TOKOH manipulasi sertifikat ekspor (SE), Santoso Tjoa alias Tjoa Hock Seng, Kamis pekan lalu, dijatuhi hukuman 10 tahun penjara dalam sebuah sidang in absentia - tanpa dihadiri terdakwa - di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Hanya saja vonis majelis hakim yang diketuai Nyonya Nielma Salim itu tidak banyak artinya bagi lelaki berusia 37 tahun, bermuka berewok, yang di kalangan sejawatnya disebut sebagai godfather itu. Sebab, sejak manipulasi yang merugikan negara sekitar Rp 2,4 milyar itu disidangkan, ia sudah buron entah ke mana. Majelis hakim yang diketuai Nyonya Nielma Saluidi sidang pekan lalu itu memvonis Tjoa 4 tahun penjara ditambah denda Rp 20 juta untuk tindak pidana korupsi dan 6 tahun penjara serta denda Rp 30 juta tindak pidana ekonomi. Selain itu, ia dihukum untuk membayar ganti rugi kepada negara Rp 2,4 milyar leblh. Harta kekayaan dan seluruh barang bukti yang bernilai sekitar Rp 1 milyar disita untuk negara. Sebelumnya, Tjoa oleh Jaksa Yusuf Ali dituntut penjara 10 tahun, denda Rp 30 juta serta kewajiban membayar uang pengganti Rp 2,4 milyar untuk tindak pidana korupsi. Sedangkan untuk tindak pidiana ekonomi ia dituntut 10 tahun penjara dan denda Rp 30 juta. Reputasi Tjoa dalam manipulasi milyaran rupiah itu memang mengagumkan. Lelaki asal Tanjungpandan, Sumatera Selatan, yang ketika baru datang ke Jakarta sempat menjadi sopir truk itu, kata jaksa, berhasil mengelabui negara sebanyak Rp 2,4 milyar berkat permainannya yang canggih. Ketika pihak pemerintah memberikan instentif sertifikat ekspor untuk merangsang ekspor nonmigas, Tjoa mendirikan perusahaan PT Tomy Utama Toy Factory, pabrik maman anak-anak di Desa Cikupa, Tangerang. Tjoa, atas nama PT Tomy Utama Toy Factory, kemudian memang melakukan ekspor mainan anak-anak. Selama April 1984-Juni 1984 perusahaan telah mengekspor mainan ke Hong Kong sebanyak 30 kontainer, ke Hamburg 51 kontainer, ke Colombo 30 kontainer, dan ke Australia 50 kontainer. Secaa keseluruhan termaktub dalam 20 PEB (pemberitahuan ekspor barang). Berkat ekspor mainan dengan bahan baku biji plastik impor itu, Tjoa mendapat insentif berupa SE sebesar Rp 2,4 milyar. Manipulasi SE itu baru terbongkar, ketika 4 PEB PT Tomy diperiksa petugas Bea Cukai. Ternyata, jumlah dan jenis barang yang tertulis dalam PEB berbeda. Serialplayfood, misalnya, yang dalam Harga Patokan Sertifikat Ekspor (HPSE) per set bahannya ditentukan 302,10 gram, kenyataannya hanya 100 gram atau berkurang 2/3 bagian. Dari situ terungkap "permainan" Tjoa yang lebih mencengangkan. Dua perusahaan yang dikirimi barang itu, Alumi Ltd. dan The World Development Ltd., perusahaan di Colombo sana, tak merasa memesan mainan itu. Ketika kiriman itu dibuka di hadapan M. Rasyid Remi, petugas KBRI di Colombo itu, ternyata hanya berisi kotak-kotak kosong, atau hanya berisi 50 persen. "Ia telah merusakkan citra bangsa Indonesia serta kepercayaan internasional terhadap produk Indonesia," kata Nielma Salim ketika membacakan pertimbangannya. Petugas KBRI di Singapura juga dipermalukan Tjoa. Kiriman barangnya sebanyak 50 kontainer dengan tujuan Australia kembali dan tertahan di Singapura. Masalahnya, pihak penerima barang, Tasha Globe Industries, tak merasa memesan. Barang itu kemudian dilelang karena sewa penimbunan tak diurus - dalam waktu 3 bulan tak dibayar. Dari 16 kontainer yang dilelang ternyata cuma laku Rp 700.000. Padahal, dalam PEB disebutkan nilainya US$ 2.000.000. Permainan itu tentu tidak mungkin ada kalau tidak ada kerja sama dengan oknum Bea Cukai. Peran petugas sangat penting baik dalam proses pemeriksaan dokumen maupun pemeriksaan barang secara fisik. "Pemeriksaan barang hanya acakacakan, dan cuma dilakukan dalam sehari," kata Hakim Nielma Salim. Tjoa memang lihai. Semua dokumen ekspor, misalnya, tidak atas namanya, melainkan ditandatangani Nyonya Eha Saleha, yang kemudian terbukti hanya direktur pajangan. "Tak sepeser pun saya menerima uang darinya. Tjoa memang sialan. Dia dapat madu, saya kena racunnya," kata Eha Saleha, yang sehari-harinya hanya guru SD.(TEMPO,I4 November 1987). Bahkan, ketika kejahatannya terbongkar, ia masih sempat membujuk seorang karyawannya, Adang, untuk beri peran sebagai dirinya dengan imbalan Rp 50 juta. Tapi tawaran itu ditolak Adang. Berdasar semua itu majelis menganggap Tjoa terbukti melakukan tindak pidana ekonomi, dan korupsi. Fasilitas ekspor, yang diberikan pemerintah untuk merangl sang ekspor nonmigas, kata hakim, telah diselewengkan Tjoa untuk memperkaya dirinya. Akibatnya, fasilitas itu dicabut pemerintah 1 April 1 986. Dalam kedua perkara itu majelis menjatuhkan selain vonis penjara juga denda dan ganti rugi. Hanya saja vonis perkara pidana ekonomi lebih ringan dari pidana korupsi. "Itu hukuman yang setimpal," kata Nielma Salim. Setimpal atau tidak, toh Tjoa, yang dikenal lihai, tidak perlu menerima akibat hukum itu. Sampai perkaranya divonis pekan lalu, ia tidak ketahuan entah di luar negeri atau masih ada di Jakarta. Ia memang pernah ditahan Mabes Polri. Tapi entah mengapa, ia kemudian ditahan luar dan ketika perkaranya akan diadili menghilang. Tapi dari tempat persembunyiannya, ia sempat-sempatnya mengirim surat kepada tJaksa Agung, ketika itu, Hari Suharto (pejabat lama) dari tempat persembunyiannya. Dalam suratnya itu ia menuding dua pimpinan United City Bank, tempat ia mencairkan SE, ikut menikmati uang negara itu. Bahkan seminggu sebelum vonis, seseorang, yang mengaku suruhan Tjoa, menelepon Kepala Kejaksaan Jakarta Utara Santoso Wiwoho, mengabarkan sang godfather kini berada di Hong Kong. Mengelabui atau main-main? Widi Yarmanto dan Muchsin Lubis (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini