MENYUSUL laporannya tentang berbagai pungutan ekspor karet di
Jambi (TEMPO, 23 Oktober), Harun Musawa -- yang mengikuti
Lokakarya Karet di Jambi baru-baru ini -- menulis tentang lelang
karet yang terjadi di sana. Berikut ini laporannya:
Jali, salah seorang penyadap karet di Jambi, asal Purworejo,
mengaku telah banyak berhutang pada taukenya. Hutang uang, bahan
makanan (beras dan ikan asin), sampai hutang budi. Seperti Peno
dan Sarno yang berasal dari Pati walaupun mereka tinggal di
gubuk kulit kayu di tengah hutan karet, masih terhitung numpang
di atas tanah majikan. Hasil sadapan yang diperoleh setiap hari,
yaitu 2/3 bagian, semuanya terpaksa harus dijual langsung kepada
majikan pemilik hutan karet. Tauke, yang juga disebut
petani-pemilik, menjualnya lagi kepada pedagang-pengumpul yang
disebut kaw puik.
Antara tauke dengan kaw puik ini juga ada ikatan yang kuat.
Petani biasanya sudah terikat dengan hutang abadi. Dan itu semua
harus dibayar dengan getah karet. Harganya sudah tentu miring.
Belum lagi jika kaw puik ini bermain dengan timbangan dan mutu
getah. Misalnya: karena getah karet rakyat itu biasanya kotor
dan basah, maka taksiran beratpun dikurangi. Mutupun dipandang
jadi sangat merosot. Berapa berat dan mutu yang sebenarnya. itu
rezeki kaw puik sendiri yang ditentukan bersama pemilik pabrik
crumb rubber.
Kemajuan teknis selama ini di bidang mutu perkaretan -- seperti
teknik crumb rubber -- ternyata belum lagi membawa perbaikan
dalam komposisi penerimaan petani. Begitu dilaporkan Pemda Jambi
dalam suatu rapat mengenai penanaman modal, bulan Juli, di
Jakarta. Karena tataniaga lama seperti di atas, menurut Gubernur
Jambi Djamaluddin Tambunan, sangat merugikan petani. Hanya 20%
penerimaan petani dari seluruh harga karet. Selebihnya banyak
diserap oleh perantaranya, kaw puik dan fabrikan.
Syukur nasib petani yang demikian itu cukup mengundang
perhatian. Lokakarya Karet di Jambi baru-baru ini banyak juga
omong mengenai nasib mereka. Lokakarya menyetujui tindakan
Gubernur Jambi setahun lalu: membuka Pool Lelang Karet.
Diharapkan cara ini akan membuka tataniaga baru yang memberi
harapan lebih baik bagi petani karet. Dalam tataniaga baru ini,
petani boleh secara bebas berhubungan dengan pembelinya di
tempat pelelangan. Di sana semuanya akan serba terbuka. Yang
menimbang ditunjuk para pegawai kantor lelang. Yang menentukan
mutu adalah sebuah laboratorium milik pemerintah. Harga juga
terbuka: pemerintah akan memonitor harga karet Singapura.
Setelah dipotong biaya transpor, asuransi dan lain-lain, secara
terbuka diumumkan harga-dasar.
Merasa Diadu
Namun lelang semacam itu berjalan setahun dengan banyak kritik.
Seperti kata MS Amdan, Wakil Ketua DPRD Jambi: "Saya tak yakin
lelang itu berjalan seperti yang diharapkan". Amdan berani
menyatakan: "Belum seorang petanipun yang mengunjungi sendiri
pelelangan". Bagi para petani, di samping repot jika harus
membawa sendiri karetnya yang sedikit itu jauh-jauh ke tempat
lelang, mereka ternyata masih terikat erat dengan kaw puik.
Suasana di tempat lelang sendiri, dengan cuma diikuti 6 pabrik
crumb rubber, tak setegang di pasar lelang ikan. Harga begitu
tertib seperti ada yang mengatur. Contohnya: harga-dasar karet
KKK (kadar kering karet) 72% sekilonya Rp 137,50. Tanpa
kelihatan ada persaingan yang seru terciptalah harga jadi Rp
220. Untuk karet KKK 67%, harga-dasar Rp 121,45, ada yang berani
menawar sampai Rp 153. Begitu juga yang KKK 57, harga-dasar Rp
100,03 bisa memperoleh pembeli seharga Rp 155. Begitu teraturnya
sang harga, sehingga banyak orang yang bertanya-tanya:
jangan-jangan ini cuma lelang buatan. Artinya pabrik sengaja
melelan karetnya sendiri untuk kemudian ditawarnya sendiri
dengan harga tertinggi agar tak jatuh ke tangan orang lain.
Seorang kaw puik yang ditemui TEMPO di atas perahu, membenarkan
'lelang' proforma macam itu. Karet yang berasal dari hutan
sepanjang sungai Batanghari, kata kaw puik itu, memang milik
pabrik PT Angkasa Raya. Tapi terpaksa masuk lelang dulu sebelum
ke pabrik, "karena itu peraturan Gubernur", katanya. Mungkinkah
karet itu ditawar dan jatuh ke pabrik lain?"Tak mungkin, karena
siapapun-tahu karet ini bukan miliknya". "Dan Angkasa Raya nanti
akan pasang harga paling tinggi, supaya karet ini tak jatuh ke
tangan orang lain", tutur kaw puik.
Rudy Maukar dari PT Jambi Waras memberi koreksi atas praktek
pelelangan semacam itu. "Memang ada pelelangan proforma",
katanya. "Tapi itu berlaku untuk karet yang kami beli sendiri
dari luar daerah, dari Banjarmasin atau Pontianak". Memang agak
aneh kedengarannya kalau karet milik sendiripun harus masuk
lelang dulu sebelum ke pabrik. Menghindari agar tak terjadi
salah beli karet milik pabrik lain, "orang-orang kita telah
mengetahui lebih dulu sebelum pelelangan", kata Maukar.
Menurut Maukar, kalau sistim lelang begini akan tetap
dipertahankan, maka itupun harus dipraktekkan terhadap pabrikan
luar Jambi (dari Palembang atau Padang), yang selama ini membeli
karet dari Jambi tanpa melalui lelang. Menghadapi pengusaha di
luar Jambi yang bebas membeli bahan baku langsung dari petani,
keenam pabrik di Jambi, menurut Maukar, "kami merasa diadu di
gelanggang lelang".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini