Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Vonis si pemakan hidung

Pn padangsidempuan memvonis hukuman mati kepada osman hutagalung yang membunuh sannah boru simanjuntak, memotong kepala dan memakan hidung korban. osman sempat buron sebulan sebelum ditangkap.

14 Maret 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BIBIR Osman Hutagalung komat-kamit. Di ruang tahanan seluas 1 X 2 meter itu, Rabu pekan lalu, ia masih sempat berdoa agar majelis hakim meringankan hukumannya. Tapi dua jam kemudian ternyata majelis Pengadilan Negeri Padangsidempuan memvonisnya dengan hukuman terberat: mati. Osman dipersalahkan hakim, dengan direncanakan terlebih dahulu, membunuh Sannah boru Simanjuntak, memotong kepala korban, dan kemudian memakan hidung korban. "Saya kira perbuatan terdakwa telah tergolong di luar peradaban umat manusia. Orang seperti itu tidak perlu hidup lagi," ujar Hakim Imran Lubis yang memecahkan rekor menjatuhkan hukuman terberat untuk pertama kalinya di tahun ini. Kejahatan Osman, 40, memang di luar akal sehat manusia. Pada Juli 1986, penduduk Desa Humbang Satu, Kecamatan Siabu, Tapanuli Selatan, digemparkan akibat terbunuhnya Sannah, 63, secara mengerikan. Dukun bayi berhidung mancung itu ditemukan penduduk tanpa kepala di pinggir desa. Keesokan harinya penduduk menemukan kepala Sannah dalam keadaan yang lebih menyayat, tanpa hidung dan bibir yang bekas disayat. Osman segera disangka sebagai pelaku. Sebab, di lokasi mayat ditemukan, sandal jepit lelaki itu tertinggal. Apalagi sejak saat itu ia menghilang dari desanya. Kecurigaan semakin kuat karena Osman dikenal sebagai lelaki yang tergila-gila terhadap hidung perempuan mancung -- suka memencet hidung orang. Pada 1977, ia pernah dihukum 80 hari dalam masa percobaan 6 bulan karena memencet hidung Sannah. Sebulan setelah kejadian, Osman, yang bersembunyi di sebuah bukit di dekat desa itu, diringkus polisi. Ia mengaku membunuh Sannah karena dendam kepada wanita tua itu. Pasalnya, karena kejadian hampir 10 tahun lalu tadi. Ia kesal akibat Sannah tega memperkarakannya hanya gara-gara memencet hidung. Akibat perkara itu, katanya, ia terpaksa menjual sawahnya. "Habis uang saya Rp 500 ribu buat menyuap agar dihukum ringan," kata ayah tujuh anak itu. Ia mengaku, selain menikam Sannah, juga memenggal leher nenek itu, ketika nenek itu kembali dari sebuah pesta perkawinan melewati pinggiran desa. Sebelum melarikan diri, katanya, ia sempat memotong hidung si nenek yang membuat gara-gara. Dan selanjutnya, masya Allah, ia memakan hidung itu mentah-mentah. "Agar dendamku habis terlampiaskan," katanya. Jaksa Abdul Rahim, yang membawanya ke sidang, menuntutnya dengan hukuman penjara seumur hidup karena pembunuhan berencana. Sebab, untuk melakukan pembunuhan itu, Osman sempat mengintai Sannah selama 3 jam. Ketua majelis, Imran, mengatakan memilih vonis mati itu karena kejahatan Osman telah memenuhi kualitas sadistis. "Kalau hanya sekadar membunuh saja, 'kan cukup korban dia tikam," kata Imran. Selain itu Imran juga mempertimbangkan kebencian orang desa kepada lelaki itu. Sebab, banyak orang kampung merasa berutang budi kepada Sannah, karena korban dukun bayi satu-satunya di desa itu. Jaksa Abdul Rahim menyatakan menerima vonis itu. "Misalkan saya meminta uang Rp 1 ribu, tapi diberi hakim Rp 2 ribu tentu saja saya terima," katanya mengibaratkan vonis yang lebih dari tuntutannya. Sebaliknya, pengacara Osman, Dahlan Tanjung, menganggap vonis itu terlalu berat. "Tuhan saja bisa mengampuni manusia, mengapa kita tidak?" katanya. Sebab itu, ia menyatakan banding. "Mengapa terdakwa tidak diberi kesempatan memperbaiki dirinya?" kata Dahlan. Mengapa ia sampai memakan hidung Sannah dan juga suka memencet hidung orang lain? "Aku tidak gila dan juga tidak benar aku melakukan itu untuk ilmu hitam," katanya berang. Hakim memang menganggap ia tidak gila alias normal. Tentang sakit "gila hidung" itu, kata Hakim, "Jika pun aneh tapi cuma sekadar kelainan seks saja." Istrinya Taruli boru Simanungkalit mengakui suaminya menderita kelainan seks. "Setiap mengajak bersetubuh ia selalu memencet hidung saya," kata Taruli.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus