BERSILANG pendapat di antara pengacara lumrah terjadi dalam suatu perkara. Tapi yang terjadi di Pengadilan Negeri Bekasi, Rabu pekan lalu, lebih seru. Dua orang pengacara, termasuk senior, Victor D. Sibarani dan I Wayan Sudirta, beradu jotos di arena pengadilan. Duel, yang tak masuk kurikulum fakultas hukum, itu terjadi ketika kedua pengacara menghadapi sebuah perkara sengketa tanah untuk kepentingan dua pihak yang berbeda. Victor D. Sibarani tokoh Ikadin duduk sebagai pembela Mochammad Ali Amin cs. pemilik PT SP, yang dituduh oleh jaksa menyerobot tanah seluas 6.000 m2 di Cibitung, Bekasi. Pemilik tanah itu, menurut Jaksa adalah saksi pelapor Rusli Wahyudi, yang dibela oleh I Wayan Sudirta. Persidangan yang sejak semula sudah "panas" itu, pada Rabu itu, meningkat suhunya. Pada sidang sebelumnya, terdakwa menyatakan keberatan diadili Hakim Supranoto, yang menjadi ketua majelis perkara itu. Alasannya, katanya, hakim sejak semula sudah menganggap terdakwa bersalah. Sebab itu, Ali menyurati Mahkamah Agung. Tapi sampai hari itu, fatwa MA belum turun. Sementara itu, Supranoto, dengan alasan "sidang harus cepat", bermaksud meneruskan sidang. Kericuhan terjadi, sehingga sidang diskors 15 menit. Ketika sidang dibuka kembali, hakim memanggil saksi Imam Sutarmono, S.H., Kasubdit Penyelesaian Perselisihan HakHak atas Tanah Ditjen Agraria. Sidang ribut lagi. Sebab, kata Pieter Nazar - dari kantor pengacara Victor Sibarani, semula Imarn dipanggil sebagai saksi ahli. Tapi di sidang Hakim Supranoto memaksa Imam menjadi saksi a de charge, yang meringankan terdakwa. Ternyata, Imam keberatan dengan status saksi meringankan. "Saya tidak punya kepentingan apa pun terhadap perkara ini," katanya. Sidang ditunda kedua kalinya selama 15 menit. Ketika sidang dibuka lagi, pengacara terdakwa, Victor Sibarani, meminta hakim memanggil saksi lain, Kepala Kantor Agraria Bekasi. Hakim mengabulkan. Sidang ditunda sampai minggu berikutnya. Ketua Majelis Hakim Supranoto lantas meninggalkan ruangan sidang sambil melepas toganya. Tinggal hakim anggota Eko Maryoto, Jaksa I Made Tisna, dan para pembela. Victor kemudian mendekati meja jaksa dan meminta pemanggilan saksi baru itu dilakukan jaksa. Mendengar itu, Wayan, yang duduk tak jauh dari mereka, mendekati Victor. "Tidak bisa itu," kata Wayan. Victor pun berang, lantas mengusir Wayan, "Kamu tahu apa?" Mendengar kalimat itu, menurut Eko, Wayan tersinggung dan mengambil ancang-ancang untuk memukul. Tapi sebelum tinju Wayan melayang, Victor menepisnya. Malah Wayan terkena. Pelipisnya memar dan kaca matanya jatuh. Ia balik ingin membalas. Terjadi saling ancam dan kelar-mengejar antara kedua pengacara itu. Jaksa Made Tisna, yang mencoba melerai, malah kena hantam. Eko berhasil menghentikan perkelahian. "Sudah, kalau mau berkelahi di luar," hardik Eko. Ketua PN Bekasi Supranoto segera menelepon polisi. Di hadapan Kapolres Bekasi, Yusuf Mofid, keduanya berdamai dan mengaku kapok. "Mereka berjanji tidak mengulangi perbuatan yang memalukan itu," tutur Mofid. Tapi anehnya, belakangan, kedua pengacara itu malah melapor ke Polres Bekasi. Juga ke Ikadin. Mereka sama-sama meminta Ikadin memecat lawannya. Ketika dihubungi TEMPO, Sibarani masih tampak berang. Menurut Victor, ia terpaksa memukul Wayan karena lawannya itu lebih dulu mengancamnya. "Saya cuma mendorong bahunya dan menangkis," katanya. Namun, ia mengahu pula tidak heran dengan tingkah Wayan. "Di mana-mana dia sering bikin onar. Dia itu brutal, koboi, dan sering bertindak memalukan. Sudah banyak contohnya," tutur Victor. Sebaliknya, Wayan tenang-tenang saja. Ia malah menganggap peristiwa itu bukan suatu perkelahian karena hanya ia yang kena pukul. "Yang namanya berkelahi itu jika saling memukul," katanya. Sebab itu, ia melaporkan Victor telah melakukan penganiayaan dan merusakkan barang. Buktinya kaca matanya, yang rusak, dan hasil pemeriksaan dokter. Adu jotos itu hanyalah buntut berbagai kericuhan di sidang perkara itu, yang sudah dimulai sejak Desember 1985. "Sejak awal persidangan perkara ini tidak beres," kata Victor. Pada sidang pertama, kata rekannya, Pieter Nazar, Hakim Supranoto memerintahkan kliennya ditahan. "Klien kami terpaksa mendekam satu bulan di penjara," tuturnya. Kemudian, tutur Pieter, hakim membuat selebaran berisi pasal-pasal UU Pokok Agrana, dilengkapi komentar ketua majelis. "Isinya mengisyaratkan terdakwa bersalah," ujarnya. Sebab itu, kantornya meminta Mahkamah Agung mengganti hakim. Sebaliknya, Wayan justru menganggap Victor yang tidak fair. Lawannya itu, katanya, memakai surat dengan kertas berkop Bina Graha untuk melepaskan terdakwa dari tahanan. "Masa sebagai pengacara ia melibatkan pihak eksekutif. Di mana wibawa pengadilan?" tanya Wayan. Di samping itu, katanya, ada usaha meneror majelis hakim. Ketua Majelis Supranoto menuduh persidangan menjadi rusuh gara-gara ulah pengacara terdakwa. "Karena banyak perbedaan pendapat antara pengacara terdakwa dan majelis hakim," ujar Supranoto. Ia membantah berat sebelah mengadili perkara itu dn tetap menginginkan sidang dipimpinnya. "Tak ada masalah apa-apa," katanya. Kasus perkelahian itu, kata Supranoto, bukan penghinaan terhadap pengadilan. "Bukan contempt of court, sebab terjadi setelah sidang selesai," katanya. Ia hanya menyayangkan peristiwa itu. "Sama-sama pengacara senior, sama-sama intelektual dan penegak hukum, kok berkelahi." Toh Menteri Kehakiman Ismail Saleh perlu memberi peringatan. Menurut Menteri, para Fengacara itu masih harus dibangkitkan lagi semangat kebersamaan dan kepatuhannya terhadap hukum. "Hormatilah pengadilan. Siapa lagi yang menghormati kalau bukan kita?" ujar Ismail Saleh. Hanya sekadar tidak hormat atau begitulah cermin dunia peradilan kita? Bunga Surawijaya, Yopie Hidayat, dan Agung Firmansyah (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini