Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Vonis Bebas Diobral di Pengadilan Tipikor

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dituding gemar mengobral vonis bebas. Penyebabnya, antara lain, integritas hakim yang rendah sekaligus buruknya dakwaan jaksa. Adakah ini pelemahan pemberantasan korupsi?

3 Oktober 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELEPAS memimpin sidang pemeriksaan saksi perkara korupsi, Azharyadi bergegas menuju ruang panitera pengganti. Di sana, hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung itu bukan hendak mengecek perkara atau menengok jadwal sidang berikutnya. Siang itu, Kamis pekan lalu, ia hanya ingin rehat sejenak untuk melepas penat. Sembari bersandar di kursi, pria 47 tahun itu mengisap sebatang rokok kretek favoritnya.

Sejak menjadi hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung, Januari lalu, kesibukan Azharyadi memang padat. Hakim yang juga bertugas di Pengadilan Negeri Bale Bandung itu sering mendapat tugas menyidangkan tiga-empat perkara sehari. Diresmikan Desember 2010, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung memang kebanjiran perkara. Semua kasus korupsi di Jawa Barat diadili di situ. "Saya juga masih menangani perkara lain di luar korupsi," kata Azharyadi kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Posisinya sebagai hakim Pengadilan Tipikor—demikian pengadilan khusus ini disebut—membuat lelaki yang punya hobi mengoleksi sedan Mercy Tiger itu kerap mendapat sorotan. Az­haryadi adalah ketua majelis hakim—dengan anggota Joko Siswanto dan Iskandar Harun—yang memvonis bebas Wakil Wali Kota Bogor (nonaktif) Ahmad Ru’yat dalam perkara korupsi anggaran Kota Bogor 2002 senilai Rp 6,8 miliar. Ru’yat, yang saat itu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bogor, dituduh menerima dana penunjang kegiatan Dewan sebesar Rp 112 juta.

Banyak orang menilai vonis ini janggal. Tak terkecuali kejaksaan yang menangani perkara itu. Menurut Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Fadil Jumhana, vonis ini bertentangan dengan putusan atas 32 bekas kolega Ru’yat yang turut menikmati duit itu. Di tingkat banding, mereka tetap dinyatakan bersalah. Bahkan bekas Ketua DPRD Bogor Mochamad Sahid sudah diputus bersalah di tingkat Mahkamah Agung. Jadi, kenapa Ru’yat bisa bebas? Kejaksaan bertekad meminta kasasi atas bebasnya Ru’yat. "Perkaranya sama, kenapa putusan beda?" kata Fadil.

Tak hanya dalam kasus Ru’yat, Azharyadi disorot karena ia ketua majelis perkara korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Bekasi senilai Rp 5,5 miliar dengan terdakwa Wali Kota Bekasi (nonaktif) Mochtar Mohamad. Perkara ini ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi. Bersama hakim Eka Saharta Winata dan Ramlan Comel, Azharyadi mengabulkan permohonan penangguhan penahanan Mochtar di awal persidangan Juni lalu. Alasannya, Mochtar mengidap penyakit jantung koroner semenjak menja­lani penahanan Desember lalu.

Alasan sakit itu dipertanyakan lantaran beredar video Mochtar menyanyi di situs jejaring sosial YouTube sehari setelah ia berstatus tahanan kota. Dalam video berjudul Wali Kota Bekasi Mochtar Mohamad Ikuti Jejak Briptu Norman itu, Mochtar tengah berjoget sembari mendendangkan lagu Tapanuli, Sai Anju Ma Au, di depan beberapa pegawai negeri Pemerintah Kota Bekasi. Selama ditahan di Rumah Tahanan Kebon Waru, Bandung, menurut seorang jaksa, Mochtar juga sehat dan tak pernah terlihat mengalami depresi. Ia bahkan pernah menyanyi bareng Ariel Peterpan, yang ditahan di penjara yang sama karena terbelit perkara video porno.

Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia Bunyamin Saiman mengatakan status tahanan kota Mochtar merupakan bentuk keistimewaan. Perlakuan itu, kata dia, juga diterima Ru’yat dan Bupati Subang (nonaktif) Eep Hidayat. Agustus lalu, majelis hakim Pengadilan Tipikor Bandung yang diketuai I Gusti Lanang Dauh, dengan anggota Nurhakim dan Ramlan Comel, memvonis bebas Eep dalam perkara upah pungut pajak Subang senilai Rp 14 miliar. Alasan hakim, tuduhan itu tidak diperkuat audit Badan Pemeriksa Keuangan. Kejaksaan sudah meminta kasasi atas vonis ini.

Bunyamin khawatir vonis Mochtar yang akan dibacakan Senin pekan depan ini sama dengan vonis Ru’yat dan Eep. Apalagi, kata dia, dua anggota majelis perkara Mochtar adalah bagian dari majelis kasus Ru’yat dan Eep. Hakim ad hoc Ramlan Comel adalah anggota majelis perkara Eep. Sedangkan Azharyadi adalah anggota majelis kasus Ru’yat. "Jangan sampai ini jadi vonis bebas ketiga," ujarnya.

Azharyadi sendiri menganggap perkara Mochtar tidak istimewa. Soal vonisnya, kata dia, baru dibahas majelis Senin ini. Adapun perihal Ru’yat, ia mengatakan terdakwa memang layak divonis bebas. Ketua Pengadilan Tipikor Bandung Joko Siswanto menyebutkan vonis bebas itu mutlak kewenangan hakim. Dua vonis bebas itu, kata dia, tidak bisa dijadikan parameter menilai negatif Pengadilan Tipikor Bandung.

l l l

NAMANYA I Gusti Ngurah Astawa. Menjabat Wakil Ketua Pengadilan Negeri Surabaya sekaligus Wakil Ketua Pengadilan Tipikor Surabaya, dialah hakim yang bisa disebut paling "murah hati" terhadap koruptor. Sejak Pengadilan Tipikor Surabaya diresmikan, Desember lalu, Astawa telah memvonis bebas delapan terdakwa korupsi.

Menurut register perkara pengadilan, Astawa memvonis bebas tujuh terdakwa perkara korupsi proyek lift Pemerintah Kota Surabaya dan Rumah Sakit Bhakti Dharma Husada, Surabaya. Mereka adalah pejabat Kota Surabaya dan petinggi perusahaan rekanan. Dana negara yang diduga ditilap dalam proyek tersebut Rp 5,3 miliar. Alasan hakim, audit yang dipakai kejaksaan bukan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, melainkan dari lembaga swasta.

Menurut Panitera Muda Pengadilan Tipikor Surabaya Suhadak, sampai September ini, pengadilan sudah memutus bebas 21 terdakwa. Jumlah itu sudah termasuk yang divonis bebas I Gusti Ngurah Astawa. Menurut Suhadak, ada berbagai alasan hakim membebaskan terdakwa. Misalnya perkara sudah kedaluwarsa. Ini terjadi pada kasus gratifikasi Rp 400 juta yang melibatkan empat bekas Direktur PT Surabaya Industrial Estate Rungkut. Dalam kasus ini, terdakwa dibebaskan melalui putusan sela.

Bebasnya terdakwa korupsi melalui putusan sela juga pernah terjadi di Pengadilan Tipikor Jakarta. Februari lalu, majelis hakim pengadilan itu menerima eksepsi Mieke Henriett Bambang, bekas karyawan Bank Indonesia, yang didakwa menghalang-halangi penyidikan perkara korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Dengan ancaman hukuman tiga tahun penjara, dakwaan jaksa hanya dibuat dalam lima lembar kertas kuarto.

l l l

BANYAKNYA koruptor yang bebas di Pengadilan Tipikor membuat prihatin sejumlah kalangan. Indonesia Corruption Watch, misalnya. Menurut Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch Emerson Yuntho, Pengadilan Tipikor kini bukan lagi "kuburan" para koruptor, melainkan sudah menjadi "surga" koruptor. Wajah Pengadilan Tipikor, kata dia, kini tak ubahnya seperti pengadilan umum saja. "Ini upaya pelemahan pemberantasan korupsi," ujarnya.

Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia melihat upaya pelemahan Pengadilan Tipikor sudah terjadi sejak undang-undang pengadilan khusus itu disahkan. Menurut Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Hasril Hertanto, ketua pengadilan terlalu diberi kewenangan besar menentukan komposisi hakim.

Seorang hakim senior mengatakan hakim ad hoc untuk Pengadilan Tipikor daerah memang terkesan hanya jadi "stempel". Padahal, kata dia, hakim ad hoc semestinya mampu memupus citra buruk hakim karier. Hakim ad hoc Tipikor di daerah hampir tak ada yang menyatakan beda pendapat (dissenting opinion). Buruknya rekrutmen hakim ad hoc menjadi biang keladinya.

Indriyanto Seno Adji, guru besar hukum pidana Universitas Indonesia yang juga anggota seleksi hakim ad hoc Tipikor, membantah rekrutmen yang dilakukan tim seleksi hakim ad hoc ala kadarnya. Selain dilakukan seleksi ketat, rekam jejak calon ditelusuri. Hanya, kata Indriyanto, hakim ad hoc yang baru memang perlu penyesuaian. Banyaknya putusan bebas di Pengadilan Tipikor itu karena perkaranya sudah lemah dari awal. "Seharusnya kalau buktinya benar-benar kuat baru diajukan," ujarnya.

Hakim ad hoc Surabaya, Gazalba Saleh, tidak sependapat jika dikatakan banyaknya putusan bebas korupsi itu karena kualitas hakim ad hoc rendah. Gazalba mengaku pernah menyatakan beda pendapat dalam putusan bebas korupsi. Ia menunjuk dakwaan lemah yang jadi biang keroknya. Kejaksaan, kata dia, seharusnya tidak mengajukan perkara yang minim bukti. Hakim memutus perkara berdasarkan dakwaan. "Adonan dari jaksa yang harus diperbaiki," ujar Gazalba.

Pihak kejaksaan tidak mau disudutkan. Fadil Jumhana menyebutkan jajaran kejaksaan Jawa Barat sudah maksimal menyeret terdakwa korupsi ke pengadilan dengan bukti setumpuk. Karena itu, kejaksaan bertekad akan mengajukan perlawanan jika hakim menjatuhkan vonis bebas bagi terdakwa korupsi. Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Mulyono sependapat dengan Fadil. Kejaksaan, katanya, dalam menangani perkara korupsi, telah bekerja sesuai dengan undang-undang. "Tidak elok menyalahkan jaksa," ujar Mulyono.

Anton Aprianto, Rofiuddin (Semarang), Kukuh S. Wibowo (Surabaya), Erick P. Hardi, Ahmad Fikri (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus