Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Matinya seorang cucu

Anter dan harmonis membenamkan bayi merah anak tan tinar sampai tewas di tepi danau singkarak, sumatra barat. didalangi seorang nenek, hajisah, 57, yang merasa malu karena tak jelas siapa bapaknya. (krim)

26 Juli 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAMPAKNYA ini sebuah perjalanan bahagia. Di tepi Danau Singkarak, Sumatera Barat, sepasang muda-mudi turun dari bis umum yang menuju Kota Solok di suatu sore. Yang laki-laki menggendong bayi, yang wanita melangkah di sampingnya. Mereka menyusuri Desa Ombilin, di pinggir danau itu. Ketika azan magrib berlalu sudah si pemuda turun ke bibir danau. Adakah ia akan memandikan orok di hari yang sudah remang-remang itu? Astaga, laki-laki itu membenamkan bayi yang masih merah itu ke dalam air. Berkali-kali, hingga makhluk tak berdosa itu mati. Ini memang bukan perjalanan bahagia. Ini sebuah tragedi. Dengan tenang, keduanya lalu meninggalkan mayat bayi yang mengambang itu, kemudian mampir di sebuah warung nasi. Namun, sepiring nasi belum habis masuk perut serombongan pemuda dan beberapa polisi masuk ke warung. Mereka menangkap dan membawa kedua muda-mudi itu ke Polsek Kecamatan Rambatan. Di kantor polisi, Anter dan Harmonis -- demikian nama yang ditahan itu -- dengar terus terang mengakui semua perbuatannya. Keduanya memang harus membunuh bayi itu, keponakan mereka sendiri. Sementara jenazah bayi malang itu dikirimkan ke RSUP di Padang untuk diautopsi, Anter dan Harmonis menuturkan pengakuan mereka. Adalah Tantinar, 29, kakak sulung mereka, yang membuat gara-gara. Ibu seorang putri ini ternyata hamil, padahal suaminya sudah tiga tahun merantau ke Bengkulu dan tak pernah pulang. Kenyataan ini membuat ibu mereka, Hajisah, 57, bingung. Kebingungan ibu yang tinggal di Desa Aur, Kecamatan Tilawang Kamang, Kabupaten Agam, ini membuatnya ingat pada satu peristiwa. Yakni, pada suatu siang bolong, di tahun lalu, ia melihat suaminya, Chaidir 60, tertidur pulas sambil memeluk putri sulung mereka. Jangan-jangan .... Chaidir sendiri tak lagi bisa ditanyai. Pensiunan tentara itu telah meninggal di akhir tahun lalu karena serangan asma yang berat. Tapi bila dalam keluarga itu memang dialah satu-satunya lelaki -- Anter, anak laki-laki mereka tidur di tempat kerjanya di PTP III -- mudah sekali orang menduga bayi siapa yang dikandung Tantinar. Demikianlah logika ibu itu. Pikiran janda ini, yang sehari-hari jualan sayur-mayur, makin kalut. Ia tahu, sebagaimana dirinya, masyarakat lingkungannya amat kuat memegang adat dan agama. Maka, sebelum perut Tantinar makin membesar, segera ia diungsikan ke rumah salah seorang kenalannya di Padang. Namun, ibu tiga anak itu tetap tidak tenang. Ia yakin, suatu saat masyarakat akan mengetahui aib keluarganya. Sampailah ia pada satu keputusan yang nekat ia akan membuang sang cucu, begitu ia lahir. Bersama Anter, 23, yang dijemputnya dari perkebunan, dan Harmonis, 18, anak bungsunya, awal Juli silam, ketiganya menjemput Tantinar yang baru saja melahirkan. Kepada kenalan yang ia titipi anak sulungnya itu, Hajisah bilang akan membawa Tantinar pulang kampung. Tapi bis yang kemudian mereka tumpangi bukan yang menuju ke Bukittinggi, ke arah pulang, melainkan ke arah Kota Solok. Di dalam bis, Tantinar sempat menyusui bayinya sebelum diserahkan kepada Anter, yang duduk di belakangnya. Di pinggir Danau Singkarak, Anter dan Harmonis turun, sementara Tantinar dan Hajisah meneruskan perjalanan. Dan terjadilah pembunuhan itu. Kepada polisi, Anter, anak kedua yang hanya tamatan SD itu, mengaku keluarganya tak melihat jalan lain untuk menghapus malu itu. Ia juga mengaku, melakukan semuanya itu karena desakan ibunya. Sedangkan Harmonis mengaku tak punya daya untuk menghalangi rencana kakak dan ibunya itu. "Saya menangis ketika mendengar rencana itu, tapi kakak saya marah," ujar siswi kelas II SPG ini. Hajisah kemudian ditahan, tak lama setelah kedua anaknya memberikan pengakuan kepada polisi. Sementara itu, masih ada persoalan, mayat bayi yang kala itu masih di rumah sakit di Padang hendak dikuburkan di mana. Soalnya, Hajisah berkukuh, menurut prasangkanya sendiri, bahwa orang kampungnya tak bakal mau menerima mayat itu. Ia memerintahkan membunuh bayi itu, katanya, untuk menjauhkan orok malang itu dari kampung. Lalu mengapa hendak dikembalikan ke kampung, begitu Hajisah. Untunglah, ternyata, para pemuka masyarakat setempat mau menerima mayat bayi itu. Senin, 7 Juli, bayi Tantinar dikuburkan di kuburan kaum di Rambatan. Bayangan Hajisah, tak menjadi kenyataan. Tapi, boleh jadi, sikap masyarakat menjadi lunak karena anggota keluarga ini kini menginap di Polsek Rambatan semuanya. Termasuk anak sulung Tantinar yang baru berusia empat tahun, karena di rumah tak ada yang menemaninya. Erlina A.S., Laporan Fachrul Rasyid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus