Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Vonis 10 Menit

Antonius dwiyanto, kapten pilot garuda, dihukum penjara karena berusaha menyelunudpkan emas. keputusan hukum ini dijatuhkan, hanya satu kali sidang. alamat penitip emas dan surat-suratnya tidak diketahui. (hk)

30 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI kisah tentang Antonius Dwiyano, kapten pilot Garuda. Ia sedang akan menutup pintu pagar rumahnya di Rajawali. Jakarta, 20 April tahun lalu. Malam hari itu jam sepuluh ia kedatangan seorang Cina yang baru "kenal muka" . Tamunya mengatakan akan menitipkan barang. Pembicaraan hanya itu saja, kata Dwiyanto, 39 tahun. Hari berikutnya pilot itu bertugas ke Singapura. Di terminal ia turun untuk membeli rokok. Sayang, katanya, merk yang dikehendaki tidak ada. Sementara itu datang seorang Cina yang menitipkan bungkusan untuk kawannya, A Wie, di Jakarta. Pilot itu tidak usah mengantarkan ke rumah A Wie karena penerima barng sudah dipesan harus mengambilnya di rumah Dwiyanto. "Lho, kok berat", komentar sang pilot. Penitip terus terang mengatakan bahwa itu adalah emas. Isinya tujuh batang. Tiap tatang ada imbalan Rp 15 ribu sehingga bila kiriman itu sampai ke alamatnya, Dwiyanto akan mendapat Rp 105 ribu. Pikiran pilot itu kemudian dipusatkan pada pekerjaannya untuk menerbangkan pesawat menuju Jakarta. Titipan dimasukkan ke dalam tasnya. Jam 7 malam lewat sedikit ia mendarat di Halim Perdanakusuma. Ia tidak mencantumkan emas itu dalam Custom Declaration, walaupun petugas Bea Cukai yang memeriksanya di ruang awak pesawat sudah mengingatkan. K. Sumartono yang memerika tas Dwiyanto nyaris kebobolan karena tas itu sepintas lalu hanya berisi kertas-kertas. Tapi kata hatinya bicara lain. Ia merogoh-rogoh bagian bawah tas. "Lho, kok berat", kata petugas bea cukai itu. "Hanya arloji", begitu Dwiyanto berdalih. Namun petugas masih curiga. Dibukalah titipan dari Singapura itu. Sang pilot tidak bisa berkutik lagi. Pemeriksaan dilanjutkan keesokan harinya dan Dwiyanto boleh pulang. Satu Sidang A Wie, yang oleh Dwiyanto baru "dikenal muka"nya, walau sudah setahun, malam hari itu juga mendatangi pilot di rumahnya. "Barang kamu ditahan bea cukai. Kamu harus yang ngurus sana, saya nggak mau". Cina itu menyatakan sanggup datang lagi keesokan harinya untuk mengurus titipannya. Tapi ia tak kunjung datang. "Kalau saya,saya ikat", tukas Hakim Ketua A. Samad S karena terdakwa Dwiyanto menyatakan tidak mengetahui alamat A Wie. "Masak punya barang segitu ditinggal". tangkis terdakwa yang tidak mengira bahwa A Wie kahur. Dwiyanto menyesal tidak menanyakan alamat A Wie. "Menyesal saya di situ. Saya tidak punya surat perintah. Tidak ada hak menahan", komentar Dwiyanto mengapa ia tidak menahan A Wie. Dwiyanto disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur dengan Jaksa Anton Suyata SH. Ia dituduh melakukan tindak pidana ekonomi melanggar pasal 26b Ordonansi Bea. Jaksa menuntut hukuman 9 bulan penjara dan denda Rp 50 ribu atau 2 bulan kurungan. Per- sidangan ini sukar karena penerapan hukum dan pembuktiannya sederhaua. Maka A. Samad SH dan kedua hakim anggota Said Harahap SH dan M. Binti SH hanya memerlukan waktu 10 menit untuk merundingkan putusan apa yang bakal dijatuhkan. Jumat minggu lalu dalam satu kali sidang itu dijatuhlah putusan untuk Dwiyanto. Ia dihukum penjara 10 bulan. Dan denda Rp 250 ribu (atau 2 bulan kurungan). Yang memberatkan terdakwa, menurut hakim, karena perbuatan tersebut dapat merugikan perekonomian negara dan mengganggu ketenteraman masyarakat. Emasnya memang tidak hilang, justru disita negara. Harganya lebih tinggi dari bea masuk yang seharusnya dibayar Rp 6,3 juta. Namun tindakan Dwiyanto berbahaya bila dibiarkan terus. Perbuatan seperti itu bisa dipakai untuk macam-macam, subversi misalnya. Sedangkan hal yang meringankan antara jaksa dan hakim banyak persamaan. Pilot itu hanya pembawa, bukan pemilik. Ia sudah sejak 1959 jadi pilot. Ia pun sama sekali belum mendapat imbalan yang dijanjikan. Terdakwa bersikap terus terang, belum pernah dihukum, menyesali perbuatannya dan ia perlu diberi kesempatan menyumbangkan tenaganya untuk negara. Kan Meringankan Dengan selesainya peradilan bagi Dwiyanto maka tamatlah isyu-isyu yang menyatakan bahwa perkaranya dideponir. Jaksa Agung Ali Said SH pernah dengan nada agak keras membantah soal suara-suara sumbang itu. Dan setelah usaha penyelundupan emas oleh pilot itu berusia 18 bulan perkaranya disidangkan. Perkara ini, seperti diakui jaksa dalam surat tuduhannya, menjadi menarik setelah Presiden memerintahkan berbagai instansi menangani penyelundupan Instruksi itu keluar 9 Pebruari tahun ini, kemudian Jaksa Agung membentuk Operasi 902 yang memberantas penyelundupan. Yang belum tamat adalah kaitan antara A Wie dengan penitip emas di Singapura yang oleh Dwiyanto, katanya, tidak diketahuinya Menurut Dwiyanto bersama emas itu juga dilampirkan Surat . Amplop luar ada tulisan "Kepada A Wie". Tapi amplop itu kini hilang. Petugas bea cukai Sumartono menyatakan melihat beberapa amplop bersama bungkusan emas 7 kilogram itu tapi tidak tahu pasti apakah bertulisan A Wie . Sedangkan petugas bea cukai yang lain, Rasimin, tidak melihat amplop apapun. Sayang surat itu kini jadi misterius. "Kalau ada hanya bisa meringankan saudara", kata hakim ketua.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus