Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Berita Tempo Plus

Terjatuh dijerat rentenir

Ny. Etty Muchrip terusir dari rumahnya di jl. Prof. Eykman, Bandung, akibat dililit utang. pengadilan melelang rumahnya jauh dibawah harga pasar. utang Ny. Etty semula kepada Ny. Sartika Rp 32 juta.

13 Mei 1989 | 00.00 WIB

Terjatuh dijerat rentenir
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
NYONYA Etty Muchrip, 50 tahun, bisa disebut sebagai salah satu korban "yang terempas di jerat rentenir". Janda almarhum Kapten Muchrip -- dimakamkan di TMP Cikutra, Bandung -- kini terusir dari rumah warisan satu-satunya mendiang suaminya di Jalan Prof. Eykman 41 Bandung. Rumah itu dilelang pengadilan dengan harga Rp 100.5 juta, untuk melunasi utangnya kepada Nyonya Sartika, yang telah membengkak empat kali lipat dari utangnya semula, yakni Rp 32 juta menjadi Rp 129 juta. Yang menarik, sebelum eksekusi dilaksanakan, janda itu sudah menitipkan uang Rp 60 juta ke pengadilan, untuk mencicil utang tersebut. Toh pengadilan tak bersedia memberinya "napas" dan tetap melelang paksa rumahnya, yang sebenarnya tak pernah dijadikannya sebagai jaminan utang. Akibat ekseksi 5 April lalu, kini janda itu terpaksa tinggal di rumah kontrakan. Pada akhir 1984, Nyonya Etty, yang juga bekas anggota FKP-DPRD Jawa Barat, secara bertahap meminjam uang kepada Nyonya Sartika, sampai berjumlah Rp 32 juta. Setelah meminjam, menurut Nyonya Etty, setiap bulan ia selalu membayar utang pokok plus bunganya sebesar 6% per bulan. Bahkan, karena terdesak, janda beranak lima itu, misalnya, pernah membayar utangnya dengan sebuah cincin berlian seharga Rp 6,5 juta. Tapi setahun kemudian, urusan utang itu berbuntut ke meja hijau. Nyonya Sartika, 41 tahun, menggugat Etty karena menganggap wanita itu tidak pernah melunasi utang berikut bunganya. Cerita tawaran pembayaran dengan cincin berlian, kata Sartika, memang pernah ada. "Tapi saya tolak, karena harga berlian itu di toko ternyata cuma Rp 2 juta," tutur janda beranak dua itu. Pengadilan Negeri Bandung, pada Oktober 1986, ternyata mengabulkan gugatan itu. Nyonya Etty diharuskan membayar utang tersebut, yang ketika itu telah menjadi sekitar Rp 61 juta. Putusan ini dikukuhkan pengadilan banding. Bahkan Mahkamah Agung (MA), pada April 1988, meningkatkan jumlah utang yang harus dilunasi Etty menjadi Rp 129 juta. Tak ada pilihan lain buat Etty, Ia segera menitipkan uang Rp 60 juta ke pengadilan, sebagai cicilan untuk melunasi utang tersebut. Sampai di sini, persoalan mestinya sudah selesai. Ternyata tidak. Masih ada soal lain yang membuat Etty tak habis pikir. Pengadilan Negeri Bandung, anehnya, melelang rumah warisan mendiang suami Etty, yang terletak di atas tanah seluas 877 m2 di Jalan Profesor Eykman 41, di seberang RS Hasan Sadikin, Bandung. Bahkan pada 20 Maret 1989 pengadilan akan mengosongkan rumah itu, untuk diserahkan kepada pemenang lelang, Indrawan Soeparan. "Padahal, saya tak pernah menjaminkan rumah itu. Rumah itu juga sudah saya hibahkan kepada anak-anak, sejak Juli 1982," kata Nyonya Etty. Tapi, bagi Nyonya Etty, yang lebih menyakitkan lagi adalah karena rumah yang telah dihuninya selama 30 tahun itu dipaksa lelang hanya dengan harga Rp 100,5 juta. Padahal, harga standar rumah di tempat itu kini sekitar Rp 350 juta. Dan si pembeli lelang sebetulnya bukan Indrawan, tapi Kurnia Mahmud, yang tak lain kakak kandung Nyonya Sartika. Sebab itu, Etty pernah mengajukan permohonan penangguhan eksekusi ke Mahkamah Agung. Ketua Muda MA Bidang Hukum Perdata Tertulis, Prof. Z. Asikin Kusumah Atmadja, melalui surat tertanggal 17 Maret 1989, mengabulkan permohonan itu. Tapi dua minggu kemudian, pengadilan berubah sikap -- kabarnya setelah ada perintah dari Wakil Ketua MA, Purwoto S. Gandasubrata. Rumah itu benar-benar dikosongkan secara paksa, pada 5 April lalu. Segenap perabotan rumah tangga Nyonya Etty diangkut ke sebuah rumah yang dikontrak si pembeli lelang, Kurnia Mahmud, di bilangan Cipaku Indah. Nyonya Etty mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) ke MA, selain juga melaporkan keganjilan eksekusi lelang itu ke Tromol Pos 5000. "Kenapa perintah dari MA berbeda-beda?" ujarnya. Sementara itu, kelima anaknya mengajukan perlawanan (verzet) ke pengadilan. Nyonya Sartika tak banyak berkomentar atas eksekusi lelang itu. "Masalah itu sudah diputus MA, saya tak mau terlibat polemik lagi," katanya. Hampir senada, Ketua Pengadilan Negeri Bandung L.J. Ferdinandus juga berkata pendek, "Masalah ini sudah final. Kami cuma melaksanakan perintah MA." Menurut Purwoto S. Gandasubrata, perintah eksekusi itu dilakukan setelah mendengarkan penjelasan dari Prof. Asikin, ketua Pengadilan Negeri, dan kedua pihak beperkara. "Perkaranya sudah diputus in kracht, termohon eksekusi juga sudah bersedia pindah ke tempat penampungan. Jadi, eksekusinya nggak bisa diundur-undur lagi," kata Purwoto. Adapun soal PK Nyonya Etty, "Alasan yang dikemukakan sudah pernah diajukan waktu kasasi dulu, tak ada yang eksepsional," ujar Puroto. Bahkan verzet dari anak-anaknya, kata Purwoto, sudah ditolak pengadilan.Happy S. dan Hasan Syukur (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum