NAMANYA Indarti. Statusnya, siswi kelas III A3 SMA Islam Jiken, Blora, Jawa Tengah. Dua hari sebelum EBTA -- yang dilangsungkan pada pertengahan April lalu -- Indarti dipecat dari sekolahnya. Surat pemecatan yang ditandatangani Drs. M. Bakrun, Kepala MA Islam itu, hanya menyebut alasan "melanggar tata tertib sekolah." Perinciannya tak ada. "Saya terkejut menerima surat itu. Seharian saya menangis terus," kata Indarti yang tinggal bersama ibu tirinya (ayah dan ibu kandungnya sudah meninggal) di Desa Suruhan, Jiken. Pemecatan itu tanpa didahului peringatan. Wali murid pun tak pernah dipanggil ke sekolah. "Jadi, apa kesalahan anak saya sebenarnya?" tanya Supi, ibu tiri Indarti. Inilah sederet dosa Indarti yang dikatakan M. Bakrun kepada Bandelan Amarudin dari TEMPO. "Ia bikin onar sekolah. Moralnya tak dapat diperbaiki. Masak, dia pacaran dengan laki-laki yang sudah beristri dan beranak," kata Bakrun. Menurut Bakrun, polisi dan istrinya itu sudah pernah diundang ke sekolah. Di situ, menurut versi Bakrun, polisi tadi mengakui kesalahannya dan malahan meminta maaf pada istrinya. Indarti, kata Bakrun lagi, sudah pula dinasihati. "Maksud saya supaya hubungan Indarti dan polisi itu tidak berlarut-larut," kata Bakrun. Ternyata Indarti bertambah intim saja dengan Pak Polisi. Malah Bakrun mensinyalir polisi itu berkali-kali menginap di rumah Indarti. Karena anak itu sudah keterlaluan, "ia kami pecat dengan tidak hormat," kata Bakrun. Indarti mengakui bahwa polisi yang dimaksud suka datang ke rumahnya. Tapi tak sampai menginap. "Dia tak sampai berbuat apa-apa. Saya bisa membatasi diri," katanya. Almarhum ayahnya adalah anggota CPM (polisi militer) yang berteman dengan polisi yang dimaksud. Namun belakangan, kepada TEMPO, Bakrun mengungkapkan dua dosa Indarti yang lain. Nilai rapot rata-rata Indarti lima. Prestasinya tidak begitu baik," katanya. Satu lagi. Indarti menunggak SPP sejak Januari lalu. "Bohong. Nilai saya rata-rata tujuh," kata Indarti. "Boleh dilihat." Di rapotnya itu terlihat mata pelajaran Sosiologi dan Bahasa Indonesia bernilai delapan. Agama, PMP, Sejarah, Ekonomi, dan Akutansi bernilai tujuh. Yang bernilai enam, Bahasa Inggris, Matematika, Geografi, bahasa Arab, dan Tata Negara. Tak ada angka lima. "Saya aktif mengikuti pelajaran, tak pernah membolos," kata gadis ini. Yang tidak bohong, Indarti memang betul menunggak SPP. Tapi ia sudah mengajukan permohonan pengunduran pembayaran SPP. Permohonan itu diajukan bersama-sama hampir separuh murid di kelasnya, dan sudah mendapat persetujuan sekolah. Menjelang EBTA, penunggak SPP ini sudah siap-siap membayar, tapi Indarti keburu dipecat. "Kami harap, anak kami bisa sekolah lagi dan ikut ujian," kata Supi. Ibu tiri yang baik itu akan menggugat Kepala SMA ini ke Kanwil P dan K Jawa Tengah, kalau surat pernecatan tidak dicabut. "Bila perlu, setelah lebaran, kami akan menuntut lewat pengadilan," kata Supi lagi. "Keluarga kami termasuk disegani. Pemecatan ini membuat tetangga kami bertanya-tanya, dan saya tak bisa menjawabnya." Indarti mengaku sangat malu, sampai takut ke luar rumah. Tampaknya Bakrun tak bergeming. "Dia sudah dipecat, dan kami konsekwen," katanya. "Usaha maksimal kami, paling banter, ia kami sarankan agar ikut ujian persamaan." Kasus ini belum dilaporkan ke Kanwil P dan K Jawa Tengah. "Karena itu, kami belum bisa memberikan komentar," kata Imam Santoso, juru bicara P dan K itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini