Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Vonis cendana setan

John anggrek, pengusaha NTT, dibebaskan PT Nusa Tenggara Timur. sebelumnya ia divonis PN Kupang 1 tahun penjara karena dianggap memberikan sumpah palsu di persidangan penyelundupan kayu cendana.

28 Januari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGUSAHA ternama Nusa Tenggara Timur, tokoh Dewan Kerajinan Nasional dan pemilik beberapa perusahaan di Kupang, John Anggrek, kini dibebaskan pengadilan tinggi daerah itu. Sebelumnya, John, 55 tahun, divonis Pengadilan Negeri Kupang I tahun penjara karena dianggap memberikan sumpah palsu di persidangan penyelundupan kayu cendana -- dengan terdakwa At Ibrahim. Kamis dua pekan lalu, di rumahnya yang megah di Jalan Sumba, Kupang, pengusaha ini mengadakan misa syukur. "Putusan ini mengejutkan, saya bersyukur pada Tuhan," kata John pada TEMPO Di persidangan, ia merasa tak diberi hak yang cukup untuk bicara. Karena itu, suatu kali, karena menahan emosi, ia sampai jatuh pingsan. John, yang sempat mendekam 24 hari -- sebelum dikenai tahanan luar di LP Kupang yang terkenal sangat garang panasnya itu, mengaku kehilangan delapan kilo berat badannya. Derita Anggrek itu bermula dari sebuah sidang penyelundupan kayu cendana. Di sidang itu, At Ibrahim, karyawan PT Sinma Line Kupang, dituduh menyelundupkan 77 koli cendana gelondongan ke Surabaya pada 5 Mei 1987. Kejahatan itu digagalkan polisi di Pelabuhan Tenau, Kupang. Di persidangan itulah nama John Anggrek terbawa-bawa. At Ibrahim mengaku menitipkan cendananya di gudang PT Dharma Bhakti -- milik John Anggrek -- di daerah Osmok, Kupang, sebelum diangkut ke pelabuhan dengan dua truk. John, yang dipanggil sebagai saksi, membantah keras keterangan itu. Ia, katanya, tak tahu-menahu soal cendana selundupan di gudangnya. Pada saat kejadian, John merasa tak pernah membuka atau menyuruh orang membuka gudangnya. "Kunci gudang selalu saya pegang sendiri," ujar John. Kesaksian itulah yang diragukan kebenarannya oleh Jaksa Yohannes W. Mere. Sebab, Ibrahim dan dua orang sopir truk yang mengangkut cendana itu mengaku bahwa barang selundupan itu ditimbang dulu oleh Jerry Un, seorang pegawai John Anggrek, di gudang tersebut. Tentu, tutur Yohannes, tak mungkin John tak tahu. Apalagi seorang pegawai Anggrek lainnya, Oregenes Irinius Naiolap, membantah cerita majikannya. Oregenes mengaku pernah disuruh membuka gudang. Berdasar itu John diadili dengan tuduhan langka: kejahatan sumpah palsu, dan divonis setahun penjara. Vonis Agustus lalu itu yang kini dibatalkan Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara Timur (NTT). Majelis hakim banding yang diketuai Samsudi Kanta Atmadja justru yakin bahwa At Ibrahim dan dua sopir truk tadilah yang mengarang cerita seolah-olah mengangkut cendana dari gudang John. "Mereka bilang, di depan gudang itu cuma ada tanah kosong yang ditumbuhi rumput. Padahal, ada bangunan begitu besar disana," kata Samsudi lagi. Artinya, mereka tak pernah datang ke gudang John. Selain itu, hakim meragukan tokoh Frengky, yang disebut Ibrahim sebagai pegawai gudang John tempat ia menitipkan kayu cendana itu. Tapi belakangan Ibrahim mengaku tak kenal Frengky. Siapa Frengky? "Tak pernah dimunculkan di sidang. Bisa saja ia tokoh fiktif," kata Samsudi, menyesalkan keteledoran jaksa Kupang. Tapi bebasnya John, orang kuat Kupang itu, menimbulkan isu di daerah tersebut, seakan-akan hakim banding menerima suap. Tuduhan itu segera ditangkis Samsudi. "Kami menjalankan tugas ini dengan segala kejujuran," katanya. Agar vonis itu obyektif, katanya, ia sengaja memilih hakim anggota yang baru bertugas -- kurang dari setahun -- di Kupang. Jaksa Yohannes W. Mere tentu saja kecewa atas vonis itu. "Majelis hakim di tingkat banding tampaknya kurang obyektif menilai fakta," kata jaksa ini. Ada yang ganjil dalam perkara itu. Jaksa, misalnya, sampai kini tak pernah menyeret siapa sebenarnya pemilik barang selundupan itu. At Ibrahim, yang divonis 1 bulan 20 hari -- kini sudah bebas -- terbukti hanya orang suruhan. "Ia hanya pengangkut," kata Yohannes. Ibrahim sendiri sudah lama "menyanyi" bahwa cendana itu sebagian milik Susanto Sudarmaji alias Nam Sang, pemilik toko Budi Jaya di Kupang, dan sebagian lagi milik Ibu Lomi Rihi, seorang pengusaha Kupang, serta I Ketut Rimpen, pengusaha cendana asal Denpasar. Anehnya, kecuali Nam Sang, yang pernah satu kali dihadapkan sebagai saksi di sidang, jaksa tak pernah membawa kedua pengusaha yang lain tadi. Apalagi menghadapkannya sebagai terdakwa. "Lomi Rihi sudah beberapa kali dicari, tapi tak ketemu," begitu Jaksa Yohannes beralasan. Jadi, siapa sesungguhnya pemilik kayu cendana yang tak bisa diselundupkan itu? Mungkinkah cendana-cendana itu, yang oleh penduduk Kupang kerap disebut kayu setan, milik setan ?Toriq Hadad dan Jalil Hakim (Biro Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus