memotong melintang perut anaknya sendiri sampai terbelah menjadi dua. Nisem masih lemah saat itu, dan hanya bisa pasrah saja melihat ulah suaminya. Sementara itu, Tumpuk secepatnya membungkus potongan mayat anaknya dengan bendera merah-putih, kain yang paling mudah dan cepat bisa diambilnya.

Mayat itu ia kuburkan di sudut sebelah dalam rumahnya. "Saat itu, tiba-tiba saja saya ingin membunuh bayi itu. Saya merasa malu kepada orang kampung, karena baru menikah sebulan kok sudah punya anak," tuturnya. Perkawinan itu, menurut pengakuan Tumpuk, dipaksakan oleh Hansip Desa Dawuhan setelah memergoki Tumpuk dan Nisem sedang menikmati acara kumpul kebo. Padahal, Tumpuk sendiri sebenarnya tak punya niat untuk menikahi Nisem, janda beranak dua yang menggelora di usia puber kedua itu. "Tapi entah mengapa, saya lengket terus dengan Mbak Nisem," ujar Tumpuk.

Bagi Nisem, meskipun kedua anak gadisnya tidak sepakat, Tumpuk adalah lelaki pilihannya: pemalu dan pendiam. Dalam usia 15 tahun lebih tua dari Tumpuk, toh, dia bisa menundukkannya. Apalagi, hawa dingin di perkampungan dekat Dieng itu menunjang, sehingga mempercepat eratnya hubungan mereka -- terutama di waktu malam. Kini Nisem amat malu.

Ketika ia mendengar ribut-ribut soal potongan bayi itu, ia sedang mencuci di sungai. Sebagaimana suaminya, ia pun merasa, yang diributkan tentulah bayinya. Ia tak berani pulang ke rumah. Dari sungai Nisem pulang ke rumah kakaknya di seberang. "Saya selalu ketakutan, terbayang terus anak saya," katanya di sela isak tangisnya. "Saya benar-benar tobat," keluhnya ketika dihubungi Tempo.

Anehnya, mengapa mayat bayi itu bisa berada di pekarangan Saminem, yang berjarak 100 meter dari tempat tinggal Tumpuk? Menurut Wakil Kapolres Wonosobo, Bambang Eko Tjahjono, mayat bayi itu mungkin digonggong anjing, karena Tumpuk menguburkannya hanya sedalam 30 cm.

Tapi Kapolres ini tak bisa menjawab di mana kira-kira potongan atas tubuh bayi itu, yang ternyata tidak ada bersama potongan bagian bawah di dalam bungkusan kain bendera merah-putih. Karena itu, ia menugasi satuan Polres Wonosobo untuk melacak kepala, tangan, dan dada bayi yang raib. Sementara bapak si jabang bayi menunggu untuk diadili.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Artikel ini ditulis Suhardjo H.S dengan bahan dari Aries Margono dari Biro Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus