Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARIS Azhar, Direktur Eksekutif Lokataru, dan Fatia Maulidiyanti, mantan koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, belum bisa bernapas lega meski Pengadilan Negeri Jakarta Timur memvonis bebas keduanya pada 8 Januari 2024. Setelah hakim membacakan putusan, jaksa langsung menyampaikan rencana menguji kembali vonis itu ke Mahkamah Agung. “Kami menyiapkan kasasi,” ucap pelaksana harian Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Herlangga Wisnu Murdianto, kepada Tempo, 12 Januari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Herlangga enggan membeberkan alasan penuntut mengajukan permohonan kasasi. Ia menjelaskan, alasan kasasi bakal disusun ke dalam memori kasasi yang segera dikirim ke MA. Saat ini jaksa masih mempelajari isi putusan yang dibacakan oleh majelis hakim yang diketuai Cokorda Gede Arthana serta beranggotakan Muhammad Djohan Arifin dan Agam Syarief Baharudin itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Haris Azhar terkekeh mendengar rencana jaksa. Ia menganggap tak ada lagi celah jaksa untuk mengajukan permohonan kasasi. Menurut dia, argumentasi majelis hakim sudah tepat dalam menempatkan fakta yang muncul di persidangan. “Hakim cerdas memahami kebebasan berekspresi,” ujar pengacara dari kantor penasihat hukum Lokataru itu.
Saat membacakan putusan, Cokorda Gede Arthana menyatakan Haris dan Fatia tidak terbukti melanggar Pasal 27 ayat 2 juncto Pasal 45 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Haris dan Fatia dilaporkan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang merasa namanya dicemarkan. “Apa yang diperbincangkan bukanlah termasuk dugaan penghinaan,” tutur Cokorda.
Pasal 244 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana memang membolehkan jaksa mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan bebas hakim di tingkat pengadilan negeri. Langkah hukum jaksa itu dikuatkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi—kala itu dipimpin Mohammad Mahfud Md.—pada 2013 yang menghapus frasa “kecuali terhadap putusan bebas” di Pasal 244 KUHAP. Sebelumnya, upaya kasasi jaksa terhadap putusan bebas kerap menjadi kontroversi.
Dalam kasus Haris dan Fatia, kritik tak cuma ditujukan pada upaya kasasi jaksa. Kelompok masyarakat sipil menilai kasus Haris dan Fatia bahkan tak perlu diproses hingga pengadilan.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform, Erasmus Napitupulu, mengatakan kritik Haris dan Fatia kepada Luhut merupakan kebebasan berpendapat dan dilakukan demi kepentingan publik. Apalagi jaksa tak bisa membuktikan tuduhan yang menyebutkan ucapan haris dan Fatia menyebabkan kerusuhan. “Untuk membuktikan tuduhan ini, jaksa justru hanya menunjukkan perdebatan dalam kolom komentar podcast YouTube Haris dan Fatia,” ucapnya.
Erasmus menyebutkan vonis bebas Haris dan Fatia menjadi preseden bagi aparat penegak hukum dalam menangani kasus pencemaran nama yang menggunakan Undang-Undang ITE. Selama ini Undang-Undang ITE dianggap momok karena kerap digunakan untuk mengkriminalisasi pihak yang menyampaikan pandangan kritis. “Kritik terhadap kepentingan umum memang tak semestinya masuk ranah pidana,” ujarnya.
Haris Azhar juga beranggapan putusan bebas itu menjadi contoh bagi pengadilan lain dalam menangani kasus serupa. Ia mengaku mesti menunggu putusan MA baru bisa merasa bebas. Tapi, apa pun hasilnya, Haris menambahkan, kasusnya menggambarkan komitmen lembaga yudikatif dalam menjaga kebebasan berpendapat. “Pemerintah juga dapat menjadikan putusan ini sebagai rujukan bahwa masyarakat memiliki hak mengkritik pejabat,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kasasi Minim Bukti"