Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Gelombang Gugatan Seusai Banjir

Gubernur Jakarta, Gubernur Sumatera Utara, dan Wali Kota Solo digugat warga karena bencana banjir. Beranikan pengadilan menghukum eksekutif?

2 Juni 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANJIR yang melanda Jakarta memang sudah lewat. Namun, bekas kepe-dihannya sulit terlupakan. Apalagi bagi warga yang kehilangan sanak, menderita sakit, dan mengalami kerugian harta benda serta harus mengungsi. Itu sebabnya sebanyak 15 warga Jakarta melayangkan gugatan class action (perwakilan kelompok) terhadap Gubernur Jakarta Sutiyoso ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Senin pekan ini, majelis hakim akan mengetuk putusan sela (sebelum vonis akhir) atas gugatan tersebut.

Bagi 15 warga penggugat, melalui tim advokasi korban banjir Jakarta 2002, kesalahan Gubernur Sutiyoso dalam kasus banjir Jakarta tak bisa lagi dimaklumi. Sebab, sebelum banjir melanda Jakarta, Sutiyoso tak pernah memberikan peringatan. Padahal Badan Meteorologi dan Geofisika sudah meramalkan curah hujan akan dua kali lebih besar ketimbang tahun sebelumnya.

Gubernur juga dianggap tak berusaha melengkapi sarana penanggulangan banjir. Jumlah pompa penyedot air dan perahu karet penyelamat, ketika banjir mengamuk, ternyata sangat minim. Sudah begitu, Pemerintah Daerah Jakarta tak cepat tanggap untuk membantu korban banjir. Di Cipinang, Jakarta Timur, misalnya, hingga tiga hari setelah kawasan itu terendam banjir, tim evakuasi tak kunjung datang. Dana bantuan banjir pun tak merata diterima warga, bahkan diduga ditilap aparat.

Hal itu, menurut salah se-orang anggota tim advokasi banjir, Fathi Hanif, menunjukkan bahwa Gubernur Sutiyoso melanggar prinsip pemerintahan yang baik. Karena itu, 15 warga penggugat menuntut ganti rugi Rp 1,2 triliun dari Sutiyoso untuk mengganti kerusakan sarana publik akibat banjir.

Menurut pemerhati masalah lingkungan hidup, Mas Ahmad Santosa, kesalahan Gubernur Sutiyoso dan segenap aparatnya bisa pula ditilik dari segi kelemahan pengawasan dan pelanggaran aturan sehingga Jakarta amat rentan banjir. Salah satu buktinya, tata ruang Jakarta tak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Tata Ruang Tahun 1992. Tata ruang Jakarta tahun 2000-2010 dibuat dengan mengutamakan kepentingan ekonomi. Daerah resapan air pun kian dipersempit. Parahnya, "Tata ruang Jakarta disusun tanpa adanya konsultasi publik," ujar Mas Ahmad.

Namun, Sutiyoso menepis tudingan di atas. "Banjir itu musibah. Yang namanya musibah, di negeri mana pun, enggak akan bisa terakomodasi dengan persiapan yang ada," kata Sutiyoso kepada Dimas dari Tempo News Room.

Salah seorang kuasa hukum Sutiyoso, Mohamad Assegaf, menambahkan bahwa gugatan class action warga salah alamat. Alasannya, hanya DPRD yang bisa dijadikan forum untuk menilai kebijakan gubernur. Perlu diingat, laporan pertanggungjawaban Gubernur Sutiyoso, termasuk tentang masalah banjir, sudah diterima DPRD pada April lalu. "Jadi, apa lagi yang dituntut?" ucap Assegaf.

Menurut Assegaf, banjir Jakarta disebabkan oleh penggunaan wilayah bantaran sungai oleh warga sebagai tempat tinggal, selain sebagai tempat pembuangan sampah. Dengan demikian, kata Assegaf, banjir lebih disebabkan oleh ulah warga Jakarta. Sayang, pengacara senior ini enggan menilik lebih cermat kenapa bantaran sungai dijadikan tempat tinggal dan warga membuang sampah sembarangan.

Jadi, bagaimana sikap pengadilan terhadap gugatan banjir Jakarta? Yang jelas, di Pengadilan Negeri Medan, Sumatera Utara, Gubernur T. Rizal Nurdin menuai gugatan serupa dari sekelompok warga. Menurut gugatan warga, banjir yang menghantam Medan, yang merenggut nyawa 13 warga, menyebabkan 300 orang jatuh sakit, dan menghancurkan harta milik 1.200 kepala keluarga, tak lain gara-gara Gubernur lalai mengelola daerah resapan air. Sebab, berbagai hutan yang menjadi kawasan penyerapan air dibiarkan makin gundul, bahkan sebagian disulap menjadi permukiman mewah.

Sementara itu, di Solo, Jawa Tengah, Wali Kota Slamet Suryanto dituntut ganti rugi Rp 100 miliar oleh sekelompok warganya. Menurut warga penggugat, banjir yang menimpa sebagian daerah Solo disebabkan pula oleh ke-salahan Wali Kota. Soalnya, Wali Kota tak mengelola daerah bantaran Bengawan Solo sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Lingkungan Hidup Tahun 1997 dan Undang-Undang Garis Sepadan Sungai Tahun 1991. Akibatnya, warga Solo terancam bencana tanah longsor dan banjir.

Hendriko L. Wiremmer, Bambang Soedjiartono (Medan), Anas Syahirul (Solo), TNR

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus