INI baru perkara unik. Dua wanita Indonesia, sama-sama bernama Nila -- yang satu Nila Sari, yang lain Nila Chandra dan sama-sama pembuat kue, kini bertengkar tentang siapa di antara mereka yang diakui Ginness Book of Records (GBR) sebagai pemecah rekor dunia di bidang kue. Sengketa antara kedua Nila ini mungkin yang pertama kali terjadi dalam sejarah GBR, pencatat segala yang "ter" di dunia dan diterbitkan tiap tahun di Inggris. Apalagi pekan-pekan ini kedua ahli tata boga itu melanjutkan pertengkarannya di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Perkara langka itu bermula dari berita di berbagai media massa Ibu Kota tentang keberhasilan Nila-Sari memecahkan rekor dunia di bidang pembuatan kue (pastry). Di harian Suara Pembaruan tanggal 5 April 1988, misalnya, Nila Sari diberitakan diterima Dirjen Pariwisata Joop Ave, karena berhasil membuat kue Pohon Terang setinggi 12,6 meter, bertingkat 16, berat 1.051 kilogram, dan memperoleh sertifikat GBR sebagai Pohon Terang Tertinggi di Dunia (Tallest Christmas Tree Cake). Kemudian di harian Kompas 18 September 1988, Nila Sari disebutkan sebagai orang Indonesia pertama di bidang pastry yang tercatat dalam GBR edisi tahun 1989, yang akan terbit di Inggris. Selain itu, Nila Sari juga diberitakan berhasil menciptakan kue Bola Dunia terbesar dan kue berpanorama desa dengan sawah, gunung, dan pohon kelapa. "Keterangan itu tidak benar, hanya bernada promosi, bisa menyesatkan masyarakat," kata Nila Chandra, 62 tahun. Menurut Nila Chandra, hanya namanyalah yang akan tercatat dalam GBR edisi 1989 sebagai wanita Indonesia pertama yang memecahkan rekor pastry. Di buku itu, katanya, ia akan tercatat sebagai pembuat kue terumit di dunia. Nila Chandra meraih rekor tersebut dan bersertifikat GBR pada Maret 1988, setelah berhasil membuat kue Rumah Joglo berukuran panjang 7,5 meter, lebar 5,5 meter, setinggi 5,75 meter dari 51.000 kue basah, dan juga kue Garuda Pancasila berukuran panjang dan lebar 20 meter, serta berat 3.000 kilogram. Nila Chandra mengaku kaget ketika Nila Sari menyebarluaskan berita tentang rekor sertifikat GBR atas namanya. "Sampai-sampai teman-teman menyalami saya, mereka mengira kue Pohon Terang itu buatan saya dan masuk rekor Guinness. Padahal saya sama sekali tak punya hubungan apa pun dengan Nila Sari," kata Nila Chandra. Lebih dari itu, tambahnya, publikasi Nila Sari tersebut mengakibatkan susutnya jumlah peminat kursus di tempatnya. Karena itu, melalui Pengacara Januar Jahja, Nila Chandra -- telah berkecimpung di bidang masakan dan kue sejak tahun 1960 -- akhirnya menggugat Nila Sari. Ia menuduh lawannya melakukan perbuatan melanggar hukum, dan menuntut ganti rugi Rp1O0 juta. Perbuatan Nila Sari itu, katanya, selain mencemarkan nama baiknya selaku pemegang rekor GBR, juga merupakan suatu persaingan curang. Nila Sari, 38 tahun, menganggap gugatan Nila senior itu berlebihan. "Saya nggak merasa bersalah, kok. Saya memperoleh sertifikat itu lebih dulu dari dia," ujar Nila Sari. Kue Natal itu, katanya, dipamerkan di Balai Sidang, Jakarta, 3 Desember 1987. Kemudian pada 26 Februari 1988, keluar sertifikat GBR untuk karya tersebut. Sedangkan kue ciptaan Nila Chandra baru dipamerkan pada 12 dan 14 Maret 1988 dan memperoleh sertifikat pada 26 April 1988. Selain itu, Nila Sari menolak tuduhan bahwa akibat perbuatannya peserta kursus di tempat Nila Chandra kini menyusut. "Peserta kursus itu 'kan datang tanpa paksaan. Mereka memilih sendiri mana tempat kursus yang lebih baik dan menarik," ujar wanita yang mengaku pernah belajar masakan ayam dari Nila Chandra pada 1967 itu. Sebab itu pula Nila Sari tenang-tenang saja mendapat gugatan semacam itu. Bahkan ia memasang gugatan Nila Chandra itu bersama-sama dengan kliping berita media massa tentang kegiatan dan rekor kue Natalnya di dinding ruang kursus di kediamannya, di Jalan Melawai, Jakarta. "Kan promosi juga buat kami," ucap Nila Sari, yang berniat menggugat balik Nila Chandra karena telah mencemarkan nama baiknya. Deputy Editor GBR di London, Nicholas C. Brown, membenarkan pihaknya telah menerbitkan sertifikat untuk Nila Sari lebih dulu ketimbang sertifikat untuk Nila Chandra. Sebab, Nila Sari memang lebih dulu mengusulkan perolehan sertifikat tersebut. Tapi, kata Brown, hanya kue karya Nila Chandralah yang akan masuk dalam daftar rekor dunia GBR dengan predikat terbesar. Sebab, "Ide dasar, prestasi pembuatan, dan ukuran kue itu memang unik," ujar Brown kepada TEMPO. Sebaliknya prestasi yang diraih Nila Sari, katanya, tidak terlalu unik. Pada tahun 1979, misalnya, GBR setidaknya pernah menerbitkan 19 sertifikat untuk para pembuat kue Natal. "Kami memberikan sertifikat serupa itu kepada banyak orang, tapi tidak harus masuk ke dalam catatan GBR," kata Brown.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini