AMERICAN Express (Amex) Bank cabang Jakarta beserta kantor pusatnya di Swiss akhirnya tak bisa lagi mengelak dari tanggung jawabnya. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin pekan lalu, menghukum bank terkenal itu untuk mengganti kembali uang milik nasabahnya, Hendro Joewono, yang dibobol bandit bank, komplotan Harry Tranggono. Selain harus mengganti deposito Hendro sebesar 371.000 poundsterling (Rp 1 milyar lebih), bank itu juga harus membayar bunga uang itu sebanyak 8,875 persen setahun, sejak Juni 1987 sampai dilaksanakannya putusan tersebut. "Ini merupakan pelajaran bagi bank-bank lain untuk melindungi nasabahnya," komentar pengacara Hendro, R.E.M. Pattikawa. Ribut-ribut antara Amex Bank dan nasabahnya ini bermula dengan jebolnya bank itu akibat dibobolkan komplotan Harry Tranggono itu. Uang itu milik Hendro Joewono, 50 tahun, pengusaha obat-obatan PT Henson Makmur Surabaya. Dua bulan sebelumnya, 17 Juni 1987, Hendro menyetorkan uangnya Rp 1 milyar untuk deposito berjangka tiga bulan ke Amex Jakarta. Setoran itu dikurskan ke mata uang Inggris menjadi œ 371.133,25. Ternyata, komplotan Harry Tranggono mencium deposito kelas kakap itu. Bersama komplotannya, Harry membuka rekening atas nama Hendro Joewono (dengan KTP dan tanda tangan palsu) di BBD Cabang Sarinah. Setelah itu, 19 Agustus, komplotan ini membuat surat perintah ke Amex Jakarta. Isinya agar bank itu mencairkan deposito Hendro sebesar US$ 800.000. Permintaan ini ditolak karena melebihi simpanan Hendro. Tapi, tiga hari kemudian, surat serupa kembali disampaikan ke Amex Jakarta. Kali ini bank tersebut diminta mencairkan deposito Hendro US$ 400.000, dan kemudian mentransfer ke BBD Sarinah. Amex setuju. Dan bank itu pun kebobolan. Ketika itu si pemilik deposito Hendro lagi berada di Hong Kong. Begitu sampai di Indonesia dan tahu bahwa depositonya dibobol, ia melapor ke Mabes Polri. Selain itu, ia juga menuntut Amex agar mengembalikan deposito tersebut berikut bunganya. Ternyata, General Manager Amex Jakarta, waktu itu, Patrick J. Wye menolak. Alasan Wye, yang bertanggung jawab atas persoalan itu bukan kantornya, melainkan Amex Pusat di Jenewa, Swiss. "Di sini, hanya kantor administrasi, membantu Swiss," katanya. Tentu saja, Hendro tak bisa menerima alasan tersebut. Sebab, selama ini ia merasa berhubungan dengan Amex Jakarta. Ia mendepositokan uangnya juga karena bujukan seorang karyawan kontrak Amex Jakarta, Subianto Santoso. Pengacara Hendro -- R.E.M. Pattikawa dan John Kusnadi -- bahkan sempat mensomasi bank terkenal itu sampai tiga kali. Pada somasi ketiga, Hendro mendapat jawaban bahwa persoalannya akan segera diselesaikan bila penyidikan di Swiss dan di sini telah selesai. Bersamaan dengan itu muncul pula cerita bahwa Hendro Joewono terlibat dalam pembobolan itu. Pihak Amex, konon, mendapat info bahwa sebelum pembobolan terjadi, ada kontak telepon antara Hendro dan Harry. Sebab itu, pihak Amex tak mau membayarkan deposito Hendro sebelum persoalan itu beres. Tapi, agaknya, cerita itu hanya dalih Amex untuk menunda-nunda pertanggungjawabannya. Sebab, setelah Mabes Polri mengeluarkan tanda "bersih diri" Hendro itu, dan Harry Tranggono divonis penjara 2 tahun 6 bulan pada September 1988, toh Amex tak kunjung mencairkan uang nasabahnya itu. Karena itulah, Hendro menggugat Amex -- baik Jakarta maupun Swiss -- sebesar Rp 3 milyar. Ia menuntut ganti rugi Rp 3 milyar lebih. Rinciannya: pengembalian deposito œ 371.133,25 berikut bunga sebesar 8,875 persen setahun, dan hilangnya keuntungan œ 667.800 (sekitar Rp 2,1 milyar) bila saja deposito itu cair. Majelis hakim, yang diketuai A. Hutauruk, ternyata sepakat bahwa Amex telah melakukan perbuatan melawan hukum. "Amex Jakarta telah melawan hukum karena ingkar membayar deposito penggugat. Padahal, akibat kelalaiannya pula, uang penggugat bisa dibobol oleh Harry Tranggono," kata Hutauruk. Kelalaian Amex itu, kata majelis, terbukti dengan kecerobohannya -- tanpa meneliti surat palsu perintah pencairan uang itu -- meloloskan begitu saja permintaan uang yang melebihi jumlah deposito Hendro. "Pertimbangan ini erat hubungannya dengan putusan pidana sebelumnya," kata Hutauruk lagi. Dalam persidangan pidana sebelumnya memang terungkap bahwa komplotan Harry begitu gampang menjebol bank beken itu. Sementara itu, tak ditemukan bukti maupun petunjuk tentang keterlibatan Hendro dalam kasus pembobolan Amex Bank tersebut. Karena itu, majelis hakim menghukum Amex Jakarta maupun Swiss secara tanggung renteng membayar kepada penggugat uang deposito penggugat œ 371.000 ditambah bunga deposito 8,875 persen setahun sejak bulan Juni 1987 sampai dilaksanakan putusan tersebut oleh para tergugat. Hanya saja, gugatan Hendro agar Amex membayar œ 667.800 kepada penggugat akibat tak diperolehnya keuntungan sebesar Rp 2,1 milyar -- bila saja uang itu bisa cair lebih awal -- tak diloloskan hakim. "Gugatan keuntungan yang diharapkan itu tidak mempunyai bukti-bukti hukum yang kuat karena belum jelas wujudnya. Masih harapan," kata Hutauruk. Dengan vonis ini, Hutauruk berharap agar bank-bank lain memberi jaminan kepastian hukum kepada nasabahnya. Dan selayaknya pula bank itu harus bertanggung jawab mengganti kembali uang nasabah, "Kalau dibobol orang lain," tambah Hutauruk. Kuasa hukum Amex Bank Jakarta, Soetikno Boediman, langsung banding. "Tidak bisa Amex Jakarta dikatakan melawan hukum. Yang membobol kan komplotan Harry Tranggono. Kalau mau digugat mestinya Bank Bumi Daya Cabang Sarinah, dan Harry Tranggono juga harus digugat. Kenapa harus Amex Jakarta," kata Soetikno. Soetikno tetap berpendapat bahwa kebobolan tanggung jawab Amex Swiss -- bukan Jakarta. Sebab, katanya, Hendro sendiri yang meminta agar uangnya disimpan di Amex Swiss. Sedangkan Amex Swiss dengan Amex Jakarta tidak punya hubungan hukum. Keduanya punya badan hukum sendiri-sendiri. "Mereka memang satu grup, tapi Amex Jakarta bukan perwakilan atau cabang dari Amex Swiss. Mereka berdiri sendiri-sendiri," kata Soetikno. Agaknya, memang, masih panjang perjalanan Hendro untuk menikmati uangnya kembali. Widi Yarmanto, Muchsin Lubis, dan Karni Ilyas (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini