Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MERRI Utami jatuh lunglai di kursi terdakwa. Nyali wanita itu seperti melayang begitu mendengar vonis mati baginya. Senin pekan lalu, majelis hakim yang diketuai Ade Komarudin di Pengadilan Negeri Tangerang menganggap Merri terbukti membawa narkotik jenis heroin sebanyak 1,1 kilogram.
Seusai sidang, perempuan asal Solo, Jawa Tengah, yang berusia 28 tahun itu mengaku menyesal. "Hanya Tuhan yang bisa memberikan keajaiban untuk mengubah hukuman saya," ujar janda beranak satu itu, yang menyatakan naik banding.
Sebagaimana Jaksa Puji Rahardjo, Hakim Ade Komarudin juga merasa yakin dengan vonis mati untuk Merri. Terdakwa, yang bernama alias Cahyawati Juariyanto ini, tertangkap basah di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, pada 31 Oktober 2001. Dia diduga merupakan bagian dari sindikat narkotik internasional.
Segera Merri menjadi terdakwa narkotik ke-17 yang divonis mati di Pengadilan Negeri Tangerang sejak 25 Januari 2000. Vonis ini pun makin mengukuhkan rekor Pengadilan Negeri Tangerang dalam soal hukuman mati kasus narkotik. Maklum, pengadilan ini melingkupi wilayah Bandara Soekarno-Hatta, yang selalu dilewati para pelaku kejahatan narkotik.
Rupanya, kalangan hakim di Pengadilan Negeri Tangerang punya semacam komitmen untuk menghukum berat pelaku narkotik sekaligus memutus jaringan sindikat narkotik. "Hukuman yang pantas untuk kejahatan narkotik, terutama pengedar heroin, ya mati," kata Hakim Pramoedana, 46 tahun. Pramoedana, putra sulung Prof. Z. Asikin Kusumah Atmadja (almarhum) yang ahli hukum perdata dan mantan hakim agung, pernah lima kali menjadi anggota majelis hakim pemvonis mati kasus narkotik di pengadilan itu.
Sikap Pramoedana dibenarkan oleh rekan-rekannya, antara lain Hakim Asep Iwan Iriawan dan Silvester Djuma. Buat mereka, kejahatan narkotik tak bisa lagi ditoleransi karena sudah sangat merusak generasi muda. "Vonis mati sudah kami pertimbangkan masak-masak dari berbagai segi," ucap Hakim Asep, yang pertama kali memvonis mati terdakwa Ola, pembawa heroin seberat 3,6 kilogram.
Menurut para hakim yang tergolong muda itu, hukuman mati juga sesuai dengan aspirasi masyarakat yang menuntut agar penjahat narkotik dihukum berat. Itu sebabnya mereka pantang bersikap lembek bila memutus kasus narkotik, kendati mereka mengaku acap diiming-imingi suap, bahkan diancam. "Saya pernah diancam akan dibunuh. Tapi kami tidak takut karena kami yakin ini benar," tutur Asep.
Mungkin karena dinilai berprestasi, Asep, Pramoedana, dan Silvester Djuma lantas dipromosikan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sementara itu, Hakim Toekiran, yang pernah sekali memvonis mati terdakwa narkotik warga Zimbabwe, dipindah ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
Namun, anehnya, Hakim Prim Haryadi, yang pernah memvonis mati warga Nigeria dan Thailand, justru dimutasi ke tempat terpencil, yakni Pengadilan Negeri Labuha di Kabupaten Pulau Bacan, Maluku Utara. Tentu saja pemindahan ini bisa membuat prestasi Prim seakan-akan tak berarti sekaligus menyuramkan karirnya sebagai hakim.
Tak mengherankan bila mutasi Prim kemudian digunjingkan. Bahkan Pengacara Henry Yosodiningrat, yang menjadi Ketua Gerakan Rakyat Anti-Narkotika, menduga adanya tangan-tangan mafia narkotik di balik mutasi Prim. "Bisa saja sindikat narkotik yang mengatur pemindahan itu," ujar Henry.
Tapi isu miring itu langsung dibantah oleh Soejatno, Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum dan Tata Usaha Negara di Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. "Itu mutasi biasa untuk hakim. Pemindahan hakim Prim merupakan promosi. Hukuman berat terhadap sindikat narkotik kan harus disebarkan ke daerah lain," kata Soejatno.
Meski argumentasi Soejatno sepertinya sah-sah saja, toh sampai pekan lalu Prim enggan dipindahkan. Itu karena ia mengajukan surat keberatan ke Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman. Segenap koleganya di Pengadilan Negeri Tangerang juga meributkan mutasi Prim ke Maluku Utara.
Ahmad Taufik, Hendriko L.W., dan Ayu Cipta (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo