Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Silang pendapat sekitar emerald

Orang ramai membicarakan "emerald network"-TV swasta dari darwin, Australia, yang khusus merancang siarannya untuk Indonesia. Emerald menyewa transponder palapa, tapi untuk hak siaran, harus ada izin.

28 Januari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IDEOLOGI memang lain dengan teknologi. Salah satu bedanya, teknologi terus berkembang, sedang ideologi tidak. Jadi, tidaklah terlampau salah kalau ada yang berkata, "Teknologi bukan sekadar sarana untuk memantapkan ideologi, tapi bisa juga sebagai faktor yang mengancam kemantapan ideologi itu sendiri." Contoh: "merembesnya" siaran-siaran TV asing ke Indonesia. Dalam kaitannya dengan ini, pekan lalu orang ramai membicarakan Emerald Network -- TV swasta dari Darwin, Australia yang khusus merancang siarannya untuk Indonesia. Masalahnya terutama karena Emerald sejak dua tahun lalu telah menandatangani sewa sebuah transponder Palapa B2P dari Perumtel. Tapi banyak departemen yang berwenang di bidang hak penyiaran tidak tahu-menahu adanya kontrak tersebut. Seperti diungkapkan Menteri Penerangan Harmoko, "Saya tahu tentang Emerald setelah muncul di media massa." Menurut Menpen, aturan penyiaran televisi sangat lain dengan radio. Siaran radio bersifat universal, tapi siaran TV di Indonesia khusus diatur oleh Keputusan Presiden Tahun 1963 dan Keputusan Menpen Tahun 1986. Dalam kedua putusan tersebut ditetapkan, hak penyiaran TV hanya boleh diselenggarakan oleh TVRI. Atau kalau tidak, oleh badan penyiaran lain di Indonesia yang bekerja sama dengan TVRI. "Jadi, jangan seenaknya saja," tutur Menteri. Sebagai contoh, adalah siaran pendidikan yang diselenggarakan oleh Universitas Terbuka dan TVRI. Menurut Harmoko, siaran itu bisa terlaksana setelah ada koordinasi antara Deppen dan P & K. "Itu di dalam negeri. Apalagi siaran dengan penyelenggara TV asing, seperti Emerald." Paling tidak, tutur Menpen, siaran yang dipancarkan dari luar negeri dan diperuntukkan bagi pemirsa Indonesia harus memperoleh izin dari dua departemen. Izin dan isi siaran bisa diperoleh dari Deppen. Sedangkan izln menggunakan peralatan telekomunikasi -- seperti transponder Palapa dikeluarkan oleh Departemen Parpostel. Nah, kalau Emerald, yang acaranya akan dipadati oleh siaran pendidikan untuk perguruan tinggi, harus pula ada persetujuan dari P & K. Memang, Emerald sudah memperoleh izin menyewa transponder dari Perumtel (untuk waktu 7 tahun, dengan harga sewa sekitar 700 ribu dolar setahun), "tapi izin pemakaian sarana berbeda dengan izin siaran." Menpen lebih jauh menjelaskan. Maksudnya, penyewa transponder Palapa tidak otomatis berhak melakukan siaran yang khusus ditujukan bagi konsumen Indonesia. Dikatakan oleh Menpen, perizinan seperti itu sangat diperlukan untuk menjaga agar siaran yang ditayangkan tidak sampai mengganggu stabilitas. Tapi bagaimana dengan siaran TV Malaysia, Muangthai, dan Filipina -- juga menyewa Palapa -- bisa ditangkap oleh pesawat TV yang dilengkapi antena parabola? Bahkan para pemilik parabola juga bisa menangkap siaran RRC dan Amerika. Sementara itu, di kawasan Nusa Tenggara bagian selatan, tanpa parabola, pemirsa bisa menikmati siaran TV Australia. "Kalau itu lain lagi soalnya," tutur Harmoko. Munculnya siaran asing itu semata-mata disebabkan oleh kecanggihan teknologi, berupa "perembesan" saja, bukan disengaja. Lain halnya Emerald, yang khusus membuat acara untuk Indonesia. Itu sudah menyangkut masalah kedaulatan dan peraturan di dalam negeri Indonesia. Kalau dua hal itu tidak diindahkan, kata Harmoko lagi, dapat dikategorikan sebagai intervensi di bidang penyiaran. Pendapat yang sama dilontarkan oleh Alex Leo, Dirjen Radio, Televisi, dan Film. Menurut Alex, sesuai dengan kesepakatan internasional, siaran televisi di suatu negara hanya ditujukan untuk negara itu sendiri. "Oleh sebab itu, di televisi mana pun tak ada seksi siaran luar negeri," ujarnya. Memang sulit dihindarkan, spill over alias rembesan atau luapan. Soal ini dipantau juga oleh Menko Polkam Sudomo. Dia mengakui, luapan itu merupakan salah satu kelemahan dari teknologi yang semakin canggih. Tapi harus diakui, negara-negara itu punya hak penuh untuk menyelenggarakan siaran. Bahwa pada akhirnya siaran itu tertangkap di Indonesia, itu yang tidak bisa ditangkal oleh negara mana pun. Contohnya, penggunaan antena parabola. Menurut Sudomo, sampai sekarang pemerintah tak mungkin mengontrol penggunaan parabola. Padahal, dua tahun lalu, ketika demam parabola mulai melanda Indonesia, pemerintah telah menurunkan aturan pemakaiannya. Dirjen RTF menegaskan -- waktu itu masih dijabat Subrata -- bahwa antena parabola hanya boleh diarahkan ke SKSD Palapa. Maksudnya tentu agar para pemilik parabola itu hanya bisa menangkap siaran yang dipancarkan melalui Palapa. Tapi pemilik parabola mana yang tahu letak Palapa? Dan bagaimana mungkin Deppen meneliti setiap parabola yang jumlahnya di atas 20 ribu itu ? "Pemerintah tidak bisa melarang orang-orang yang menangkap siaran luar negeri," kata Sudomo tegas. Bagaimana kalau ternyata siarannya membahayakan stabilitas dalam negeri? "Kami juga tidak mungkin melarang. Wong, mereka mengerjakannya di negara sendiri, kok," jawab Menko. Tentang siaran Emerald yang ditujukan khusus bagi pemirsa Indonesia, ia juga tidak memandang sebagai sesuatu yang rumit. "Kalau siarannya bagus dan bermanfaat, tidak ada masalah. Tapi kalau merugikan bagi kita, baru kita atur supaya siaran itu tidak tertangkap di sini," tuturnya. Lantas apa kata Emerald? Beberapa direksinya di Darwin, Australia, tak bersedia menjawab pada TEMPO. Bahkan salah seorang direkturnya yang mau berkunjung ke Jakarta pekan ini membatalkan niatnya. Tapi dari susunan acara yang telah beredar, tampak Emerald akan mengutamakan siaran pendidikan -- dimulai pukul 08.00 hingga 17.00. Baru setelah itu, hingga pukul 01.00, disambung dengan acara hiburan dan olahraga. Rencananya, siaran pendidikan itu akan merupakan kuliah jarak jauh. Materinya pun tidak melenceng dari kurikulum di Indonesia. Simak saja, Emerald akan menampilkan mata kuliah bahasa Inggris, manajemen, komputer, ekonomi, elektronik, marketing, antropologi, fisika, dan kedokteran. Semuanya menggunakan pengantar bahasa Inggris. Pengajarannya akan disiarkan secara langsung -- maksudnya bukan rekaman dengan menampilkan pengajar dari Australia. "Ini merupakan metode yang hemat daripada pelajarnya sendiri datang ke Australia," bunyi brosur yang telah tersebar di Jakarta itu. Lembaga atau perorangan yang berminat cukup mengeluarkan biaya 1.900 dolar AS (atau sekitar Rp3,325 juta) untuk pembelian antena parabola plus dekoder (pesawat penerima sinyal). Ditambah iuran sebagai anggota 500 dolar -- sekitar Rp875 ribu per tahun. Jika sebuah universitas atau lembaga menginginkan siaran khusus, cukup membayar 600 dolar. Tapi meskipun murah, dan mungkin akan sangat berfungsi bagi dunia pendidikan, tetap saja Emerald tidak memenuhi prosedur internasional. "Karena menyangkut masalah kedaulatan komunikasi, dia harus mendapat izin dari Indonesia," kata Alwi Dahlan, pakar komunikasi yang menjadi staf Menteri KLH. Tapi dalam kesimpangsiuran tentang Emerald ini, Alwi melihat bahwa Perumtel sebagai badan yang mengusahakan Palapa, tidak melakukan hal yang salah (karena menyewakan transponder pada Emerald). Hanya disesalkannya, "Dalam hal komunikasi, kita tidak memiliki kebijaksanaan yang terpadu." Selain itu, Alwi khawatir, "Siaran asing merupakan ancaman bagi sistem nilai yang berlaku." Sementara para pakar berbeda pendapat, tidak sedikit pemirsa yang menantikan siarannya. "Masuknya TV Australia paling tidak akan merangsang RCTI untuk memperbagus siarannya," kata seorang nyonya kaya yang memiliki parabola dan berlangganan RCTI. Benarkah? Kita tunggu keputusan pemerintah. Ya atau tidak.Budi Kusumah, Moebanoe Moera, Tri Budianto Soekarno, dan Syafiq Basri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus