Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itamaraya Gold Industry tertebas pedang pailit. Perusahaan penghasil emas di Surabaya itu divonis pailit (bangkrut) oleh Mahkamah Agung (MA) lewat putusan peninjauan kembali. Vonis mati itu diberitakan oleh pihak kuasa hukum Exim SB Leasing, kreditor penuntut pailit Itamaraya, Senin pekan lalu, di Surabaya. Siang itu juga di-kabarkan bahwa perdagangan saham Itamaraya di Bursa Efek Jakarta dan Surabaya dihentikan.
Jelas, vonis itu amat memukul Itamaraya. Sebab, utang Itamaraya kepada Exim SB Leasing dan Sumitomo sebetulnya tak besar, hanya US$ 589 ribu atau sekitar Rp 6 miliar. Padahal, aset perusahaan itu sekarang ditaksir senilai Rp 60 miliar.
Selain itu, menurut Agus Prianto, juru bicara Itamaraya, perusahaan yang telah masuk bursa sejak 1990 itu kini sedang bangkit kembali. Produk baru perusahaan itu berupa koin emas juga cukup laku di pasaran. Setiap bulan, perusahaan itu masih mampu memproduksi 40 kilogram emas untuk dipasarkan ke Dubai, Amerika Serikat, dan Hong Kong.
Kalau saja kisah utang US$ 589 ribu pada tahun 1995 dan 1997 itu tak berkepanjangan, tentu nasib Itamaraya jadi lain. Utang itu bermula dari kredit leasing dengan Exim SB dan Sumitomo. Belakangan, Itamaraya tak mampu melunasinya. Lantas utang dijadwal ulang dengan jangka waktu 24 bulan, sejak Desember 1999 hingga Desember 2001.
Lagi-lagi Itamaraya tak bisa membayar utang tersebut. Ia lantas minta restrukturisasi kredit, dengan penghapusan 50 persen utang. Tapi pihak kreditor enggan mengabulkan. "Enak saja mereka minta utang dihapus setengahnya," kata Ricardo Simanjuntak, pengacara Exim SB.
Alhasil, tak tercapai titik temu, hingga Exim SB menggugat pailit Itamaraya. Menanggapi tuntutan ini, Sudiman Sidabuke, kuasa hukum Itamaraya, menyatakan bahwa kliennya belum bisa melunasi utang semata-mata karena ada perbedaan dalam soal penghitungan dan jangka waktu pengembalian setelah restrukturisasi. "Kalau waktu itu clear, pasti akan kita bayar," ujar Sudiman.
Ternyata Pengadilan Niaga Surabaya menolak gugatan Exim SB. Menurut majelis hakim niaga, perkara utang Itamaraya tak bisa diajukan ke pengadilan kepailitan. Sebab, dalam perjanjian utang itu ada klausul penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
Exim SB keberatan dengan vonis itu. Dalilnya, klausul arbitrase hanya bisa dilaksanakan kalau Exim SB mengajukan permohonan arbitrase. Kenyataannya, Exim SB tak minta arbitrase. Berarti, klausul itu tak berlaku.
Tapi, di tingkat kasasi di MA, Exim SB kalah lagi. Majelis kasasi menilai perkara utang Itamaraya tak bisa dipailitkan lantaran bukan termasuk perkara utang yang gampang pembuktiannya.
Tak tahunya, majelis peninjauan kembali yang diketuai Wakil Ketua MA, Taufiq, menganulir putusan-putusan di atas. Majelis tak bisa menerima dalil bahwa perkara utang Itamaraya tak sederhana. Sebab, utang Itamaraya sudah jelas jatuh tempo pada Desember 2001. Akibatnya, Itamaraya dinyatakan pailit.
Sebenarnya, putusan peninjauan kembali diketuk MA pada 29 April 2002. Namun putusan itu baru diterima pihak yang beperkara pada Senin pekan lalu. Anehnya, Direktur Niaga di MA, Parwoto Wignjosumarto, menyatakan bahwa keterlambatan itu bukan urusan MA. Alasannya, MA langsung mengirim berkas putusan ke pihak yang beperkara begitu selesai diputus. "Saya tidak tahu kenapa berkas putusan terlambat diterima," ujarnya.
Pihak MA ataupun Pengadilan Niaga Surabaya gampang saja mengatakan tak tahu-menahu. Padahal, saham Itamaraya di Bursa Efek Jakarta dan Surabaya baru dihentikan perdagangannya, ya, sejak Senin pekan lalu. Keadaan ini tentu berdampak buruk bagi para pembeli saham Itamaraya sejak 29 April 2002 sampai 20 Mei 2002. Sebab, menurut Pasal 23 Undang-Undang Kepailitan Tahun 1998, transaksi dengan debitor yang terjadi setelah putusan pailit tak bisa dibayarkan dari harta pailit.
Dengan kalimat lain, para pembeli saham tadi bisa-bisa tak dibayar Itamaraya. Memang, hal ini bisa diprotes para pembeli saham. "Mereka bisa saja memerkarakannya," ucap Andrey Sitanggang, kurator kepailitan Itamaraya.
Sementara itu, Direktur Perdagangan di Bursa Efek Jakarta, Harry Wiguna, menduga transaksi saham Itamaraya hanya terjadi di antara para pemegang saham lama. Sekalipun begitu, "Transaksi itu tidak dijamin. Itu murni risiko mereka," kata Harry. Ia menambahkan bahwa Itamaraya akan di-delisting begitu Bursa Efek Jakarta menerima salinan vonis peninjauan kembali.
Hendriko L. Wiremmer, Kukuh S. Wibowo (Surabaya) dan Erdian (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo