INI kisah tentang Antonius Dwiyano, kapten pilot Garuda. Ia
sedang akan menutup pintu pagar rumahnya di Rajawali. Jakarta,
20 April tahun lalu. Malam hari itu jam sepuluh ia kedatangan
seorang Cina yang baru "kenal muka" . Tamunya mengatakan akan
menitipkan barang. Pembicaraan hanya itu saja, kata Dwiyanto, 39
tahun. Hari berikutnya pilot itu bertugas ke Singapura. Di
terminal ia turun untuk membeli rokok. Sayang, katanya, merk
yang dikehendaki tidak ada. Sementara itu datang seorang Cina
yang menitipkan bungkusan untuk kawannya, A Wie, di Jakarta.
Pilot itu tidak usah mengantarkan ke rumah A Wie karena penerima
barng sudah dipesan harus mengambilnya di rumah Dwiyanto. "Lho,
kok berat", komentar sang pilot. Penitip terus terang mengatakan
bahwa itu adalah emas. Isinya tujuh batang. Tiap tatang ada
imbalan Rp 15 ribu sehingga bila kiriman itu sampai ke
alamatnya, Dwiyanto akan mendapat Rp 105 ribu.
Pikiran pilot itu kemudian dipusatkan pada pekerjaannya untuk
menerbangkan pesawat menuju Jakarta. Titipan dimasukkan ke dalam
tasnya. Jam 7 malam lewat sedikit ia mendarat di Halim
Perdanakusuma. Ia tidak mencantumkan emas itu dalam Custom
Declaration, walaupun petugas Bea Cukai yang memeriksanya di
ruang awak pesawat sudah mengingatkan. K. Sumartono yang
memerika tas Dwiyanto nyaris kebobolan karena tas itu sepintas
lalu hanya berisi kertas-kertas. Tapi kata hatinya bicara lain.
Ia merogoh-rogoh bagian bawah tas. "Lho, kok berat", kata
petugas bea cukai itu. "Hanya arloji", begitu Dwiyanto berdalih.
Namun petugas masih curiga. Dibukalah titipan dari Singapura
itu. Sang pilot tidak bisa berkutik lagi. Pemeriksaan
dilanjutkan keesokan harinya dan Dwiyanto boleh pulang.
Satu Sidang
A Wie, yang oleh Dwiyanto baru "dikenal muka"nya, walau sudah
setahun, malam hari itu juga mendatangi pilot di rumahnya.
"Barang kamu ditahan bea cukai. Kamu harus yang ngurus sana,
saya nggak mau". Cina itu menyatakan sanggup datang lagi
keesokan harinya untuk mengurus titipannya. Tapi ia tak kunjung
datang. "Kalau saya,saya ikat", tukas Hakim Ketua A. Samad S
karena terdakwa Dwiyanto menyatakan tidak mengetahui alamat A
Wie. "Masak punya barang segitu ditinggal". tangkis terdakwa
yang tidak mengira bahwa A Wie kahur. Dwiyanto menyesal tidak
menanyakan alamat A Wie. "Menyesal saya di situ. Saya tidak
punya surat perintah. Tidak ada hak menahan", komentar Dwiyanto
mengapa ia tidak menahan A Wie.
Dwiyanto disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur
dengan Jaksa Anton Suyata SH. Ia dituduh melakukan tindak pidana
ekonomi melanggar pasal 26b Ordonansi Bea. Jaksa menuntut
hukuman 9 bulan penjara dan denda Rp 50 ribu atau 2 bulan
kurungan. Per- sidangan ini sukar karena penerapan hukum dan
pembuktiannya sederhaua. Maka A. Samad SH dan kedua hakim
anggota Said Harahap SH dan M. Binti SH hanya memerlukan waktu
10 menit untuk merundingkan putusan apa yang bakal dijatuhkan.
Jumat minggu lalu dalam satu kali sidang itu dijatuhlah putusan
untuk Dwiyanto. Ia dihukum penjara 10 bulan. Dan denda Rp 250
ribu (atau 2 bulan kurungan). Yang memberatkan terdakwa, menurut
hakim, karena perbuatan tersebut dapat merugikan perekonomian
negara dan mengganggu ketenteraman masyarakat. Emasnya memang
tidak hilang, justru disita negara. Harganya lebih tinggi dari
bea masuk yang seharusnya dibayar Rp 6,3 juta. Namun tindakan
Dwiyanto berbahaya bila dibiarkan terus. Perbuatan seperti itu
bisa dipakai untuk macam-macam, subversi misalnya. Sedangkan hal
yang meringankan antara jaksa dan hakim banyak persamaan. Pilot
itu hanya pembawa, bukan pemilik. Ia sudah sejak 1959 jadi
pilot. Ia pun sama sekali belum mendapat imbalan yang
dijanjikan. Terdakwa bersikap terus terang, belum pernah
dihukum, menyesali perbuatannya dan ia perlu diberi kesempatan
menyumbangkan tenaganya untuk negara.
Kan Meringankan
Dengan selesainya peradilan bagi Dwiyanto maka tamatlah
isyu-isyu yang menyatakan bahwa perkaranya dideponir. Jaksa
Agung Ali Said SH pernah dengan nada agak keras membantah soal
suara-suara sumbang itu. Dan setelah usaha penyelundupan emas
oleh pilot itu berusia 18 bulan perkaranya disidangkan. Perkara
ini, seperti diakui jaksa dalam surat tuduhannya, menjadi
menarik setelah Presiden memerintahkan berbagai instansi
menangani penyelundupan Instruksi itu keluar 9 Pebruari tahun
ini, kemudian Jaksa Agung membentuk Operasi 902 yang
memberantas penyelundupan.
Yang belum tamat adalah kaitan antara A Wie dengan penitip emas
di Singapura yang oleh Dwiyanto, katanya, tidak diketahuinya
Menurut Dwiyanto bersama emas itu juga dilampirkan Surat .
Amplop luar ada tulisan "Kepada A Wie". Tapi amplop itu kini
hilang. Petugas bea cukai Sumartono menyatakan melihat beberapa
amplop bersama bungkusan emas 7 kilogram itu tapi tidak tahu
pasti apakah bertulisan A Wie . Sedangkan petugas bea cukai yang
lain, Rasimin, tidak melihat amplop apapun. Sayang surat itu
kini jadi misterius. "Kalau ada hanya bisa meringankan saudara",
kata hakim ketua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini