PERNIKAHAN bagi siapa saja adalah soal penting. Begitu pula bagi
calon perwira (capa) PCS, 34 tahun. Ia meminta kembali uangnya
Rp 200 ribu yang dipinjam Tony Souw. Maksudnya untuk biaya
pernikahannya dengan calon isterinya, seorang perawat diCimahi.
Tapi dari Tony tidak didapatkan satu senpun. Sejak saat itulah
PCS sangat kesal dan tidak mau menagih lagi. Meskipun pinjaman
Tony belum dilunasinya, PCS masih ada cara lain. "Heh, terpaksa
pakai uang calon isteri", katanya sambil tertawa. Walhasil ia
bisa juga jadi pengantin, 3 Desember 1972. Tapi impiannya untuk
menjadi perwira tertunda. Sebab tepat hanya 5 minggu setelah
jadi seorang suami, ia cekcok dengan Tony dan menyebabkan
kematian orang terakhir dan seluruh anggota keluarganya di Jalan
Perniagaan 50 Jakarta Kota (TEM PO, 27 Januari 1973). Sejak
keributan berdarah itu ia diskors sehingga kini masih jadi capa
sedangkan kawan-kawan seangkatannya hampir kapten.
Lewat Telepon
Pengakuan PCS diungkapkannya minggu lalu dalam sidang Mahkamah
Militer Jakarta-Banten yang dipimpin-Kolonel CKH Soewarno SH.
Perkenalan PCS dengan Tony terjalin sejak 1963 dan hubungan
mereka cukup akrab. PCS merasa berhutang budi ada Tony yang
pernah meminjamkan mobil Fiat dan sepeda motor Puch Dengan
hubungan seakrab itu maka PCS tidak keberatan meminjamkan uang
Rp 200 ribu pada Tony. Tanpa tanda terima karena menurut capa
tersebut "rasanya kurang enak uang segitu saja pakai kwitansi".
Peminjaman ini dilakukan karena Tony perlu uang. Bila PCS punya
simpanan diharap sudi menolongnya. alau PCS perlu uangnya
kembali diminta memberitahu seminggu sebelumnya supaya Tony
siap-siap. Pesan Tony juga dipenuhi PCS. Namun ketika PCS
benar-benar perlu uangnya kembali, Tony ingkar janji.
Memang Tony, menurut pengakuan PCS, menelepon capa tersebut
Sabtu sore, 6 Januari 1973. PCS supaya datang ke Jalan
Perniagaan untuk mengambil uang. Tapi PCS waktu itu sedang
bertugas piket, maka esok harinya baru bisa memenuhi panggilan
lewat telepon itu. Minggu pagi sebelum serah terima dengan
perwira piket berikutnya. PCS meninggalkan kantornya di Bengkel
Angkutan Air, Tanjung Priok. Pistol inventaris beserta magasen
lengkap dengan 6 peluru dibawanya. Ia juga meminjam sepeda
motor atasannya kapten Teguh Wiyono, untuk jangka waktu
setengah jam. Tapi ternyata motor ini digunakan sebagai jaminan
untuk meminjam uang Rp 30 ribu kepada Suprapto, tetangga PCS di
Warakas, Tanjung Priok. Siang hari, kata PCS, ia tertidur pulas.
Baru sore harinya datang ke rumah Tony. Isteri Tony, Magdalena
yang membukakan pintu, setelah PCS menghubungi lewat telepon.
Bercucuran Darah
Sang tamu dijamu makan kecil dan juga makan malam. Sambil nonton
televisi, Tony dan PCS, bicara soal uang Rp 200 ribu. Menurut
PCS, jawaban Tony seperti anak-anak. "Uang segitu saja . . .
kalau ada, tak saya tahan-tahan lagi", begitu antara lain Jawab
Tony menurut PCS. Karena Tony belum juga mengembalikan
pinjamannya maka sikap Tony seperti itu, kata PCS, "saya anggap
ngenyek (mengejek) saya". PCS mencabut pistol untuk
menakut-nakuti agar Tony tidak main-main. Tapi pistol itu sudah
dikokang. Tidak lama kemudian peluru FN 45 mengenai mata kanan
Tony dan tembus sampai ke dinding rumah. Langsung Tony
menggeletak. Magdalena, kedua anaknya Katharina dan Ivan, serta
pembantu rumah tangga, Siti, hampir serentak berteriak. Anjing
Herder menyalak-nyalak bagai akan menggigit PCS.
Keadaan ini menyebabkan PCS panik. Ia memerintahkan Magdalena
mengurung anjing itu. Keempat orang yang masih hidup itu segera
masuk kamar tidur. Peluru selanjutnya diarahkan pada Magdalena
yang duduk di pinggir ranjang sambil menggendong Ivan, 2 tahun.
Tepat kena kepala Magdalena. Menggeletak dengan tangan masih
merangkul Ivan. Laras pistol kemudian ditujukan pada Siti.
Perempuan muda ini tersungkur di lantai dekat majikannya. Ivan
yang menggeletak di tempat tidur dapat giliran nomor 4. Giliran
terakhir ke arah kepala Katharina, 4 tanun. Anak ini tidak
langsung tewas dengan satu peluru. Dalam pemeriksaan pendahuluan
PCS mengakui bahwa Katharina dibenamkan ke bak kamar mandi.
Sebab waktu iu gadis cilik tadi walaupun bercucuran darah masih
bisa lari. Di persidangan keterangan itu dicabut PCS. Menurut
ingatannya semua korban tergeletak dan ia tidak tahu siapa yang
membawa Katharina ke kmar mandi. Tapi PCS juga mengakui tidak
ada orang lain yang datang kecuali dia sendiri.
Bagian lain dari pemeriksaan pendahuluan ada juga yang
dicabutnya. Yaitu jawaban yang menyebut bahwa dari rumah. PCS
juga membawa pakaian untuk ganti bila pakaian yang dikenakannya
terkena percikan darah ketika membunuh Tony dan keluarganya.
Kata PCS, ia hanya membawa pistol, tanpa pakaian. Ia mencabut
pengakuan karena ketika diperiksa di Skogar merasa ditekan.
Sedangkan pemeriksaan oleh majelis hakim, katanya, "lebih fair".
Lalu terjadi tanya jawab agak sengit antara tertuduh dengan
Oditur Ahmad Nasution, sang Letkol yang juga bertitel SH itu.
Oditur ini pernah diperingatkan hakim dan diprotes pembela
karena menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan keterangan saksi
sedangkan para saksi belum diajukan.
Menarik pula tanya jawab antara hakim dengan tertuduh mengenai
ihwal tembak-menembak. Hakim anggota bertanya apakah orang akan
mati bila ditembak kepalanya dengan pistol FN dengan jarak 2
meter. Begini jawaban PCS. "Kalau dalam film . . . mati. Sebab
saya belum pernah menembak orang". Barulah kemudian ia mengakui
bahwa menurut akal sehat orang akan mati ditembak seperti itu.
Tony ditembak dalaun jarak 1 12/ meter. Tertuduh juga mengakui
bahwa penembakan dilakukan dengan tujuan untuk "mematikan
musuh". Tony yang telah ingkar janji dianggapnya sebagai musuh.
Ia terpaksa menembak karena panik. Namun ia agak repot
menjelaskan arti kata "panik". "Susah juga untuk
menguraikannya", katanya. Kurang lebih berarti "tenang, tidak
memperhitungkan risikonya". Memang tertuduh mengakui bahwa laras
pistol sengaja diarahkan pada sasaran. "Tapi soal kena, bisa
saja kebetulan", ujarnya. Seluruh korban 5 orang itu semua
terembus peluru di kepalanya. "Saya sendiri heran", ujar
tertuduh yang merasa kurang mahir dalam latihan menembak.
Banyak tembakannya yang meleset pada waktu latihan tapi ketika
menghadapi Tony sekeluarga, dalam keadaan panik. toh bisa
mengenai sasaran dengan jitu.
Pengakuan tertuduh mengenai pinjaman Rp 200 ribu ini merupakan.
hal baru tentang latar belakang dan motif pembunuhan terhadap
keluarga Tony. Dulu pernah tersiar spekulasi bahwa peristiwa
berdarah itu bersumber pada soal warisan. Maka ibu dan saudara
Tony pernah berurusan dengan polisi. Malah ada saudara Tony yang
mengaku terlibat dalam pembunuhan ini. Akibatnya seorang
wartawan yang ikut dalam pemeriksaan pendahuluan di kepolisian
tidak bisa menahan emosinya dan menghadiahkan bogem mentah
kepada tersangka. Benar tidaknya keluarga Tony terlibat sampai
kini masih jadi tandatanya. Kadapol Metro Jaya (waktu itu)
Mayor Jendersl Polisi drs. Widodo BUdidarmo pernah menyatakan,
pemeriksaan orang-orang sipil sudah selesai, tinggal menunggu
tersangka yang anggota ABRI. Tapi sampai PCS dibawa ke Mahkamah
Militer, tersangka dari keluarga Tony belum diketahui
kelanjutannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini