TERPIDANA mati dalam perkara subversi, Azhar bin Mohammad Safar, mencoba melawan maut pada saat-saat akhir. Berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap dan penolakan grasinya, bekas "tangan kanan" Imran itu seharusnya sudah menghadapi regu tembak pada 14 Desember lalu. Namun, eksekusi itu ditangguhkan. Sebab, sekitar 7 jam menjelang eksekusi tepatnya 13 Desember malam -- Azhar mengajukan permohonan peninjauan kembali (herziening) atas vonis matinya secara lisan. Rabu pekan lalu, Azhar yang tetap berjanggut tebal itu membacakan nota permohonan herziening -- dengan tulisan tangannya -- di Aula LP Sukamiskin, Bandung, di depan majelis hakim yang diketuai Zaid Sungkar dari Pengadilan Negeri Bandung, Jaksa Ridwan Mukiat. Hadir pula sekitar 30 orang peninjau, di antaranya dari Kanwil Kehakiman Jawa Barat, kepolisian, serta pengadilan. Dalam permohonan setebal enam halaman itu, Azhar menolak dijatuhi hukuman mati. Sebab, apa yang telah ia lakukan, katanya, adalah upaya membela kebenaran sebagai umat Islam yang konsekuen dan taat pada ajaran Quran dan Hadis. Dalam nota permohonan itu, Azhar memang lebih banyak mengutarakan alasan kebenaran bersikap dan bertindak selaku muslim. Selain itu, bekas mahasiswa kedokteran Yarsi, Jakarta, itu juga menganggap putusan hakim yang menjatuhkan hukuman mati mengandung hal-hal yang bertentangan, dan telah menyalahi proses hukum acara pidana. Pertimbangan lain, katanya, Menko Polkam Sudomo dan LBH Jakarta, seperti ditulis beberapa media massa, juga pernah berpendapat tidak setuju adanya hukuman mati. Tapi Jaksa Ridwan Mukiat menganggap alasan permohonan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP. Atas tanggapan jaksa, majelis hakim hanya menyatakan sekadar memproses permohonan --herziening saja. Artinya, apakah itu memenuhi alasan dalam KUHAP, yakni adanya bukti baru, adanya putusan hakim yang bertentangan, dan kekhilafan hakim dalam memutus perkara tersebut. Selanjutnya, melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, majelis meneruskan permohonan itu berikut berkas perkaranya ke Mahkamah Agung (MA). "Mahkamah Agunglah yang berwenang memutuskan diterima-tidaknya permohonan itu," kata Humas Pengadilan Jakarta Selatan, Moch. Taufik. Azhar, 44 tahun, divonis hukuman mati, 1982, oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dipimpin Pitoyo. Anggota Jamaah Imran itu, menurut majelis hakim, terbukti melakukan serangkaian kejahatan subversi bersama Imran, dengan tujuan mendirikan negara Islam. Beberapa tindak pidana subversi yang dilakukan Azhar bersama Jamaah Imran antara lain melakukan penyerbuan pos polisi Cicendo, Bandung, pembajakan pesawat Garuda Woyla di bandar udara Don Muang, Bangkok, 1981, menyimpan dan memiliki senjata api dan mesiunya, dan melatih teknik menembak bagi para anggota Jamaah Imran. Azhar, yang semula bersikeras hanya mau diadili di pengadilan Islam, akhirnya bersedia diperiksa pengadilan umum. Ia naik banding. Tapi Pengadilan Tinggi dan MA, 1983, ternyata mengukuhkan putusan pengadilan bawahannya itu. Hal serupa juga terjadi pada perkara Imran dan Salman, keduanya juga divonis hukuman mati. Berdasarkan itu, sebetulnya vonis Azhar telah berkekuatan tetap. Tapi Azhar mengajukan permohonan grasi kepada Presiden. Pada 14 September 1988, grasinya ternyata ditolak. Hukuman mati Azhar sedianya akan dilaksanakan pada 14 Desember 1988. Tapi sehari setelah dipindahkan dari LP Cirebon ke LP Sukamiskin, Azhar tanpa menggunakan jasa pengacara mengajukan herziening ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Proses permohonan itu disidangkan di LP Sukamiskin tak lain lantaran, "pertimbangan praktis saja, yang menyangkut biaya dan keamanan," ujar Taufik. Bagaimana nasib herziening itu memang masih diperiksa MA. Yang menjadi masalah, bisakah vonis hakim yang sudah ditolak grasinya diupayakan lagi melalui herziening? Menurut Ketua Muda MA, Adi Andojo Soetjipto, bisa saja upaya itu ditempuh terpidana. "Tidak ada ketentuan yang melarang kalau grasinya sudah ditolak tak bisa lagi mengajukan herziening," kata Adi Andojo. Kasus serupa, kata Adi Andojo, sebetulnya pernah ditempuh terpidana mati Timsar Zubil di Pengadilan Negeri Medan, 1985. Semula vonis mati terhadap tokoh gerakan "Komando Jihad" dalam perkara subversi itu telah berkekuatan pasti -- bahkan grasinya pun sudah ditolak. Tapi Timsar pantang mundur dan mengajukan herziening. Ternyata, MA bukan hanya menerima permohonan itu. MA kemudian juga mengubah vonis Timsar menjadi penjara seumur hidup. Begitu pula dalam kasus Azhar. Permohonan peninjauan kembali tak dibatasi jangka waktu. Tapi, "permohonannya itu baru diproses menurut prosedur yang ada. Majelis hakim agung nantinya yang akan memutuskan apakah herziening itu memenuhi alasan-alasan dalam KUHAP," kata Adi Andojo lagi. Untuk itu pula, katanya, eksekusi ditangguhkan. Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus, Singgih, menyatakan seharusnya herziening Azhar itu diputus tidak diterima MA. Sebab, "permohonan peninjauan kembalinya tak memenuhi satu pun alasan-alasan sebagaimana ditentukan KUHAP," ujar Singgih kepada TEMPO di tengah-tengah acara kunjungan Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono di Ujungpandang, Senin pekan ini. Jadi, bisakah Azhar bernasib baik seperti Timsar? Hakim Taufik mengakui, dalam permohonan herziening dan berkas perkara Azhar tak ada hal-hal atau pun bukti baru. "Permohonan herziening itu sekadar mengulur-ulur waktu eksekusi saja," kata seorang hakim lainnya di Bandung. Sebelumnya, pimpinan Azhar, yakni Imran, sudah menjalani hukuman mati pada Maret 1983. Juga Salman telah menghadap regu tembak di Cimahi, Jawa Barat, pada Februari 1985. Kini MA akan memutuskan bagaimana nasib Azhar.Happy S., Muchsin Lubis, (Jakarta), dan Gatot Triyanto (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini