Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Udar Pristono tak kuasa menahan diri ketika majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan vonis yang jauh lebih ringan daripada tuntutan jaksa. Begitu hakim selesai membacakan putusan, bekas Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta itu mendadak berdiri dari kursi roda, kemudian berjalan menyalami satu per satu anggota majelis.
Majelis hakim yang dipimpin Artha Theresia, Rabu dua pekan lalu, menghukum Udar lima tahun penjara dan denda Rp 250 juta. Putusan kasus korupsi pengadaan bus Transjakarta ini kurang dari sepertiga tuntutan jaksa, yakni penjara 19 tahun dan denda Rp 1 miliar. Meski hakim menyatakan Udar bersalah, vonis ringan sepertinya membuat sang terdakwa "lupa sementara" pada penyakitnya.
Seperti dalam beberapa sidang terakhir, hari itu Udar memasuki ruang sidang dengan bantuan kursi roda. Kuasa hukum dia, Tonin Tachta Singarimbun, mengatakan kaki kiri kliennya terluka akibat gigitan semut tomcat di Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta Timur. Gara-gara luka tersebut, menurut Tonin, kaki Udar nyaris diamputasi.
Nah, ketika siang itu Udar tiba-tiba berjalan normal, ada pengunjung sidang yang mengingatkan dia. "Pak, kok, kursi rodanya tak dipakai?" katanya. Udar hanya melengos ke arah kuasa hukum, lalu kembali ke kursi roda.
Jaksa penuntut umum Victor Antonius mengaku kecewa atas putusan hakim. Menurut dia, fakta persidangan menunjukkan korupsi pengadaan bus Transjakarta pada tahun anggaran 2012-2013 merugikan negara sekitar Rp 54,389 miliar. Udar pun tak bisa membeberkan secara gamblang asal-usul uang Rp 6,5 miliar yang masuk ke rekeningnya. "Kami akan banding," ujar Victor seusai sidang.
Korupsi pengadaan bus Transjakarta terungkap pada awal Februari 2014. Kejaksaan Agung mengusut kasus ini setelah 40 bus baru—dari 126 bus yang diimpor dari Cina—ketahuan bermasalah dan tak bisa dioperasikan. Tim jaksa pun membongkar permainan di balik pengadaan bus dengan anggaran Rp 1,5 triliun itu. Modusnya beragam, dari memanipulasi lelang hingga mengarahkan spesifikasi bus agar menguntungkan perusahaan tertentu.
Jaksa menganggap Udar, sebagai pengguna anggaran, turut serta dalam pusaran permainan itu. Udar pun menjadi tersangka pada 12 Mei 2014. Dua anak buahnya, Drajad Adhyaksa (kuasa pengguna anggaran) dan Setyo Tuhu (ketua panitia pengadaan), lebih dulu diseret ke pengadilan. Mereka divonis lima dan empat tahun penjara. Adapun perkara Udar baru masuk penuntutan pada 14 April 2015.
Di persidangan, jaksa mendakwa Udar melakukan korupsi, menerima gratifikasi (hadiah), dan mencuci uang hasil kejahatan. Namun majelis hakim menganggap dua dari tiga dakwaan jaksa itu tak terbukti.
Dalam surat dakwaannya, jaksa menuduh Udar melakukan sejumlah tindakan yang membuat pengadaan bus Transjakarta merugikan negara dan menguntungkan pihak lain. Salah satunya persetujuan Udar atas pembayaran empat paket pengadaan bus Transjakarta senilai Rp 390,379 miliar pada 2013.
Menurut jaksa, persetujuan Udar telah menguntungkan rekanan pengadaan bus—PT Ifani Dewi, PT Korindo Motor, dan PT Mobilindo—dengan cara merugikan negara. Berdasarkan penghitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, negara merugi sekitar Rp 51,979 miliar.
Berdasarkan penyelidikan jaksa, puluhan bus tak memenuhi spesifikasi teknis yang tercantum dalam kontrak. Misalnya, kendaraan melebihi beban maksimal serta tak memiliki pelindung tabung gas. Di persidangan, terdakwa Drajad Adhyaksa mengaku tahu 90 bus gandeng dan 36 bus single itu tak sesuai dengan spesifikasinya. Namun ia tetap menerima penyerahan bus itu karena Udar telah memerintahkan pembayarannya.
Terdakwa lain, Prawoto, juga menyatakan Udar mengetahui kondisi bus tersebut bahkan sebelum pembayaran. Menurut bekas peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi yang menjadi konsultan pengadaan ini, ketidaksesuaian spesifikasi beberapa kali dibahas dalam rapat rutin di kantor Dinas Perhubungan.
Dalam putusannya, hakim menganggap dakwaan pertama itu tak terbukti. Anggota majelis hakim, Joko Subagjo, menyebutkan Udar tak sepenuhnya bertanggung jawab karena sudah mendelegasikan tugasnya kepada Drajad selaku kuasa pengguna anggaran. Majelis hakim juga menganggap Udar tak bersalah meski memerintahkan pembayaran bus yang tak sesuai dengan spesifikasi lelang.
Menurut hakim, tak ada bukti kuat bahwa Udar mengetahui bus tersebut tak memenuhi spesifikasi. Kalaupun Udar meneken dokumen syarat pencairan anggaran, kata hakim, itu bisa dimaklumi karena posisi dia sebagai pemimpin satuan kerja perangkat daerah. "Terdakwa tak bisa dipidanakan," ujar hakim Joko. "Ia hanya bisa dikenai sanksi administratif berupa pemberhentian dari jabatan."
Adapun dakwaan kedua tentang gratifikasi, menurut hakim, hanya terbukti sebagian. Dalam dakwaannya, jaksa menyebutkan Udar melakukan transaksi mencurigakan selama 2010-2014. Tiap pekan ada setoran uang Rp 20-50 juta ke rekening atas nama Udar di Bank Mandiri dan Bank BCA. Total setoran tunai itu mencapai Rp 6,5 miliar. Jaksa mencurigai setoran tersebut karena gaji pokok Udar kala itu hanya Rp 7 juta per bulan plus tunjangan kinerja daerah sekitar Rp 25 juta.
Dalam pembelaannya, Udar mengatakan tak ingat pasti dari mana saja uang miliaran itu berasal. Ia hanya menyebutkan sebagian besar uang tersebut berasal dari usaha properti bersama istrinya. Berdasarkan penelusuran jaksa, Udar memang memiliki sejumlah properti, antara lain delapan unit condotel di Hotel Pullman Bali, Aston Resort Bogor, dan Sahid DeGreen Banten.
Jaksa juga menyebutkan Udar menerima gratifikasi Rp 78 juta dari PT Jati Galih Semesta, perusahaan rekanan dalam proyek peremajaan koridor 1 Transjakarta pada 2012. Uang itu berasal dari selisih harga pembelian Toyota Kijang LGX dari Dinas Perhubungan oleh PT Jati Galih. Dilelang Rp 22 juta, mobil bekas keluaran tahun 2002 itu dibayar PT Jati Galih Rp 100 juta.
Seorang karyawan PT Jati Galih Semesta, Yeddy Kuswandi, bersaksi bahwa mereka membeli mobil itu karena terus ditelepon Udar dan stafnya. "Kami capek ditelepon, juga takut dibuat kalah ketika lelang," ujar Yeddy di persidangan.
Menurut majelis hakim, hanya pembelian mobil Kijang oleh PT Jati Galih yang terbukti sebagai gratifikasi. Hakim menilai jaksa gagal membuktikan unsur pidana dari transaksi Rp 6,5 miliar pada rekening Udar selama 2010-2014. Sebaliknya, Udar dan istrinya bisa menunjukkan bahwa mereka memiliki properti secara sah. "Tak ada saksi yang menyatakan memberikan sesuatu. Jadi gratifikasi tak terbukti," kata anggota majelis hakim, Ibnu Basuki Widodo.
Dengan ditolaknya sebagian dakwaan kedua, menurut hakim, dakwaan ketiga jaksa perihal pencucian uang pun otomatis gugur.
Jaksa penuntut umum Victor Antonius menilai majelis hakim keliru mengartikan fakta di persidangan. Pembebasan Udar dari tanggung jawab karena mendelegasikan tugas kepada bawahannya, misalnya, semestinya hanya berlaku bila pengadaan bus Transjakarta berjalan normal. "Faktanya, banyak permainan di balik pengadaan itu," ujar Victor. "Udar pun mengetahuinya."
Jaksa juga menilai putusan hakim janggal karena di persidangan Udar tak bisa membuktikan hubungan transaksi Rp 6,5 miliar dengan bisnis properti keluarganya. Udar bahkan tak bisa memisahkan uang hasil bisnis dengan honor proyek yang sempat dia simpan di rumahnya. "Dalam pembalikan beban pembuktian, Udar tak punya pembelaan yang kuat," ujar Victor.
Kuasa hukum Udar, Tonin Tachta, juga mengaku kecewa terhadap putusan hakim yang menghukum Udar bersalah dalam perkara gratifikasi. "Klien kami semestinya bebas," kata Tonin. Menurut dia, aneh bila penjualan Kijang seharga Rp 100 juta dianggap sebagai upaya mencari gratifikasi. PT Jati Galih justru membeli mobil itu karena harganya murah "Mana ada Kijang harganya Rp 22 juta? Di mana-mana Rp 100 juta lebih," ujar Tonin seraya memastikan bahwa Udar pun akan mengajukan permohonan banding.
Ketua majelis hakim Artha Theresia menepis penilaian jaksa dan penasihat hukum Udar. Menurut dia, hakim memutus kasus Udar berdasarkan fakta di persidangan. Dakwaan korupsi, misalnya, tak terbukti karena hanya ada keterangan lisan bahwa Udar mengintervensi proses lelang. Sedangkan dakwaan gratifikasi terbukti karena PT Jati Galih tak akan membeli mobil tersebut jika tak didesak Udar. "Dalam memutus, kami tak main hantam kromo," kata Artha, Kamis pekan lalu.
Istman M.P., Mawardah Nur Hanifiyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo