Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Dendam penjual bubur

Nunung windarsih, 4, ditemukan tewas di dekat asrama palad cakung, jak-tim. pelakunya, weni, 15, famili korban. weni kesal karena ulahnya, menuangkan minyak tanah ke bubur poniyem, dibocorkan korban. (krim)

26 Juli 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WENI, apa sebenarnya yang telah kau lakukan? Tak ada yang curiga ketika sore itu Weni mengajak pergi Nunung Windarsih. Lha yang mengajak 'kan Weni (bukan nama asli), familinya sendiri yang juga tinggal serumah. Tapi, itulah terakhir kali Nunung, gadis cilik empat setengah tahun, terlihat dalam keadaan hidup. Tujuh puluh hari kemudian, gadis cilik yang lincah, manja, dan periang itu ditemukan sudah tak bernyawa. Tubuhnya membusuk, nyaris hancur, terendam dalam got berlumpur di belakang asrama Palad TNI-AD Cakung, Jakarta Timur. Atau beberapa kilometer dari rumahnya di Kelurahan Cakung. Polisi yang menyidik memastikan bahwa anak bungsu dari Tarno Murmotijo, 47, itu mati dibunuh. Yang dituduh melakukan, ya, si Weni itu remaja 15 tahun, yang mulai Selasa pekan lalu diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Peristiwanya itu sendiri, kata Jaksa Nyonya P.D. Siregar, terjadi pada 31 Januari lalu, sekitar pukul 19.00. "Kepala Nunung saya benam-benamkan ke dalam got. Habis saya dibikin malu," ujar Weni kepada TEMPO. Nada suaranya datar, tanpa rasa sesal. Sulit membayangkan Weni, yang bertubuh pendek, sedikit gemuk dan, menurut orang sekitar tempat tinggalnya, sangat pendiam mampu melakukan serentet kekejian. Berdasar visum yang dibuat Dokter Agus Purwadianto dari Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, diketahui bahwa korban memang tak hanya dibenam-benamkan. Ada luka akibat benda tajam di bagian dada dan pergelangan tangan korban. Dijumpai pula ada tali plastik yang melingkari leher dan kepalanya. Sangat mungkin, kepala korban dibenam-benamkan dengan cara menarik-narik tali di lehernya itu. Weni ikut orangtua Nunung sejak empat tahun lampau. Ia asal Solo. Oleh Suginem, ibu kandung korban, Weni tak semata-mata dianggap sebagai pembantu. Anak itu toh masih ada hubungan famili dengannya. Weni itulah yang mengasuh Nunung sejak bayi sampai berusia 2 1/2 tahun. Dan dua tahun lampau, Suginem ingin melihat Weni yang tak tamat SD itu maju. Ia memberi modal Rp 10 ribu, untuk berjualan bubur sumsum di pasar. Dia pikir, Nunung, anak bungsunya sudah besar, hingga Weni tak perlu mengasuhnya lagi. Sementara belajar berdagang, Weni tetap tinggal di rumah itu. Terkadang ia membantu Suginem, yang sehari-hari berjualan jamu di pasar. Atau, kalau tidak, ia menjaga rumah, karena Tarno -- suami Suginem -- sering bepergian ke luar kota, berdagang. "Selama ini dia baik, penurut, tak banyak omong," ujar Suginem, ibu delapan anak. Sampai pada suatu hari. Tepatnya, 30 Januari 1986, atau sehari sebelum Nunung terbunuh, Weni kesal. Bubur sumsumnya kurang laku. Dia pikir, itu tentu karena ada saingan, yaitu Poniyem, yang masih familinya juga. Diam-diam, ke dalam dagangan Poniyem ia tuangkan minyak tanah. Sial. Saat itu Nunung muncul dan anak kecil itu pun mengadukan perbuatan Weni. Akibatnya, bukan hanya Poniyem, tetapi Suginem dan para tetangga di Cakung tahu soal penuangan minyak tanah itu. Itulah, seperti diakui Weni, yang membuatnya malu dan menyimpan dendam. Suginem sendiri, sebenarnya, menganggap itu soal kecil. Ia memang sempat menegur Weni. Namun, setelah itu, persoalan dianggap selesai. Tidak demikian halnya dengan Weni, yang jarang bicara itu. Esok sorenya, lepas magrib, Nunung dia ajak pergi, dan terjadilah peristiwa yang kini diperkarakan itu. Malam itu, sekitar pukul 20.30, setelah mengajak korban, Weni tetap kembali ke rumah orangtua Nunung. Di kampung itu orang memang sedang sibuk mencari Nunung. Sebagai orang yang terlihat terakhir sekali bersama korban, Weni gencar ditanyai. Entah bagaimana, kecurigaan terhadapnya mengendur. Mungkin karena Weni terlihat begitu lugu, hingga orang tak sampai hati menuduhnya bertindak yang bukan-bukan. Weni memang tak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia telah berbuat dosa. Perangainya biasa saja. Tapi dua pekan setelah hilangnya Nunung, ia minta izin kembali ke Solo -- dan dikabulkan. Lewat dua bulan kemudian, tepatnya pada 11 April 1986, mayat Nunung ditemukan seorang pencari ikan. Setelah ada kepastian bahwa ia mati terbunuh, Weni pun dicari. Gadis tanggung ini ditangkap saat berada di rumah familinya di Pacet, Jawa Barat. Weni, apa sebenarnya yang terjadi denganmu?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus