SENEKAT-nekatnya terdakwa, mungkin belum ada yang seperti Dasril, 23 tahun. Begitu ia divonis hakim Pengadilan Negeri Batusarigkar, Sumatera Barat, 9 tahun penjara, Kamis pekan lalu, darahnya menggelegak. Menurut majelis yang diketuai Djaafar, ia terhukti membunuh seorang nenek, Karina, dan menjarah harta korban. "Saya kan bukan pembunuh, Pak Hakim," katanya, seraya bangkit mengejar Djaafar. Namun, niat Dasril memukul hakim tak kesampaian. Maklum, meja majelis hakim tinggi. Tapi Dasril mengalihkan emosinya kepada Jaksa R.S. Piliang, yang menyeretnya ke pengadilan. Tak disangka-sangka, tinjunya mendarat di bibir jaksa itu. Darah segar pun mengucur dari mulut Piliang. Keributan itu baru bisa berhenti setelah dua orang polisi membekuk Dasril. Kisah ini bermula pada bulan Puasa 1986 lalu. Waktu itu, menurut jaksa, Dasril bersama temannya, Azis, mendatangi gubuk Karina, 60 tahun. Mereka berbincang dengan akrabnya. Ketika si nenek silap, menurut jaksa, Dasril mencekik Karina hingga tewas. Mereka pun mencopoti perhiasan emas seberat 75 gram milik nenek itu. Mulanya polisi, atas pengaduan tetangga korban, Yusmanidar, 35 tahun, menangkap, Sawi, 65 tahun, suami korban. Orang tua itu diperiksa polisi hingga kakinya lumpuh. Tapi karena si kakek menyangkal dan memang tak ada buktinya, ia dipulangkan ke rumahnya. Setelah itu baru Dasril dan Azis ditangkap pada 1988. Azis ditangkap duluan karena kasus penipuan emas di Lintau. Tapi dari pengakuannya, konon, terungkap pula kasus pembunuhan terhadap Karina. Berdasar itu, polisi pada 24 November 1988 menangkap Dasril di Tanjungpinang, Riau. Lucunya, Yusmanidar memperkuat pula tuduhan terhadap kedua tersangka ini. Menurut Yusmanidar, ia mendengar kedua orang itu mengobrol dengan Karina pada tengah malam tersebut. Ia pun baru tahu Karina mati di pagi harinya. Dasril dan Azis kemudian diadili terpisah. Seperti juga Dasril, Azis menuduh dakwaan jaksa "ngarang". Tapi posisi Azis tak menguntungkan, karena ia diadili ketika sedang menjalani hukuman 20 bulan penjara dalam kasus penipuan emas tadi. Azis juga kena 9 tahun penjara. Bantahan Dasril lebih kuat lagi. Ia mengaku baru tahu kejadian itu pagi harinya. Ia malah ikut memakamkan orang tua itu dan ikut membaca surat Yasin di rumah almarhumah tiga malam. Ia pun punya saksi yang salat tarawih, tidur, makan sahur, dan salat subuh di rumahnya. Tapi, jaksa juga mengajukan petunjuk bahwa Dasril pernah ketahuan menjual emas 70 gram setelah pembunuhan terjadi. Cerita itu dibenarkan Dasril. Emas itu, katanya, dipinjamnya dari Busril, orang sedesanya, dengan cara menggadaikan sawahnya. Bersama kakeknya, Datuk Kayo, emas itu dijual kepada Bilal untuk biaya tes masuk polisi. Kendati Busril, Bilal, surat-surat gadai sawah, dan emas itu ditampilkan Dasril di sidang, majelis tak mengindahkannya. Di tahanan, kata Dasril, ia memang terpaksa mengakui tuduhan itu. Tapi semua itu, katanya, akibat pemeriksaan yang masih bergaya non-KUHAP. Hidung dan telinganya, masih kata Dasril, sampai mengeluarkan darah akibat siksaan. Bahkan kuku ibu jari tangannya tercabut. Hal itu tak juga menolongnya di sidang. Kakak kandung Karina sendiri, Datuk Nurdin, tak yakin Dasril membunuh adiknya. Menurut Nurdin, justru Yusmanidar yang layak dicurigai. Soalnya, ia tahu Karina hendak membagi emasnya pada cucunya empat hari sebelum kejadian. Apalagi sesudah pembunuhan itu Yusmanidar, yang cuma penjual sayur, mampu membangun rumah dan membuka warung. Kasus ini memang penuh teka-teki. Sewaktu di LP, Dasril pernah mendapat kabar dari kakeknya, Datuk Kayo, bahwa sang jaksa meminta duit Rp 500 ribu agar ia bisa dibebaskan dari tuntutan. Selain itu, Piliang konon juga meminta Datuk memasukkan bibit ikan ke kolamnya. Tapi karena merasa tak bersalah, katanya, ia menampik permintaan jaksa itu. Sebaliknya, Piliang menyangkal cerita itu dan tetap yakin tuntutannya benar. Karena itu, Pejabat Sementara Kejari Batusangkar, Soekesih Praktino, mengaku sudah membuat pengaduan ke polisi atas tindakan Dasril yang bisa dianggap contempt of court itu.BL & Fachrul Rasyid (Padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini