Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lebih dari dua ribu orang menundukkan hati dan kepala di kuburan Kazalinsk, di dekat Kosmodrom Baikonur, dua pekan lalu. Sambil mengeratkan kerah jaket, menahan angin dingin yang membawa debu pasir, penduduk kota kecil itu mengantar kepergian tujuh pekerja yang tewas bersama ambruknya atap hanggar pesawat antariksa, tiga hari sebelumnya. Upaya satu regu anjing pelacak yang diterbangkan langsung dari Moskow gagal menemukan satu korban lain yang terkubur dalam puing reruntuhan.
Runtuhnya hanggar pesawat antariksa merupakan kecelakaan pertama di dunia. Landasan peluncur satelit seperti Baikonur mestinya bebas dari kesalahan. Banyak yang menduga, ambruknya atap garasi raksasa tempat parkir pesawat ulang alik Buran itu terjadi karena kompleks peluncuran roket ini sudah lama terbengkelai, tak tersentuh anggaran pemerintah. Sejak komunisme bangkrut pada akhir 1980-an dan suhu Perang Dingin mereda, Baikonur seperti berlian yang kehilangan kilaunya.
Baikonur merupakan stasiun peluncur pesawat ruang angkasa terbesar dan tertua di dunia. Kompleks yang berada di dekat Sungai Syr Darya, jauh di pedalaman Kazakhstan ini, luasnya kira-kira separuh Jawa Barat. Dibangun di tengah sengitnya perlombaan senjata dan penguasaan antariksa, Baikonur tiba-tiba muncul bak kelinci dari topi tukang sulap: cepat, mengejutkan, juga misterius. Hanya dalam tempo dua tahun sejak dibangun, 1955, Baikonur telah menerbangkan Sputnik-1, benda buatan manusia pertama yang diparkir di luar angkasa. Dari tempat ini pula astronaut pertama dunia Yuri Gargarin meluncur ke luar atmosfer dengan roket Vostok-1, pada 1961. Sejak itu Baikonur mencatat pelbagai rekor sejarah antariksa.
Sebagai tempat yang mendunia, Baikonur tetap misterius. Letak dan posisinya tak pernah diketahui publik. Berbeda dengan Pusat Ruang Angkasa Kennedy milik AS dan Stasiun Korou, Guyana-Prancis, yang terbuka untuk kunjungan wisata, Baikonur dijaga ketat pasukan keamanan. Puluhan tahun kemudian, ketika suhu Perang Dingin mereda, barulah dunia mengetahui bahwa Kosmodrom Baikonur tidak berada di Kota Baikonur, tapi di Tyuratam, 350 kilometer jauhnya dari kota tambang itu.
Sisa-sisa misteri dan rahasia Baikonur tetap terasa hingga pertengahan tahun 2000, ketika TEMPO mengunjunginya. Stasiun tua itu tetap dijaga ketat. Agar sampai ke sana, rombongan harus berangkat dari Moskow dengan menyewa pesawat khusus yang ditempel satu atau dua agen rahasia. Begitu mendarat, sejumlah tentara telah menunggu untuk melakukan pemeriksaan ulang. Begitupun, pengunjung hanya boleh berada di ruang pengamatan, beberapa kilometer dari tempat peluncuran.
Setelah berhasil melontarkan Gargarin bersama Vostok-1, stasiun dengan selusin landasan angkasa luar ini terus bersinar seperti permata di gurun pasir. Bisnis dan kekayaan Baikonur meledak. Setiap tahun rata-rata 25 satelit meluncur dari tempat kering-kerontang itu. Padahal, untuk menutup biaya operasi, landasan peluncuran angkasa luar ini hanya memerlukan sembilan peluncuran wahana antariksa. Pernah ada suatu masa, Baikonur menerbangkan jauh lebih banyak satelit ketimbang stasiun mana pun di dunia.
Sejalan dengan cerita sukses Soviet, Baikonur kian menor. Selain membentenginya dengan penjagaan ekstraketat, Moskow melengkapinya dengan denyut kehidupan yang komplet: hotel, sekolah, jaringan gas, restoran, bar, dan pub. Se-kitar 100 ribu orang menyesaki jajaran apartemen di kota kecil Leninsk, yang sengaja dibangun untuk menampung para pegawai Baikonur. Taman-taman dan bunker dibuat, juga lapangan bermain. Sebuah dunia baru dilahirkan di padang tandus, di tempat angin menderu membekukan tulang, nun di jantung Soviet.
Tapi tanda-tanda magrib mulai tampak pada penghujung 1960-an, ketika Soviet kalah bersaing dalam perlombaan menjejakkan kaki ke bulan. Dana mulai cekak dan beberapa proyek riset luar angkasa dijadwalkan kembali. Tahun 1986, Negeri Beruang Merah itu berusaha mengejar ketinggalannya dengan meluncurkan Stasiun Mir, laboratorium angkasa luar berawak yang pertama di dunia, juga dari Baikonur. Tapi teknologi Mir ternyata tak lebih maju dari Solyuz yang digantikannya. Selama lima belas tahun terakhir, para ahli angkasa luar menghabiskan seluruh waktu dan pikirannya untuk menjaga agar laboratorium terbang itu tetap mengorbit. Tapi ketika akhirnya Mir menghunjam di Lautan Pasifik, Maret tahun lalu, Baikonur dan Soviet (yang kini bernama Rusia) seperti ikut terbenam.
Masa paling gelap terjadi ketika komunisme bangkrut dan Uni Soviet terpecah. Baikonur masuk wilayah Kazakhstan yang tak punya mimpi angkasa luar. Tempat bersejarah itu mulai padam seperti kota mati. Penyewa apartemen meninggalkan Baikonur seperti para penambang emas menelantarkan kota yang kehabisan bijih. ”Ketika itu, kami hidup lapar dan kedinginan, tanpa air, tanpa gas, tanpa pemanas,” kata Vladimir Polvektov, Kepala Departemen Keamanan Baikonur, yang telah bertugas di sana sejak 1983.
Sesungguhnya ada beberapa upaya Moskow yang patut dicatat. Pada akhir 1980-an, Soviet melontarkan super-roket Energia dan pesawat ulang-alik Buran. Tapi semua orang tahu, kedua wahana ini ketinggalan zaman, uzur, mahal, dan yang paling penting, tidak praktis. Karena memakai teknologi warisan masa lampau, Buran hanya terbang sekali, dan selebihnya nongkrong di hangar nomor 112 yang atapnya runtuh awal Mei lalu.
Dalam tahun-tahun belakangan ini, harus diakui, nasib Baikonur sebenarnya sudah mulai membaik. Rusia, yang belakangan menyewa Baikonur dari Kazakhstan dengan ongkos US$ 115 juta (Rp 1,15 triliun) setahun, berusaha menghidupkan kembali stasiun tua itu. Pengelolanya diizinkan mencari duit sendiri. Sepanjang tahun 2000, misalnya, Baikonur menjala dana US$ 800 juta dari para konsumen di luar negeri, lima kali lipat lebih banyak dari bujet yang disediakan Moskow. Setiap tahun, roket Proton—yang hanya bisa terbang dari Baikonur—rata-rata mengangkut 15 satelit komersial. Tidak hebat, tapi juga tidak terlalu buruk.
Dengan cerdik pengelola Baikonur juga mulai melirik peluang bisnis lain: wisata luar angkasa. Jutawan Afrika Selatan, Mark Shuttleworth, berangkat dari Baikonur menuju Stasiun Luar Angkasa Internasional dalam tur delapan hari, awal Mei lalu. Shuttleworth harus membayar US$ 20 juta, cukup untuk membiayai seluruh ongkos peluncuran pesawat ruang angkasa.
Bagaimanapun, sejarah angkasa luar Rusia hari-hari ini tidaklah sehebat mimpi Soviet puluhan tahun silam. Beberapa petak taman di Baikonur memang kembali terpangkas rapi, namun di sela-selanya terselip segerombol rumput liar. Para penyewa juga mulai datang ke apartemen abu-abu pasir itu, tapi sisa-sisa kebangkrutan tetap saja sulit ditutup-tutupi.
Kemilau cahaya di Baikonur rupanya tak pernah kembali—apalagi Moskow telah meneguhkan niatnya untuk membangun bandar angkasa pengganti di dekat kutub utara.
Wicaksono (dari pelbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo